Jumat, 12 Juli 2019

Harmoni Desa Jawa (Bunga Rampai_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alif" edisi Kamis, 11 Juli 2019)



Tak bisa dimungkiri, kasus-kasus kekerasan masih membelit beberapa desa. Uniknya, warga desa mampu bersikap bijak seraya menahan diri dari perilaku reaktif-emosional. Dengan berpikir jernih, mereka berusaha agar kekerasan dapat segera diredam. Orang desa benar-benar menjunjung tinggi toleransi beragama. Mereka senantiasa memuliakan prinsip kerukunan yang genap diwariskan nenek moyang.
Saat menjalankan ibadah, mereka mampu menghindarkan diri dari sikap fanatisme membabibuta. Dengan demikian, implementasi ajaran kitab suci bukan justru melahirkan rasa benci, melainkan harmoni. Inilah di antara kesan yang diperoleh saat kita membaca buku bertajuk Tradisi, Agama, dan Akseptasi Modernisasi pada Masyarakat Pedesaan Jawa (Yayasan Pustaka Obor Indonesia).

Harmonisme Kultural
Kokohnya bangunan toleransi dalam kehidupan desa antara lain dikarenakan orang Jawa mampu memposisikan agama dan tradisi dengan baik. Keduanya mendapat ruang yang luas dalam diri orang Jawa. Bahkan, mereka membingkainya dalam suatu harmoni, sehingga antara satu dengan lainnya saling menguatkan. Inilah di antara point penting yang ingin ditonjolkan dalam buku ini.
Penulis buku ini, Bungaran Antonius Simanjuntak, mengungkap bahwa masyarakat Jawa menerima agama dan tradisi selaku pelengkap hidup yang komplementer. Bagi mereka, prinsip agama dan nilai tradisi menunjukkan kepaduan. Namun demikian, sikap mereka terhadap keduanya bersifat dualistis. Sebagian orang menyatakan agama bagian dari kebudayaan, adapun sisanya menolak pandangan tersebut.
Agama berfungsi sebagai sarana mencapai ketenteraman, kedamaian, ketenangan; mengendalikan kehidupan sosial; mengatur tingkah laku manusia; memberikan norma dan pedoman; serta menjanjikan kebahagiaan sejati. Sebagai suatu gejala sosial, esensi agama dikuduskan oleh adanya dogma, moral, dan etika (hlm. 167).
Lantaran menekankan urgensi agama, orang Jawa begitu mudah menerima masuknya agama ke wilayah pedesaan. Pengalaman membuktikan, sejak berabad-abad silam, Hindu dan Budha telah memasuki pulau Jawa. Tak heran jika sejumlah peninggalan berupa candi-candi Borobudur, Prambanan, Mendut, Kalasan, serta Jago masih bisa dinikmati sampai sekarang. Pesatnya perkembangan kedua agama tersebut menyebabkan kebudayaan Hindu-Budha terakulturasi dengan tradisi asli Jawa. Anehnya, setelah para pedagang Gujarat, Persia, dan sebagainya membawa Islam ke pulau ini, penduduk setempat meninggalkan agama Hindu dan Budha (hlm. 173).
Bagi masyarakat Jawa, fungsi kebudayaan dan tradisi juga tidak kalah penting. Dalam upaya menyesuaikan diri dengan orang lain, mereka menempuhnya melalui kebudayaan. Selain menciptakan perdamaian sosial, esensi kebudayaan juga mengatur kehidupan manusia agar tenteram, aman, bahagia, damai, sejahtera, teratur, terkendali, berpengharapan, dan berpendorongan. Dalam tataran praktis, upacara tradisi digunakan oleh masyarakat sebagai sarana mencapai ini semua (hlm. 167).
Uniknya, meski berkutat dengan kebudayaan dan tradisi lama, masyarakat Jawa senantiasa mengikuti perkembangan jaman. Bagaimanapun, globalisasi dan modernisasi harus dihadapi, bukan justru dihindari. Itulah mengapa, agama dipakai untuk memaknai setiap perubahan yang terjadi. Dalam taraf tertentu, agama merupakan ‘agent of modernization’.

Oposisi Biner
Simpulan yang disajikan penulis seolah melahirkan suatu pertentangan antara desa dan kota. Desa sebagai lokasi tumbuhnya harmoni, sedangkan kota merupakan tempat lahirnya tragedi. Pertentangan demikian merupakan konstruksi oposisi biner sebagai sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berlawanan.
Pemandangan di desa menunjukkan upaya setiap orang dalam merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan menjalin interaksi, kolektivitas dan komunalitas orang desa tetap terjaga. Betapa kultur yang santun dan lembut merupakan imbas dari corak kehidupan pedesaan yang dilandasi prinsip gotong-royong.
Adapun nuansa kota selalu terkesan sinis dan brutal. Globalisasi dan modernisasi membuat kota semakin arogan, sehingga membentuk kepribadian yang egoistis. Menjamurnya tindak kekerasan akhir-akhir ini antara lain disulut oleh merembesnya budaya perkotaan dalam kepribadian masyarakat.
Padahal, desa masa kini cenderung beriklim perkotaan. Di sini, karakter perdesaaan semakin sulit ditemukan. Dalam taraf tertentu, desa menampilkan wajah rural di satu sisi dan tampilan urban di sisi lain. Realitas ini berimbas pada kurang relevannya meletakkan desa dan kota dalam bingkai oposisi biner. Dalam era borderless society, definisi keduanya saling berkelindan dan senantiasa berhubungan.

Yogyakarta, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar