Melalui buku kumpulan cerpen Anak-anak
Masa Lalu (Marjin Kiri, Juni 2015), Damhuri Muhammad (DM) mengurai
kegelisahannya sebagai manusia kontemporer. DM berada dalam garis demarkasi
antara eksotisme masa lalu dan kegenitan masa depan. Hal ini berlatar belakang
bahwa di satu sisi, ia sukar melepaskan diri dari tradisi, mitos, warisan
pemikiran, dan cengkeraman sejarah kampung yang begitu kuat. Namun di sisi
lain, ia juga menyadari bahwa psikologi manusia masa kini tidak dapat mengelak
dari nilai, prinsip, dan etos modernitas.
Lewat karyanya, sastrawan asal
Minangkabau setelah generasi Gus tf Sakai tersebut seolah berkoar bahwa
orang-orang kampung tengah mengantongi julukan kaum semi-urban. Mereka bergaya,
berperilaku, dan bercorak pikir layaknya orang kota. Berpenampilan modis dan trendy,
digenapi dengan gadget canggih, mereka menampakkan diri sebagai orang
kota. Sayangnya, tampilan serba urban kurang diimbangi dengan matangnya pola
berpikir.
Cerpen “Orang-orang Larenjang”
mengisahkan Julfahri yang kehilangan identitas sebagai orang kampung. Etos
urbanisme telah menggerogoti cara pandangnya terhadap kehidupan. Nilai,
prinsip, dan kearifan nenek moyang telah tergerus oleh arus modernitas yang
menawarkan segala bentuk kemewahan, kemudahan, dan kenyamanan yang banal dan
dangkal makna. Beberapa tahun kuliah di kota membuatnya tidak lagi percaya pada
nasihat pengulu Bandara Gemuk yang cenderung konservatif dan ketinggalan zaman.
Julfahri nekat mempersunting Nurhusni, seorang sanak dekat yang berada dalam
satu rumpun dengannya. Padahal pernikahan semacam ini ditolak oleh “rambu-rambu
adat”. Julfahri menerobos larangan dengan risiko kehilangan istri dan dua
anaknya.
Adapun cerpen “Ambai-ambai”
memperlihatkan kegigihan seseorang meminang pelacur. Walaupun konvensi sosial
tak mengizinkannya, ia tetap bersikeras melangsungkan pernikahan.
Bertahun-tahun mengarungi samudera rumah tangga, beragam hinaan harus diterima
bukan hanya olehnya, namun juga anak-anaknya. Meski alur cerita tidak
memperlihatkan adanya pengaruh urbanisme secara langsung, tetapi egoisme kaum
urban ternyata sudah jauh merasuk dalam diri kaum udik, sehingga mereka berani
menihilkan kultur lokal.
Menjamurnya efek modernitas yang
menimpa masyarakat dewasa ini tidak membuat DM berpikir untuk meninggalkan dan
mengubur dalam-dalam kultur tradisional. Sebagai perantau yang bermukim di kota
besar Jakarta, ia justru berusaha memungut kearifan-kearifan lokal yang
diwariskan para pendahulu. Baginya, modernitas merupakan fakta yang harus
diterima, disikapi, dan diharmonisasikan dengan tradisi lama.
Penulis yang pernah menjadi Ketua
Tim Juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2008 dan 2013 tersebut
menyadari bahwa meminjam corak berpikir para pendahulu sama saja mengundang
romantisme yang begitu melenakan. Akan tetapi, ia juga mafhum bahwa pelbagai
produk modernitas tidak selayaknya disikapi dengan serampangan. Tarik-menarik
inilah yang terjadi dalam diri DM. Namun demikian, ia tidak lantas terjebak
dalam lubang kegamangan.
DM mampu bersikap dengan mengolah
gagasan-gagasan usang yang tentu masih relevan hingga sekarang. Tak ayal,
warisan ide masyarakat “tempo doeloe” menempati porsi besar dalam cerita-ceritanya.
Dengan demikian, apa yang disajikan DM dalam bukunya lebih bercorak
pascatradisional. Buah penanya banyak mendapat pengaruh dari pelbagai nilai,
norma, perilaku, cara pandang, dan ingatan kolektif yang berorientasi ke
belakang. Hal ini terutama sangat menonjol dalam cerpen “Tembiluk”, “Banun”,
“Bayang-bayang Tujuh”, “Badar Besi”, “Anak-anak Masa Lalu”, dan “Kepala Air”.
Dengan cara di atas, DM dapat
dengan leluasa melontarkan kritik sosialnya, meski dengan mengaburkan arah
kritik yang dituju. Pembaca cerdas tentu mengetahui, orang-orang kampunglah
yang menelan kritik tersebut. Bahwa kemudian mereka masih terninabobokkan oleh
gegap gempita yang ditawarkan modernitas, itu persoalan lain.
Kumpulan cerpen yang sebagian besar
telah terbit di media-media nasional ini berupaya menghadirkan nuansa masa
silam. Pembaca diajak merangkai kepingan nostalgia yang tercecer. Lahir di kampung
kecil di Taram, Payakumbuh, Sumatera Barat, memudahkan DM “memprovokasi”
pembaca untuk memungut sisa-sisa ingatan tentang indahnya
kehidupan perkampungan.
Dalam epilognya, ia mengaku, “Dunia
cerita yang saya rancang senantiasa bermula dari kenangan tentang kampung halaman.
Mungkin itu sebabnya, dalam pergaulan dengan sejawat-sejawat pengarang, saya
kerap disebut kampungan, lantaran cara berpikir saya yang udik … Alih-alih
bergerak maju dan gemilang, saya malah merasa semakin terbelakang, semakin ndeso,
meski belum jatuh ke level kolot.”
Bagaimana pun, serpihan memori
merupakan wujud kesenangan yang menancap pada pikiran. Oleh sebab itulah,
setiap manusia membutuhkan klangenan, hiburan ringan sesaat, di tengah peliknya
problematika kehidupan. Dalam pandangan DM, geliat menyajikan nostalgia
mengandung ikhtiar pelarian psikologis manusia dari segala realitas yang kian
menindas. Kredo semacam inilah yang direpresentasikan dengan baik dalam sejumlah
cerpennya.
Sayangnya, dalam berkarya, DM
cenderung “memaksakan” kehendak agar buah pikirannya dapat diterima publik. Ia
cenderung menempatkan diri sebagai penyampai aspirasi orang-orang yang terluka
oleh sejarah. Bagaimana tidak? Kebudayaan kampung genap dicampakkan oleh orang
kampung sendiri. Dengan caranya sendiri, ia begitu getol memanfaatkan karya
sastra sebagai penyusup ideologi dan misi budaya. Hal ini menjadikan kedewasaan
pembaca dikorbankan. Dalam taraf tertentu, pembaca tidak ditempatkan sebagai
pribadi otonom dengan otoritas penuh. Pembaca hanya diberi hak untuk sekadar mengamini
apa yang disuguhkan dalam balutan cerita-ceritanya.
Bojonegoro, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar