Jagat
perbukuan tak ubahnya bidang industri lainnya. Para pelakunya dituntut memahami
betul fungsi-fungsi marketing. Penerbit Bilik Literasi justru melawan arus
dengan meluncurkan buku dengan desain, ilustrasi, dan kover yang terbilang
“kurang menjual”.
Namun
demikian, bagus tidaknya sebuah karya tidak bisa diukur dari segi fisik semata.
Nyatanya, di balik bungkus yang kurang memenuhi unsur estetika, buku ini
menyajikan sejumlah tulisan yang layak dinikmati para pembaca.
Ditilik
dari tampilan, buku Melulu Buku (Bilik Literasi, 2015) berupaya
menghadirkan nuansa masa silam. Pembaca diajak merangkai kepingan nostalgia
yang tercecer. Kover dengan foto lawas serta kertas berwarna buram mengajak
pembaca untuk memungut sisa-sisa ingatan dan kenangan era 80
hingga 90-an.
Serpihan
memori merupakan wujud kesenangan yang menancap pada pikiran. Oleh sebab
itulah, setiap manusia membutuhkan klangenan, hiburan ringan sesaat, di tengah
peliknya problematika kehidupan. Boleh dibilang, apa yang dimunculkan buku ini
mengandung ikhtiar pelarian psikologis manusia dari segala realitas yang kian
menindas.
Perhatian
penulisnya, Setyaningsih, pada jagat literasi mengakibatkan kerapnya penggunaan
kata buku, perpustakaan, menulis, dan membaca dalam esainya.
Dalam batas tertentu, ia mencoba untuk mengakrabi literasi dengan logika anak
kecil. Ia memposisikan diri sebagai anak yang ingin menautkan masa kecil dengan
buku. Betapa ia selalu berusaha memupuk rasa penasaran (curiosity)
terhadap sisi gelap buku.
Di
sela-sela kesibukannya bermain dan belajar, si kecil begitu kangen memeluk dan
mencium buku. Buku, baginya, merupakan sebuah kesenangan sekaligus candu dalam
kehidupan. Buku diposisikan sebagai permen dan coklat yang mempermanis kisah
kehidupan.
Sebagai
bentuk kekhawatiran terhadap nasib perempuan yang begitu tragis, Setyaningsih
membangkitkan motivasi kaum Hawa dalam berliterasi. Esainya memuat rasa geram
terhadap ketidakadilan biologis, sosiologis, dan struktural yang menimpa para
perempuan. Ini terutama bisa dirasakan dalam esai “Perempuan: Biografi dan
Otobiografi” dan “Perempuan dan Literasi”.
Hal
di atas berlatar belakang kecemasannya terhadap orang tua, terutama golongan
priayi, yang merasa bahwa anak perempuan lebih patut berada di rumah. Perempuan
dikondisikan agar tidak terlalu menampakkan diri atau dilarang bertingkah
terlalu ekspresif.
Di
balik esai-esai Setyaningsih terkandung misi persamaan gender dan emansipasi
perempuan. Ia begitu teguh memperjuangkan hak-hak perempuan (terutama hak
literasi) untuk dapat bersanding dengan kaum Adam. Bagaimana pun, perempuan
berhak mengakrabi koran, majalah, buku, serta literatur lainnya sebagai cara
memperoleh ilmu pengetahuan.
Ada
beban psikologis dan sosial yang melingkupi kehidupan perempuan. Kemunculan
mereka di muka publik kurang memiliki efek atau kontribusi. Apalagi, mereka
kerap disibukkan dengan peran, tugas, dan fungsi dalam rumah tangga sekaligus
bidang keahliannya.
Dalam
pandangannya, menokohkan perempuan melalui buku memang penuh risiko. Akan
tetapi, ini juga menjadi bukti bahwa perempuan telah berkontribusi di dunia
keluarga, politik, kebudayaan, ekonomi, kesehatan, pers, dan kemanusiaan.
Sehingga, mereka berani memunculkan narasi diri.
Tampaknya,
Setyaningsih memupuk kecurigaan yang berlebihan terhadap politisasi peran
perempuan dalam ranah publik. Sayangnya, kebencian yang mendalam justru
mengorbankan kelembutan tulisan. Tentu ini patut disayangkan. Esai yang “manis
dan penurut” tiba-tiba berubah “penuh kebencian”. Imbasnya, sejumlah kosa kata
menyebabkan esainya yang halus menjadi kasar.
Dalam
menulis, esais harus mampu menjaga diri dari kemarahan membabibuta. Ia dituntut
memiliki tingkat kematangan emosi yang terjaga. Tentu berbeda hasilnya, saat
esais berkarya dalam kondisi bersungut-sungut dengan memoles tulisannya dalam
keadaan tenang. Bagaimana pun, kuatnya perasaan esais berpengaruh besar
terhadap kualitas esainya.
Ini
bukan berarti karya Setyaningsih mengalami “kegagalan”. Emosionalitas dalam
esai-esainya justru menguraikan kekuatan individu penulis yang merupakan
karakter sebuah esai. Apa yang dikatakan
Setyaningsih dalam karyanya merupakan bayangan kepribadiannya. Tentu hal ini
tidak perlu digugat, mengingat yang terpenting dari sebuah esai yaitu cara
pandang penulis dalam mengemukakan persoalan, bukan pada persoalan itu sendiri.
Meskipun
demikian, harus ada batasan seberapa besar ia memanfaatkan perasaan dalam
menyemai gagasan. Ketika sedang diliputi rasa berang dan dongkol, seyogyanya ia
menjaga jarak dengan tulisan. Terlebih dahulu ia harus mendinginkan kepala.
Dalam bahasa agama, “Jika kau dalam kondisi marah, maka berwudulah!”.
Selama
ini, buku-buku yang diterbitkan oleh sejumlah pihak ingin merengkuh pengakuan
publik dengan diselipkannya beberapa atribut, sehingga membuat visualitas buku
lebih prestisius, ambisius, dan arogan. Atribut-atribut ini merefleksikan testimoni
mengenai kualitas buku maupun kapasitas penulis. Legalitas, pendapat pakar, dan
komentar public figure seolah meneguhkan keadiluhungan tulisan. Bercorak
promosional, ini semua dalam rangka mengangkat brand karya beserta harga
diri penulisnya. Dengan demikian, untuk dikatakan “baik”, sebuah karya harus
mendapat stempel dari institusi dan tokoh yang memiliki otoritas literal.
Terbitnya
Melulu Buku menunjukkan gelagat menjauhi mainstream. Tanpa
epilog serta endorsement, ia hadir menyapa pembaca. Dengan caranya
sendiri, buku ini berusaha menghindar dari mitos, efek formalitas, serta
konvensi. Ia merupakan antitesis terhadap “standar baku” karya cetak, terutama
buku.
Karya
yang bernas mampu meneguhkan eksistensi, meski nihil pengakuan (recognition),
penghormatan (tribute), dan perayaan (celebration). Di sinilah
letak buku ini dalam kancah literasi Indonesia. Ia tak perlu dipuji, karena
sanggup menumbuhkan motivasi dan impuls bagi diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar