Tak bisa dimungkiri, kasus-kasus
kekerasan masih membelit beberapa desa. Uniknya, warga desa mampu bersikap
bijak seraya menahan diri dari perilaku reaktif-emosional. Dengan berpikir
jernih, mereka berusaha agar kekerasan dapat segera diredam. Orang desa benar-benar
menjunjung tinggi toleransi beragama. Mereka senantiasa memuliakan prinsip
kerukunan yang genap diwariskan nenek moyang.
Saat menjalankan ibadah, mereka
mampu menghindarkan diri dari sikap fanatisme membabibuta. Dengan demikian,
implementasi ajaran kitab suci bukan justru melahirkan rasa benci, melainkan
harmoni. Inilah di antara kesan yang diperoleh saat kita membaca buku bertajuk Tradisi, Agama, dan Akseptasi
Modernisasi pada Masyarakat Pedesaan Jawa (Yayasan
Pustaka Obor Indonesia).
Harmonisme
Kultural
Kokohnya bangunan toleransi dalam
kehidupan desa antara lain dikarenakan orang Jawa mampu memposisikan agama dan
tradisi dengan baik. Keduanya mendapat ruang yang luas dalam diri orang Jawa.
Bahkan, mereka membingkainya dalam suatu harmoni, sehingga antara satu dengan
lainnya saling menguatkan. Inilah di antara point penting yang ingin
ditonjolkan dalam buku ini.
Penulis buku ini, Bungaran
Antonius Simanjuntak, mengungkap bahwa masyarakat Jawa menerima
agama dan tradisi selaku pelengkap hidup yang komplementer. Bagi mereka,
prinsip agama dan nilai tradisi menunjukkan kepaduan. Namun demikian, sikap
mereka terhadap keduanya bersifat dualistis. Sebagian orang menyatakan agama
bagian dari kebudayaan, adapun sisanya menolak pandangan tersebut.
Agama berfungsi sebagai sarana
mencapai ketenteraman, kedamaian, ketenangan; mengendalikan kehidupan sosial;
mengatur tingkah laku manusia; memberikan norma dan pedoman; serta menjanjikan
kebahagiaan sejati. Sebagai suatu gejala sosial, esensi agama dikuduskan oleh
adanya dogma, moral, dan etika (hlm. 167).
Lantaran menekankan urgensi agama,
orang Jawa begitu mudah menerima masuknya agama ke wilayah pedesaan. Pengalaman
membuktikan, sejak berabad-abad silam, Hindu dan Budha telah memasuki pulau
Jawa. Tak heran jika sejumlah peninggalan berupa candi-candi Borobudur,
Prambanan, Mendut, Kalasan, serta Jago masih bisa dinikmati sampai sekarang. Pesatnya
perkembangan kedua agama tersebut menyebabkan kebudayaan Hindu-Budha
terakulturasi dengan tradisi asli Jawa. Anehnya, setelah para pedagang Gujarat,
Persia, dan sebagainya membawa Islam ke pulau ini, penduduk setempat
meninggalkan agama Hindu dan Budha (hlm. 173).
Bagi masyarakat Jawa, fungsi
kebudayaan dan tradisi juga tidak kalah penting. Dalam upaya menyesuaikan diri
dengan orang lain, mereka menempuhnya melalui kebudayaan. Selain menciptakan
perdamaian sosial, esensi kebudayaan juga mengatur kehidupan manusia agar
tenteram, aman, bahagia, damai, sejahtera, teratur, terkendali, berpengharapan,
dan berpendorongan. Dalam tataran praktis, upacara tradisi digunakan oleh
masyarakat sebagai sarana mencapai ini semua (hlm. 167).
Uniknya, meski berkutat dengan
kebudayaan dan tradisi lama, masyarakat Jawa senantiasa mengikuti perkembangan
jaman. Bagaimanapun, globalisasi dan modernisasi harus dihadapi, bukan justru
dihindari. Itulah mengapa, agama dipakai untuk memaknai setiap perubahan yang
terjadi. Dalam taraf tertentu, agama merupakan ‘agent of modernization’.
Oposisi Biner
Simpulan yang disajikan penulis
seolah melahirkan suatu pertentangan antara desa dan kota. Desa sebagai lokasi
tumbuhnya harmoni, sedangkan kota merupakan tempat lahirnya tragedi.
Pertentangan demikian merupakan konstruksi oposisi biner sebagai sistem yang
membagi dunia dalam dua kategori yang berlawanan.
Pemandangan di desa menunjukkan
upaya setiap orang dalam merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan
menjalin interaksi, kolektivitas dan komunalitas orang desa tetap terjaga.
Betapa kultur yang santun dan lembut merupakan imbas dari corak kehidupan
pedesaan yang dilandasi prinsip gotong-royong.
Adapun nuansa kota selalu terkesan
sinis dan brutal. Globalisasi dan modernisasi membuat kota
semakin arogan, sehingga membentuk kepribadian yang egoistis.
Menjamurnya tindak kekerasan akhir-akhir ini antara lain disulut oleh
merembesnya budaya perkotaan dalam kepribadian masyarakat.
Padahal, desa masa kini cenderung beriklim
perkotaan. Di sini, karakter perdesaaan semakin sulit ditemukan. Dalam taraf
tertentu, desa menampilkan wajah rural di satu sisi dan tampilan urban di sisi
lain. Realitas ini berimbas pada kurang relevannya meletakkan desa dan kota
dalam bingkai oposisi biner. Dalam era borderless
society, definisi keduanya saling berkelindan dan senantiasa berhubungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar