Disengat panas terik
matahari, warga Desa Kemudo, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, bergotong royong
membuat talud pinggir jalan serta memperbaiki lahan budidaya tanaman anggur.
Apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka menyelesaikan program Padat Karya
Tunai (PKT) yang didukung penuh oleh PT Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur.
Dengan gotong royong, lebih
dari 300 warga desa, sejumlah perangkat desa, serta beberapa anggota karang
taruna bekerja sama mewujudkan PKT. Di samping kuatnya hasrat masyarakat desa mengembangkan
potensi lokal melalui perbaikan fasilitas dan infrastruktur, fakta ini juga
menunjukkan kuatnya kultur gotong royong yang dipegang teguh oleh bangsa
Indonesia.
Cita-cita
Bersama
Meski tradisi gotong
royong telah ditemukan di berbagai daerah Nusantara sejak masa silam, tetapi peralihan
kekuasaan dan era pemerintahan ternyata tidak lantas memberangusnya. Pada masa
Orde Lama, orang-orang desa selalu mempraktikkannya dalam berbagai situasi dan
kondisi. Apa yang terjadi di Banyuwangi, Madura, dan Magelang merupakan
gambaran betapa kehidupan di desa senantiasa berlandaskan hasrat kolektif.
Terutama dalam urusan publik, mereka berupaya mengutamakan cita-cita bersama
sekaligus mengesampingkan kepentingan personal dan individual.
Berdasarkan surat kabar Pewarta Soerabaia edisi 02-02-1951,
suatu sidang desa berhasil digelar di desa Banjarsari, Banyuwangi, yang
dikunjungi oleh sekitar 175 orang. Sidang tersebut menghasilkan kesepakatan
membentuk Ikatan Rukun Desa Banjarsari. Adapun azas organisasi tersebut ialah
kemasyarakatan dengan bersendikan kerakyatan, persamaan, serta gotong royong.
Berita yang dilansir
harian Suara Masjarakat edisi
03-09-1952 menyebutkan bahwa atas inisiatif Camat dan Kepala-kepala Desa di Kecamatan
Prenduan, Madura, gerakan pembuatan saluran-saluran air bersama warga berhasil
digalakkan. Bagi para petani, sarana tersebut dinilai sangat penting guna
mengairi tanaman di sawah. Berkat gencarnya gotong royong masyarakat setempat,
akhirnya pembuatan saluran air sepanjang 700 meter bisa terlaksana dengan baik.
Kuang Po edisi
01-10-1955 menginformasikan bahwa gotong royong digelar oleh warga Desa
Wuwuharjo, Pandansari dan Pandanretno, Kecamatan Kajoran, Magelang, guna
memperbaiki jalan sepanjang 2 kilo meter. Pembangunan fasilitas publik yang
menghubungkan tiga desa tersebut semestinya menjadi tanggung jawab jawatan
pemerintah, tetapi rupanya diambil alih oleh masyarakat setempat. Harian
tersebut menulis, “Akan tetapi karena telah lama rusak dan oleh DPU rupa2nja
kurang mendapat perhatian, maka rakjat dari desa2 itu dng ichlas hati bergotong
rojong memperbaiki djalan tsb.”
Kearifan
Lokal
Pada masa Orde Baru,
gotong royong di wilayah perdesaan terbukti masih berjalan cukup intens, salah
satunya di Mojokerto. Mengutip surat kabar Pelita
edisi 12-02-1986, penduduk Desa Pekuwon, Mejoyo, Tinggarbunut, dan Salen, yang
masing-masing berada dalam wilayah Kecamatan Bangsal, Mojokerto, saling
mengulurkan bantuan saat dilanda banjir. Menggenangnya air di sejumlah titik
akibat meluapnya kali sadar justru menumbuhkan kepedulian. Mereka bergotong
royong memperbaiki saluran air dengan suka rela.
Munculnya musibah berupa
banjir tidak lantas membuat jalinan persaudaraan, pertemanan, serta
kekeluargaan orang desa rapuh, melainkan semakin kokoh. Dengan konsensus tak
tertulis, mereka bahu-membahu meringankan rasa sedih, depresi serta trauma.
Komunalisme membimbing mereka untuk bersama-sama mengusir penderitaan. Muncul
kearifan lokal bahwa segala bentuk kenestapaan yang menimpa sebagian anggota
desa ditanggung oleh semua warga.
Apa yang terjadi di
Mojokerto ini mengamini pandangan tradisional Jawa desa
mawa cara, negara mawa tata (desa mempunyai
adat, sedangkan negara memiliki tatanan
tertentu). Berlangsungnya
hingar-bingar politik di tingkat nasional belum tentu berimbas pada cara hidup
orang desa. Mereka senantiasa menunjukkan kasih sayang terhadap sesama, meski
dalam kondisi terjepit sekalipun.
Setelah reformasi hingga
kini, gotong royong tetap terselenggara di berbagai penjuru Indonesia, antara
lain di sejumlah desa adat Sulawesi Selatan. Kearifan lokal yang diajarkan
lewat petuah adat dan pesan leluhur mampu memantapkan komunalisme di lubuk hati
masyarakat. Etos gotong royong diwujudkan oleh suku Toraja melalui Rambu Solo
sebagai ritual adat Toraja yang digelar untuk melepas seseorang menuju
keabadian atau peristirahatan terakhir.
Dalam ritual tersebut,
mengutip Kompas edisi 10-02-2018, kerbau
menjadi komponen penting sekaligus berperan besar bagi pengembangan
infrastruktur lokal. Suleman Miting, pemangku adat di Lembang Rinding Batu menginformasikan
bahwa di Toraja, pembangunan jalan desa dan jalan kebun acap merupakan hasil
sumbangan kerbau dalam acara Rambu Solo. Oleh masyarakat setempat, jalan-jalan
tersebut akrab dinamakan “jalan adat”. Yang tak kalah penting, Rambu Solo
memuat semangat gotong royong dan kuatnya jalinan kekerabatan. Tersebar
persepsi bahwa hanya ritual inilah yang mampu mengumpulkan keluarga dan kerabat
dari seluruh wilayah, baik dari dalam maupun luar negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar