Dalam tahun-tahun terakhir, persentase publik pro Pancasila terus menurun.
Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang digelar belum lama ini menunjukkan
bahwa pada tahun 2005, publik yang pro Pancasila mencapai 85,2 persen. Pada
tahun 2010, angkanya berubah menjadi 81,7 persen. Pada tahun 2015, publik yang
pro Pancasila hanya 79,4 persen. Sementara pada tahun 2018, angka tersebut kembali
merosot menjadi 75,3 persen.
Data yang disuguhkan LSI di atas tentu merupakan preseden buruk bagi
bangsa Indonesia. Padahal, oleh sejumlah kalangan, Pancasila dinilai menjadi
solusi atas beragam problematika akut yang menimpa bangsa ini. Bagaimanapun,
semakin rendahnya kepercayaan terhadap makna dan fungsi ideologi bangsa rentan
mengendorkan antusiasme publik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Riwayat terciptanya
embrio Pancasila dalam rahim ibu pertiwi tak terlepas dari beragam dinamika.
Apa yang terkandung di dalamnya bukanlah tercetus dari spontanitas, melainkan
proses yang cukup berliku. Pembentukannya melewati perdebatan, dialektika,
serta perenungan mendalam. Ikhtiar mengukuhkan nilai-nilai kebangsaan dan
kenegaraan direfleksikan oleh founding
fathers dalam menetapkan dasar negara. Betapa upaya para tokoh bangsa dalam
menguatkan fondasi peradaban mampu termanifestasi melalui lima sila Pancasila.
Pergulatan
Panjang
Salah satu nilai,
prinsip, serta etos yang genap membentuk hakikat Pancasila adalah gotong royong.
Jika dirunut secara lebih jauh, maka gotong royong merupakan intisari dari
sila-sila Pancasila, sebagaimana isi pidato Soekarno yang menggebu-gebu, “Jikalau
saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya
satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong’. Negara
Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong.”
Di samping fakta
historis, pandangan Soekarno di atas juga berangkat dari pengalaman sekaligus
pergulatan panjang mencapai negara yang merdeka, mandiri, serta berdaulat. Ia
memahami bahwa filosofi kehidupan penduduk Nusantara sejak dahulu kala adalah
kebersamaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Betapa para pendahulu telah
mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan kepada generasi setelahnya.
Catatan sejarah
menunjukkan bahwa nilai, prinsip, serta etos gotong royong sejak lama
dipraktikkan oleh orang-orang desa. Bahkan, jauh sebelum lahirnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mereka mampu mengekang individualisme dan
egosentrisme demi tercapainya cita-cita bersama. Betapa aktivitas keseharian
mereka senantiasa berlandaskan komunalisme. Dalam berbagai situasi dan kondisi,
mereka berusaha mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Implementasi gotong royong yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari
mengindikasikan bahwa berjalannya kehidupan di aras lokal meniscayakan adanya
musyawarah dan mufakat.
Berbeda dengan norma
hukum yang pelaksanaannya menuntut adanya pemaksaan terhadap individu, gotong
royong bersifat suka rela. Ia meniscayakan kesadaran anggota masyarakat dalam
mewujudkan kepentingan bersama. Namun demikian, mesti terdapat risiko bagi
orang-orang yang meninggalkannya. Dalam taraf tertentu, konsekuensi inilah yang
menjadikannya senantiasa terpelihara lintas generasi. Gotong royong terlaksana
berkat adanya sanksi sosial yang dipegang teguh oleh siapa saja yang bermukim
di wilayah perdesaan.
Hambatan
Serius
Setelah dikukuhkannya
Pancasila sebagai dasar negara dan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada
tahun 1945, ternyata gotong royong yang genap terlembaga sejak masa silam tetap
mampu bertahan. Fakta ini menggambarkan bahwa tradisi tersebut telah mendarah
daging dalam diri orang-orang Indonesia.
Dalam gotong royong
terkandung ikhtiar menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.
Upaya mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari terutama dilakukan oleh
orang-orang yang bermukim di wilayah pedalaman. Bagaimanapun, desa dengan
segenap anasirnya mempunyai andil dalam menguatkan ikatan sosial dan
menyuburkan benih-benih persatuan. Bergantinya kekuasaan tidak lantas
memberangus gotong royong dari pikiran, sikap, dan perilaku masyarakat
perdesaan. Terutama dalam urusan publik, mereka berupaya mengutamakan cita-cita
bersama sekaligus mengesampingkan kepentingan personal dan individual.
Sayang dalam
perjalanannya, pelestarian gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara menemui hambatan serius. Betapa modernisasi dan
globalisasi yang menelusup hampir ke semua lini kehidupan manusia rentan
menggerogoti nilai-nilai komunal masyarakat perdesaan. Fenomena ini antara lain
terlihat cukup jelas dalam bidang agraris yang sejak lama menjadi soko guru
perekonomian Nusantara.
Atas dasar inilah,
pemanfaatan media virtual, terutama media sosial (medsos), menemukan
urgensinya. Pemikiran ini berangkat dari fakta bahwa ketika dunia menapaki era borderless society, manusia terkungkung
dalam derasnya arus teknologi informasi. Kejayaan era digital disokong dengan
menjamurnya bermacam medsos yang lahir sebagai respons atas menggeliatnya pasar
virtual.
Demi membentuk generasi
virtual yang cerdas dan arif, tradisi gotong royong dalam “bungkus” lama memang
kurang relevan. Akan tetapi, tradisi tersebut dapat disemarakkan dengan format
baru dan ideal. Modal sosial yang dimiliki oleh orang-orang desa bisa
diwujudkan melalui dunia maya dengan menggagas ‘gotong royong virtual’.
Harapannya, dengan memanfaatkan aplikasi berbasis online, kerja sama antarwarga bisa ditingkatkan, adapun problematika
masyarakat perdesaan bisa ditampung dan dimusyawarahkan secara kekeluargaan.