Asmat merupakan salah
satu wilayah di Papua yang cukup rentan dengan gizi buruk dan wabah penyakit
menular. Dalam satu tahun terakhir, di sana terdapat kejadian luar biasa (KLB)
yang telah menewaskan 72 orang. Padahal, kawasan dengan banyak rawa-rawa tersebut
dianugerahi sagu dan ikan yang melimpah.
Kondisi demikian barang
tentu mengancam keberlangsungan hidup suku Asmat yang sejak lama mampu
menginspirasi banyak seniman dunia. Atas dasar inilah, perlindungan terhadap suku
terbesar dan paling terkenal di Papua tersebut menemukan relevansinya. Ikhtiar
melindungi suku Asmat merupakan bentuk penghargaan negara terhadap Papua yang menjadi
bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kebudayaan
Kayu
Tak hanya di kancah
nasional, suku Asmat sejak lama juga memperoleh pengakuan di level
internasinal. Suku Asmat genap menyuguhkan keunggulan, kecakapan, dan
kreativitas bangsa Indonesia di mata dunia melalui karya mereka. Dalam berbagai
kesempatan, mereka berusaha menabalkan ciri khas dan karakter kebangsaan yang
telah dikukuhkan oleh para pendahulu dan nenek moyang. Tak heran jika mereka
berulang kali mengantongi penghargaan dunia. Apa yang dihasilkan oleh Suku
Asmat merupakan Situs Warisan Budaya (Site
of the World Cutural Heritage).
Sejumlah pakar menyematkan
istilah “kebudayaan kayu” pada kebudayaan Asmat. Hal ini berangkat dari fakta
bahwa orang-orang Asmat mampu memanfaatkan sekaligus mengelola kayu yang tumbuh
di sekitar mereka untuk bertahan hidup di tengah alam yang gersang. Realitas
inilah yang mendorong mereka untuk mewujudkan pemikiran mengenai kehidupan beragama
dalam bentuk ukiran kayu dalam dua atau tiga dimensi. Itulah mengapa, ukiran
kayu suku Asmat dianggap sebagai simbolisasi pemikiran mereka tentang religiusitas.
Karya mereka merepresentasikan kepercayaan terhadap pemujaan roh, baih roh
nenek moyang maupun roh alam dan makhluk lain, yang dinilai turut memengaruhi kehidupan
manusia. Mereka memandang “kayu adalah Asmat, dan Asmat adalah pohon”, di mana pohon
tak ubahnya makhluk hidup. Akar pohon ibarat kaki manusia, batang pohon adalah badan
manusia, dahan dan rantingnya merupakan tangan dan jari-jari manusia, adapun buah-buahan
sama saja dengan kepala manusia. (Zulyani Hidayah. 2015: 35).
Memang tidak semua
kebudayaan Asmat dapat dipertahankan dan dimantapkan selaku identitas nasional.
Dalam buku Sistem Pemerintahan
Tradisional Masyarakat Asmat di Irian Jaya tercatat bahwa masyarakat desa
Asmat secara tradisional pernah melestarikan kebiasaan pemenggalan kepala
(pengayauan), kanibalisme, serta beragam upacara religi yang berhubungan dengannya.
Pengembangan tradisi ini ternyata dikaitkan dengan tokoh-tokoh mitos leluhur
dalam karya-karya ukir mereka. Orang-orang yang telah meninggal dunia diabadikan
dalam beraneka patung sebagai pusat aktivitas ritual kematian dan penyimpan rencana
balas dendam.
Dari gambaran kehidupan
tradisional masyarakat desa Asmat, bisa diperoleh penjelasan bahwa kegiatan
sehari-hari para laki-laki lazimnya difokuskan pada perang dan aktivitas keagamaan
dalam bentuk ritual tarian dan nyanyian, sedangkan kaum Hawa memegang teguh sejumlah
pantangan atau hal-hal yang dianggap tabu. Munculnya keyakinan ini berakar dari
konsep kebudayaan yang senantiasa diwariskan lintas generasi. Pada waktu-waktu
tertentu, semisal saat haid atau melahirkan anak, perempuan dianggap kotor,
sehingga rentan mengancam kesejahteraan hidup penduduk desa. (Tito Andonis,
dkk. 1994: 31).
Minat
Wisatawan
Berdasarkan realitas
historis di atas, kebudayaan Asmat perlu senantiasa diperhatikan. Pemerintah
semestinya gencar melakukan perlindungan terhadap eksistensi kebudayaan Asmat
yang menyimpan berbagai kecerdasan dan kearifan lokal (local wisdom). Seiring dengan gencarnya pemberitaan media
internasional mengenai sisi negatif negeri ini, suku Asmat justru mampu
menorehkan capaian luar biasa dalam upaya mengharumkan nama Indonesia. Suku
Asmat berhasil menangkis serangan dan propaganda sejumlah pihak yang berniat menyebarkan
“keburukan” bumi pertiwi. Bermotif keuntungan dan kepentingan sesaat, beberapa
oknum ingin menjatuhkan harkat dan martabat Indonesia di kancah internasional. Meskipun
demikian, langkah ini harus disertai filterisasi (penyaringan) budaya dengan memilah
tradisi yang perlu ditonjolkan dan dikubur dalam-dalam.
Selain itu, panorama
dan keindahan daerah-daerah yang menaungi kebudayaan Asmat juga selayaknya diapresiasi.
Di antara usaha pelestarian terhadapnya diwujudkan dengan kesediaan pemerintah
daerah dalam mengelola kawasan pariwisata dengan maksimal. Terdapat kesan bahwa
sumber-sumber daya kepariwisataan di beberapa titik belum terorganisir secara
baik. Usaha menarik minat wisatawan hanya dilakukan secara perorangan dengan
menyediakan fasilitas sederhana serta losmen atau penginapan ala kadarnya.
Melihat fakta ini, langkah
serius semestinya segera diambil. Pemerintah daerah selayaknya memperluas “daya
jangkau” dengan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana daerah tersebut. Supaya
terhindar dari pola top-down, pemerintah
daerah tetap melibatkan warga desa dalam setiap prosesnya. Bagaimanapun, prinsip
demokrasi menggariskan bahwa peran serta masyarakat dalam memberdayakan potensi
kawasan pariwisata merupakan keniscayaan.
Bojonegoro, 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar