Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) berencana
menguatkan sistem pengawasan dana desa berbasis kolaboratif. Upaya ini akan
ditempuh demi menghasilkan Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Dana Desa yang bisa menjadi
rujukan aparat penegak hukum, auditor, serta sejumlah kementerian/lembaga.
Sejak
digulirkan pada 2015, dana desa menjadi isu yang cukup sensitif. Apalagi,
jumlah dana desa yang digelontorkan oleh pemerintah pusat dari tahun ke tahun
semakin besar. Sampai penghujung 2018, pemerintah pusat genap menganggarkan
dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut
untuk diberikan kepada desa sebesar Rp 561 triliun.
Melimpahnya
dana desa turut menumbuhkan kembali taring kekuasaan elite lokal. Melalui
perangkat perundang-undangan, kuasa pemerintahan desa dikukuhkan. Merujuk Ivanovich
Agusta (2015), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengokohkan kembali kuasa
pemerintahan desa melalui dana desa, berikut wewenang mengelola seluruh program
yang masuk desa.
Agusta
juga mensinyalir bahwa dengan
adanya perolehan honor bulanan bagi perangkat desa, cengkeraman pemerintahan
desa menjalar sampai ke tingkat Rukun Tetangga (RT). Gencarnya
insentif program dan dana yang masuk ke desa merupakan bentuk kontrol
pemerintah pusat dan daerah terhadap implementasi fungsi-fungsi pemerintahan
desa.
Terbitnya peraturan perundang-undangan tentang desa tersebut
genap menguatkan
kuasa pemerintahan desa yang sempat melemah pasca
reformasi. Sayangnya, upaya penguatan
tersebut berimplikasi serius lantaran turut mengembalikan posisi kepala
desa sebagai sosok superior. Padahal, tak
lama setelah Soeharto tumbang, derasnya arus
demokratisasi dan desentralisasi ternyata
mengakibatkan kewibawaan mereka merosot drastis.
Barang
tentu hal ini memberikan kegembiraan bagi elite
lokal yang sejak lama kehilangan taring.
Kini, mereka memperoleh kepercayaan untuk mengelola dana desa yang berjumlah
ratusan juta rupiah per tahun di luar
proyek-proyek pemerintah pusat yang dititipkan ke desa. Jika fungsi kontrol di
desa kurang berjalan maksimal, maka dikhawatirkan
kepala desa akan tampil arogan bergaya
otoritarian-sentralistik di hadapan
warganya. Implementasi kehidupan desa juga akan
timpang, sebab kepala desa rentan menjalankan
kewenangan secara kebablasan.
Mekanisasi
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam perjalanannya telah memunculkan mekanisasi.
Bagaimanapun, tersedianya honor bulanan bagi perangkat
desa menyebabkan penetrasi pemerintahan desa dirasakan sampai level RT. Padahal, dahulu kala, RT merupakan lembaga
kemasyarakatan yang bersifat sukarela.
Kondisi demikian menyebabkan selain kemandiriannya dalam berinovasi
semakin terbatas, RT juga menjadi penampung kepentingan
kekuasaan di atasnya.
Itulah mengapa,
ketua RT tiada lain merupakan kepanjangan tangan kepala desa di wilayah
masing-masing. Akhirnya, kepastian
honor membuat kerja perangkat desa semakin mekanis. Tidak ada prakarsa dan inisiatif dalam rangka menjanjikan kesejahteraan masyarakat
desa. Honor sejatinya sekadar meniscayakan
hasil kinerja yang terukur, bercorak
kuantiatif, namun menihilkan
kreativitas.
Di
samping honor, mekanisasi perangkat desa sebenarnya juga dilakukan melalui seragam
dinas. Meskipun bukan termasuk
Aparatur Sipil Negara (ASN), tetapi perangkat
desa dituntut mengenakan seragam ala
pemerintah. Atribut ini mengesankan
bahwa mereka merupakan bagian dari pemerintah pusat yang menjalankan tugas
negara. Pakaian resmi menandakan,
mereka
senantiasa mematuhi apa yang dikehendaki oleh supra desa. Instruksi pemerintah
pusat dan daerah merupakan titah yang wajib dilaksanakan. Suasana formal dan
teratur melingkupi mereka saat bertugas. Tak
heran apabila berkumpulnya para pamong di balai desa
lebih merefleksikan petugas kantor dibanding pelayan masyarakat.
Kepastian
honor bagi perangkat desa mendaulat uang sebagai sarana kontrol yang
paling efektif. Negara leluasa
melakukan pengawasan terhadap rakyat melalui uang. Pengendalian terhadap
kehidupan desa cukup mudah
diwujudkan dengan uang.
Seringkali perangkat desa kehilangan daya kritis ketika dijejali uang. Pada
dasarnya uang merupakan perangkat penguasa untuk “mengondisikan”
siapa saja yang berani melawannya.
Dengan adanya
dana desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
misalnya, pemerintah pusat dan daerah mengikutsertakan pendamping desa yang
bertugas mengawalnya. Padahal, boleh
jadi pendamping desa membawa
ideologi dan misi tertentu yang lebih berpihak pada negara ketimbang desa. Pencairan dana
dari atas menyiratkan kemauan supra desa untuk membaca dinamika masyarakat desa.
Budaya Korupsi
Dalam
taraf tertentu, kuasa pemerintahan desa dicemari oleh menjamurnya penyelewengan
di level lokal. Bagaimanapun, melimpahnya uang di desa menjadi pemantik korupsi
oleh aktor-aktor lokal. Dalam enam bulan pertama 2018, Indonesia Corruption
Watch (ICW) mencatat adanya 27 kasus korupsi dana desa yang naik ke tahap
penyidikan. Data tersebut mengamini tesis bahwa budaya korupsi genap mengakar
di negeri ini.
Menurut
catatan sejarah, korupsi seolah dilegalkan sejak
zaman kerajaan. Korupsi memperoleh jalan lempang sebab raja memberikan
keleluasaan bagi elite
lokal untuk memperkaya diri.
Pada masa silam, kepala
desa sebagai tangan kanan raja mendapat peluang besar untuk mengeruk keuntungan
dengan jalan haram. Tanpa kepastian gaji, mereka justru leluasa memonopoli tenaga kerja untuk
kepentingan pribadi.
Rakyat
kecil yang semestinya memperoleh
perlindungan justru diperas oleh pemimpinnya. Mereka yang bermental
individualistis pasti merasa diuntungkan dengan keputusan
raja. Adapun rakyat
kecil selalu mengeluh karena menjadi
korban kesewenangan elite lokal.
Orang desa kerap menerima
imbas dan risiko dari kebijakan yang
menihilkan eksistensinya.
Kesewenangan
kepala desa menurun saat Herman Willem Daendels terpilih menjadi Gubernur-Jenderal
Hindia Belanda pada tahun 1808-1811. Masa
pemerintahan Daendels yang cukup singkat rupanya
membatasi dominasi elite lokal.
Kebijakan pemerintah menyebabkan penghasilan
mereka
merosot sedemikian rupa. Bahkan, apa yang
mereka “kantongi” cenderung sekadar merupakan pemberian
dari atas. Pendapatan yang benar-benar pasti hanyalah gaji. Sehingga, untuk mencari pemasukan lain, mereka merasa
kesulitan.
Posisi kepala desa terancam jika nekat
mengutip keuntungan dari
penjualan hasil bumi. Mereka tidak lagi leluasa menambah pundi kekayaan dengan
menghisap kekayaan orang-orang desa.
Sanksi atas kasus korupsi membuat mereka berpikir dua kali untuk melakukan
penghisapan. Kebijakan
ini secara tidak langsung
meringankan penderitaan rakyat kecil.
Kerja orang desa menjadi lebih ringan
lantaran kepala desa tidak lagi membebaninya.
Getolnya
Daendels membasmi korupsi menjadikan beban rakyat otomatis berkurang. Sebelumnya, diperbolehkannya
kepala desa mengambil keuntungan dari hasil panen membuat warga desa kerap
diperas oleh pemimpinnya.
Kepala desa berhasrat
melipatgandakan keuntungan dengan memaksa warganya menghasilkan lebih banyak
hasil panen. Ketika target upeti berhasil
terpenuhi, kepala desa bisa
mengantongi sisanya. Warga desa kerap bekerja di luar kemampuan demi menuruti
hasrat elite lokal.
Bojonegoro, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar