Sebagai makhluk sosial,
manusia membutuhkan sesama guna membangun interaksi dan komunikasi. Di sinilah
arti penting warung kopi. Ia tak hanya menyajikan kehangatan, keharmonisan, dan
kebersamaan. Tetapi, itu juga memberi kesempatan bagi para pengunjung untuk
membangun akses, jaringan, dan relasi.
Semua orang lebur di
dalamnya. Karena itu, tidak berlebihan jika ada seloroh bahwa dari warung kopi
lahir “masyarakat tanpa kelas”. Karena dikunjungi oleh beragam kalangan dan
lapisan masyarakat, warung kopi dilegitimasi sebagai ruang publik yang mampu
menawarkan ide demokratisasi. Wacana dan gagasan besar yang meliputi hajat
hidup orang banyak bisa muncul di sini.
Bahkan, tokoh sekaliber
Soekarno pernah memanfaatkan warung kopi demi mengakrabkan diri dengan Presiden
Amerika Serikat, Richard Nixon. Dalam catatan sejarah, keduanya pernah menyeruput
kopi di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.
Peristiwa unik ini
berawal dari kunjungan Richard Nixon ke Indonesia guna memastikan situasi
politik Indonesia yang mengkhawatirkan. Sebelumnya, sang proklamator ingin
mengajak Nixon berkunjung langsung ke Istana Negara.
Tetapi, di tengah
perjalanan, tanpa direncanakan, keduanya mampir di sebuah warung kopi (Andika,
2015). Tokoh bangsa tersebut seolah mengajarkan bahwa memanasnya suhu politik
tidak harus dihadapi dengan “kepala mengepul”.
Pemantik Inspirasi
Warung kopi mengandung
anomali. Di satu sisi, ia menjembatani perjumpaan manusia dalam suasana guyub,
santai, dan penuh canda. Di sisi lain, ia dianggap sebagai pangkalan bagi kumpulan
orang tanpa pekerjaan dan kehormatan.
Ia menampung pecundang,
pengangguran dan mereka yang kalah dalam persaingan. Tingkat produktifitas
manusia, terutama dalam bekerja, berkurang karena banyak waktu lenyap hanya
gara-gara secangkir kopi.
Namun, tidak demikian
bagi para penyair. Lokasi dan suasana yang jauh dari kesan formal membuat
warung kopi kerap mengundang inspirasi dan imajinasi. Ribuan puisi lahir di meja
warung kopi. Bersama indahnya pagi dan hangatnya sinar mentari, mereka
memanfaatkan kopi dalam ritual penyelamatan puisi.
Warung kopi bahkan
diangkat menjadi judul antologi puisi, semisal Republik Warung Kopi:
Antologi Puisi Delapan Penyair Kalbar. Buku ini memuat sejumlah puisi bergaya
segar, dengan ironi yang tajam, serta spirit mempermainkan konsep yang serius. Dalam
kata pengantarnya, Hanna Fransisca (2011) menyebutkan bahwa beberapa penyair berhasil
menggarap tema kenegaraan dari sebuah warung kopi.
Dari bangku warung
kopi, Pay Jarot Sujarwo meneropong potret beragam manusia. Dalam puisi “Warung
Kopi Winny, Jalan Gajahmada”, warung kopi digambarkan sebagai representasi nasib
sebuah negara: //kau akan mendengar suara lebah di sini/ bahkan lebih pikuk
dari suara lebah//.
Adapun Ety
Syaifurohyani, dalam puisi bertajuk “Kopitiam” berseloroh: kalau pejabat
ingin mendengar keluhan dan jeritan rakyat/ duduklah di kopitiam/ para pejabat
yang terhormat akan mendengar jeritan rakyat…//. Menggunakan logika “warung
kopi”, tema-tema besar ke-Indonesia-an ditulis penuh genit tanpa berhasrat
menggurui.
Banyak novel dan buku
populer bermunculan setelah para penulis memikirkan urgensi, fungsi, dan
filosofi warung kopi. Sebut saja Mencari Tuhan di Warung Kopi (Mizan
Pustaka, 2004), Lawak Warung Kopi (M&C, 2012), dan Surga di
Warung Kopi (Bhuana Sastra, 2014).
Perpustakaan ala Warung Kopi
Mengingat pentingnya
warung kopi sebagai basis pengembangan budaya literasi, pada tahun 2014,
Pemerintah Daerah Pontianak meluncurkan program Perpustakaan Berbasis Warung
Kopi dan Komunitas. Program ini berhasil terselenggara setelah diadakan focus
group discussion (FGD) dengan mengundang pemilik warung kopi, komunitas baca
tulis, lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, budayawan, serta masyarakat
awam.
Pemerintah setempat berinisiatif
menyulap warung kopi menjadi medium berbagi informasi dan pengetahuan.
Tersedianya sejumlah buku di warung kopi diyakini mampu mengatrol minat baca
masyarakat. Ini juga merupakan langkah konkret menghadirkan buku di ruang
publik dalam upaya “jemput bola” penikmat buku dan pembaca pemula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar