Media cetak dan daring
hari-hari ini dipenuhi berita kekecewaan pendukung pasangan Prabowo-Sandi yang
menganggap adanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif pada Pemilihan
Umum (Pemilu) 2019. Apalagi, dugaan tersebut genap dimentalkan melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi. Kekecewaan mereka semakin besar setelah pertemuan Jokowi dan
Prabowo digelar di stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) serta “diplomasi makan
siang” berlangsung antara Megawati dengan Prabowo.
Sejumlah orang melampiaskan
rasa frustasi dengan kegiatan negatif bahkan destruktif. Menyebarnya kabar
bohong (hoax) di beranda media sosial
barangkali dikarenakan ketidakmampuan sebagian orang mengelola emosi. Merebaknya
ujaran kebencian di ruang publik menunjukkan bahwa kemarahan, rasa dendam,
serta sinisme terhadap lawan politik hingga detik ini masih terpelihara. Dalam
taraf tertentu, mereka seolah menobatkan diri selaku seteru abadi, meski
perhelatan demokrasi sudah usai.
Kontraproduktif
Setelah Pemilu diselenggarakan
secara gegap gempita, muncul gelombang friksi yang tak terbendung derasnya. Dalam
tataran realitas, ajang pemilihan pemimpin negeri ini bukannya merekatkan tali
persaudaraan dan kekeluargaan, melainkan justru membuat jurang pemisah antara para
pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi kian lebar.
Hal di atas diperparah
dengan menjamurnya elite politik berwatak culas. Individualisme membimbing
mereka untuk selalu mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan
bersama. Hajat hidup rakyat rela dikorbankan demi terpenuhinya kenikmatan
sesaat. Perilaku mereka cukup jauh dari kesan berwibawa, terhormat, dan mulia. Pernyataan
yang mereka lontarkan bukannya mendinginkan suasana, tetapi justru memekakkan
telinga.
Sikap dan tindakan
mereka yang kontraproduktif genap melahirkan aksi provokasi. Masyarakat awam
yang kurang memahami suasana politik di negeri ini akhirnya terpancing melakukan
hal-hal yang cenderung merugikan diri sendiri. Dengan demikian, selain
mengingkari identitas sebagai bangsa yang beradab, ulah sebagian elite politik secara
tidak langsung mengakibatkan sulitnya rekonsiliasi nasional terwujud.
Geliat
Permusuhan
Gejala-gejala
pertikaian antarkelompok atau komunitas sebenarnya tidak hanya ditemukan
belakangan. Berdasarkan fakta historis, geliat permusuhan sejak lama turut
mewarnai tumbuh dan berkembangnya bangsa ini. Apa yang terjadi di bumi
Nusantara ternyata tidak selamanya ditandai dengan kedamaian, ketenteraman, serta
kerukunan. Munculnya konflik dengan melibatkan beberapa pihak menggambarkan
betapa cara instan dianggap sangat efektif untuk mengatasi persoalan.
Berdasarkan data yang
ada, riak-riak perpecahan telah ditemukan di berbagai tempat sehingga
mengakibatkan angka permusuhan cukup tinggi. Fenomena ini salah satunya
dijumpai pada suku Batak (Toba). Uniknya, masyarakat Toba mampu meredam suasana
dengan menggelar rekonsiliasi adat.
Bila diperhatikan, masa
silam orang Batak kerap diwarnai dengan pertikaian, peperangan sesama sub suku,
marga, desa, antardesa maupun antarbius.
Namun, beberapa naskah mencatat adanya suatu tata tertib yang mengatur
pertikaian orang Toba. Tata tertib tersebut mencakup pertikaian berskala kecil
(dalam lingkup keluarga batih) atau pertikaian besar (antarmarga atau bius).
Bungaran Antonius
Simanjuntak (2007: 25) mensinyalir bahwa setiap pertikaian selalu berawal dan
berakhir melalui “lembaga tata tertib” berbasis adat dan budaya. Yang patut
dipuji, orang “berdarah Toba” bersedia mematuhi keputusan atas penyelesaian
suatu sengketa. Mereka memegang teguh etika kepatuhan yang tulus terhadap
keputusan bersama. Apalagi, sejak dahulu kala suku Batak dikenal gemar menjunjung
tinggi kejujuran dan kekesatriaan.
Local Wisdom
Pola rekonsiliasi suku
Batak di atas selayaknya diadopsi dalam rekonsiliasi nasional. Bagaimanapun, inilah
di antara kearifan lokal (local wisdom)
suku-suku Indonesia yang mesti diserap nilai-nilainya. Seiring dengan masih tingginya
friksi akibat percaturan politik, perwujudan prinsip dan etos kearifan lokal
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menemukan relevansinya.
Di samping itu, yang
tak kalah penting adalah diambilnya sikap toleran oleh semua pihak. Para pendukung
pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi dituntut mampu mengadopsi ajaran
toleransi suku Jawa yang dipraktikkan dengan berusaha sekuat mungkin menghindari
persengketaan terbuka.
Menurut Daniel S. Lev,
hubungan pribadi orang Jawa dijalankan secara hati-hati, teratur, serta
menekankan diplomasi dan rasa hormat. Jika timbul suatu persengketaan, cara menanganinya
diusahakan pada level pribadi dengan menyerahkan permasalahan tersebut pada
seorang teman, sesepuh desa, atau lurah, yang bertindak selaku juru damai.
Langkah ini ditempuh dengan senantiasa menekankan kepentingan bersama sekaligus
berupaya meminimalisir konflik. (S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi [peny],
2008: 283-284)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar