Senin, 15 Juli 2019

Kuasa Elite Lokal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Analisa" edisi Sabtu, 13 Juli 2019)

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) berencana menguatkan sistem pengawasan dana desa berbasis kolaboratif. Upaya ini akan ditempuh demi menghasilkan Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Dana Desa yang bisa menjadi rujukan aparat penegak hukum, auditor, serta sejumlah kementerian/lembaga.
Sejak digulirkan pada 2015, dana desa menjadi isu yang cukup sensitif. Apalagi, jumlah dana desa yang digelontorkan oleh pemerintah pusat dari tahun ke tahun semakin besar. Sampai penghujung 2018, pemerintah pusat genap menganggarkan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut untuk diberikan kepada desa sebesar Rp 561 triliun.
Melimpahnya dana desa turut menumbuhkan kembali taring kekuasaan elite lokal. Melalui perangkat perundang-undangan, kuasa pemerintahan desa dikukuhkan. Merujuk Ivanovich Agusta (2015), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengokohkan kembali kuasa pemerintahan desa melalui dana desa, berikut wewenang mengelola seluruh program yang masuk desa.
Agusta juga mensinyalir bahwa dengan adanya perolehan honor bulanan bagi perangkat desa, cengkeraman pemerintahan desa menjalar sampai ke tingkat Rukun Tetangga (RT). Gencarnya insentif program dan dana yang masuk ke desa merupakan bentuk kontrol pemerintah pusat dan daerah terhadap implementasi fungsi-fungsi pemerintahan desa.
Terbitnya peraturan perundang-undangan tentang desa tersebut genap menguatkan kuasa pemerintahan desa yang sempat melemah pasca reformasi. Sayangnya, upaya penguatan tersebut berimplikasi serius lantaran turut mengembalikan posisi kepala desa sebagai sosok superior. Padahal, tak lama setelah Soeharto tumbang, derasnya arus demokratisasi dan desentralisasi ternyata mengakibatkan kewibawaan mereka merosot drastis.
Barang tentu hal ini memberikan kegembiraan bagi elite lokal yang sejak lama kehilangan taring. Kini, mereka memperoleh kepercayaan untuk mengelola dana desa yang berjumlah ratusan juta rupiah per tahun di luar proyek-proyek pemerintah pusat yang dititipkan ke desa. Jika fungsi kontrol di desa kurang berjalan maksimal, maka dikhawatirkan kepala desa akan tampil arogan bergaya otoritarian-sentralistik di hadapan warganya. Implementasi kehidupan desa juga akan timpang, sebab kepala desa rentan menjalankan kewenangan secara kebablasan.

Mekanisasi
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam perjalanannya telah memunculkan mekanisasi. Bagaimanapun, tersedianya honor bulanan bagi perangkat desa menyebabkan penetrasi pemerintahan desa dirasakan sampai level RT. Padahal, dahulu kala, RT merupakan lembaga kemasyarakatan yang bersifat sukarela. Kondisi demikian menyebabkan selain kemandiriannya dalam berinovasi semakin terbatas, RT juga menjadi penampung kepentingan kekuasaan di atasnya.
Itulah mengapa, ketua RT tiada lain merupakan kepanjangan tangan kepala desa di wilayah masing-masing. Akhirnya, kepastian honor membuat kerja perangkat desa semakin mekanis. Tidak ada prakarsa dan inisiatif dalam rangka menjanjikan kesejahteraan masyarakat desa. Honor sejatinya sekadar meniscayakan hasil kinerja yang terukur, bercorak kuantiatif, namun menihilkan kreativitas.
Di samping honor, mekanisasi perangkat desa sebenarnya juga dilakukan melalui seragam dinas. Meskipun bukan termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN), tetapi perangkat desa dituntut mengenakan seragam ala pemerintah. Atribut ini mengesankan bahwa mereka merupakan bagian dari pemerintah pusat yang menjalankan tugas negara. Pakaian resmi menandakan, mereka senantiasa mematuhi apa yang dikehendaki oleh supra desa. Instruksi pemerintah pusat dan daerah merupakan titah yang wajib dilaksanakan. Suasana formal dan teratur melingkupi mereka saat bertugas. Tak heran apabila berkumpulnya para pamong di balai desa lebih merefleksikan petugas kantor dibanding pelayan masyarakat.
Kepastian honor bagi perangkat desa mendaulat uang sebagai sarana kontrol yang paling efektif. Negara leluasa melakukan pengawasan terhadap rakyat melalui uang. Pengendalian terhadap kehidupan desa cukup mudah diwujudkan dengan uang. Seringkali perangkat desa kehilangan daya kritis ketika dijejali uang. Pada dasarnya uang merupakan perangkat penguasa untuk mengondisikan” siapa saja yang berani melawannya.
Dengan adanya dana desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), misalnya, pemerintah pusat dan daerah mengikutsertakan pendamping desa yang bertugas mengawalnya. Padahal, boleh jadi pendamping desa membawa ideologi dan misi tertentu yang lebih berpihak pada negara ketimbang desa. Pencairan dana dari atas menyiratkan kemauan supra desa untuk membaca dinamika masyarakat desa.

Budaya Korupsi
Dalam taraf tertentu, kuasa pemerintahan desa dicemari oleh menjamurnya penyelewengan di level lokal. Bagaimanapun, melimpahnya uang di desa menjadi pemantik korupsi oleh aktor-aktor lokal. Dalam enam bulan pertama 2018, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat adanya 27 kasus korupsi dana desa yang naik ke tahap penyidikan. Data tersebut mengamini tesis bahwa budaya korupsi genap mengakar di negeri ini.
Menurut catatan sejarah, korupsi seolah dilegalkan sejak zaman kerajaan. Korupsi memperoleh jalan lempang sebab raja memberikan keleluasaan bagi elite lokal untuk memperkaya diri. Pada masa silam, kepala desa sebagai tangan kanan raja mendapat peluang besar untuk mengeruk keuntungan dengan jalan haram. Tanpa kepastian gaji, mereka justru leluasa memonopoli tenaga kerja untuk kepentingan pribadi.
Rakyat kecil yang semestinya memperoleh perlindungan justru diperas oleh pemimpinnya. Mereka yang bermental individualistis pasti merasa diuntungkan dengan keputusan raja. Adapun rakyat kecil selalu mengeluh karena menjadi korban kesewenangan elite lokal. Orang desa kerap menerima imbas dan risiko dari kebijakan yang menihilkan eksistensinya.
Kesewenangan kepala desa menurun saat Herman Willem Daendels terpilih menjadi Gubernur-Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1808-1811. Masa pemerintahan Daendels yang cukup singkat rupanya membatasi dominasi elite lokal. Kebijakan pemerintah menyebabkan penghasilan mereka merosot sedemikian rupa. Bahkan, apa yang mereka “kantongi” cenderung sekadar merupakan pemberian dari atas. Pendapatan yang benar-benar pasti hanyalah gaji. Sehingga, untuk mencari pemasukan lain, mereka merasa kesulitan.
Posisi kepala desa terancam jika nekat mengutip keuntungan dari penjualan hasil bumi. Mereka tidak lagi leluasa menambah pundi kekayaan dengan menghisap kekayaan orang-orang desa. Sanksi atas kasus korupsi membuat mereka berpikir dua kali untuk melakukan penghisapan. Kebijakan ini secara tidak langsung meringankan penderitaan rakyat kecil. Kerja orang desa menjadi lebih ringan lantaran kepala desa tidak lagi membebaninya.
Getolnya Daendels membasmi korupsi menjadikan beban rakyat otomatis berkurang. Sebelumnya, diperbolehkannya kepala desa mengambil keuntungan dari hasil panen membuat warga desa kerap diperas oleh pemimpinnya. Kepala desa berhasrat melipatgandakan keuntungan dengan memaksa warganya menghasilkan lebih banyak hasil panen. Ketika target upeti berhasil terpenuhi, kepala desa bisa mengantongi sisanya. Warga desa kerap bekerja di luar kemampuan demi menuruti hasrat elite lokal.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar