Dalam dasawarsa
terakhir, gejala-gejala narsisme mudah ditemukan dalam kehidupan artis, politikus,
dan dai selebritis. Dengan cara dan pola masing-masing, mereka ingin
menampilkan segi positif-materialistis dari diri manusia. Mereka berhasrat menunjukkan
sisi-sisi kesempurnaan di balik sosok makhluk yang tidak pernah sempurna (nobody perfect).
Ciri khas narsisme yang
seringkali tampak yaitu terlalu percaya diri. Atas dasar inilah, bagi sebagian
orang, narsisme berdampak positif. Namun demikian, tidak semua yang diasumsikan
publik tentang narsisme bisa dibenarkan.
Tanpa pertimbangan
logis, para artis gemar menyajikan keglamoran. Bagi mereka, ada semacam
konsensus tak tertulis, “uang bisa membeli segalanya”. Dengan konsensus ini,
mereka sibuk menampilkan capaian duniawi yang profan, meskipun banyak orang
yang saban hari makan nasi aking.
Aksi mereka mendapat
sambutan dari para pemodal bermental kapitalis, yang dengan senang hati,
menyulap televisi menjadi panggung artis. Akibat godaan konsumerisme
materialistis dan rasionalisme sekularistis, para artis rela menukar harga diri
mereka dengan uang. Sistem kapitalistik telah membuka ruang yang demikian lebar,
sehingga manusia dianggap aset dan komoditas empuk. Barang tentu persepsi
seperti ini berpotensi mereduksi hak manusia. Segala macam bentuk diskriminasi
dihalalkan, asal mendatangkan keuntungan politis, sosial, serta finansial.
Dari iklan, sinetron, infotainment,
bahkan hot news tampak kemewahan yang
sengaja dihidangkan. Mulai wajah yang dipermak, mobil mewah, hingga busana berlabel
ratusan juta rupiah. Padahal, ragam acara yang menyajikan life style para penjunjung tinggi hedonisme tersebut dapat membunuh
karakter anak bangsa secara perlahan.
Narsisme juga mendapat
‘restu’ dari aktor-aktor politik, terutama menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Mereka menyemarakkan narsisme dengan politik selfie. Dalam pandangan Fuadi,
Peneliti Monash Institute Semarang, selama ini cara kandidat “mempromosikan
diri” hanya berkutat pada kampanye narsisme dan janji-janji politik yang dianggap
sebagai alat legitimasi untuk merebut kekuasaan.
Dalam menggaet
pendukung, para kandidat memanfaatkan dakwah visual dengan menonjolkan catatan
kesuksesan yang pernah mereka raih, baik gelar kebangsawanan, akademis,
keagamaan, maupun hubungan baik dengan tokoh yang dianggap berpengaruh.
Mengutip Musyafak (2014),
“penampakan iklan-iklan politik atau
alat peraga kampanye, baik dalam bentuk visual maupun audio-visual, menjadi
penanda berlangsungnya politik selfie. Kondisi ruang-ruang publik kita hari ini
yang tidak kalis dari serangan iklan politik adalah representasi dari politik selfie yang mementingkan diri sendiri.”
Narsisme semakin meriah
dengan hadirnya dai-dai selebritis. Sambil menabur ayat Tuhan, para pegiat
dakwah tersebut menebar senyum dan menggelorakan citra. Tak segan-segan, harta mereka
umbar demi sederet pujian. Padahal, sesungguhnya, mereka tidak pernah mendapat
kemuliaan, sebab harga diri mereka pertaruhkan demi kepentingan segelintir
orang dan ‘makelar’ iklan. Mereka hanya bersedia menyampaikan ajaran agama,
jika tarif sesuai dengan permintaan.
Dari apa yang dilakukan
oleh figur-figur ‘representatif-ideal’ di atas, perilaku narsisme mulai menular.
Publik menangkap bahwa duplikasi atas aksi mereka merupakan sebuah kebanggaan. Tak
ayal, kini, anak kecil, remaja dan orang tua saling berlomba mematut-matut
tubuhnya di depan ponsel dan kamera untuk kemudian memajang foto mereka di
media sosial (medsos). Bagaimana pun juga, narsisme adalah sebuah keniscayaan, kebutuhan
sekaligus peneguhan diri. Konsekuensinya, selfie menjadi tuntutan yang
tidak bisa ditawar.
Selfie
juga menjadi sarana pengganti hiburan tradisional yang selama ini diperankan
oleh keluarga dan lingkungan. Dengan demikian, produser-produser selfie
yang pornograf cultural memiliki
keuntungan kompetitif terhadap mereka yang tidak memilikinya. Munculnya pornograf culutural ini memantik
kegelisahan nurani, seperti Rosihan Anwar (2004) yang mengeluhkan bahwa imbas
dari pornograf cultural yaitu kecenderungan
televisi pada hal-hal sensual, seksual, dan sensasional.
Penyalahgunaan selfie
oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab melahirkan suatu budaya massal dari
pengeruk keuntungan yang mengeksploitasi vulgaritas dan pornografi. Imbasnya
serius. Video-video porno, dengan artis, anggota DPR, dan tokoh agama sebagai
aktornya, diproduksi besar-besaran. Barang tentu hal ini memancing adrenalin
‘petualang cinta’. Dengan merekam dan menyebarkan kemesraan bersama
pasangannya, ia meneguhkan eksistensi. Ia ingin menunjukkan bahwa adegan
ranjang yang dilakukan lebih ‘gila’ dan layak dibanggakan.
Betapa narsisme juga berhasil
menjangkiti anak-anak. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka seolah tidak
terlepas dari aktivitas selfie. Dengan kemampuan berpikir yang masih
terbatas, mereka seringkali terjebak pada perilaku “unjuk diri” yang banal dan
dangkal makna. Keluguan anak-anak dimanfaatkan oleh sejumlah oknum dengan
memproduksi video esek-esek dengan anak di bawah umur selaku aktornya.
Pengeksploitasian
anak-anak merupakan upaya merenggut hak mereka demi segelintir kepentingan. Sayangnya,
pendidikan kurang mampu menjadi benteng pertahanan dan keamanan bagi anak
kecil. Sekolah tidak lagi berfungsi sebagai institusi yang dapat menangkis
ekses-ekses modernisasi dan globalisasi dengan sajian kekerasan yang
sewaktu-waktu dapat menimpa anak-anak, baik kekerasan emosional, verbal, fisik,
maupun seksual.
Segala bentuk kekerasan
terhadap anak-anak seolah dilegalkan oleh carut-marutnya sistem pendidikan. Kondisi
seperti ini rentan menyebabkan anak-anak mengalami kekerasan simbolik. Dalam
pandangan Pierre Bourdieu, kekerasan simbolik (la violence symbolique) merupakan kekerasan tidak kasat mata yang
tidak akan tampak tanpa adanya pemahaman kritis. Pada dasarnya, para korban
menganggap apa yang menimpa mereka bersifat alamiah dan wajar. Tak heran jika kekerasan
semacam ini dipelihara sampai dewasa dan berkeluarga.
Bojonegoro, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar