Ajal telah menjemput
Anang (67). Lelaki uzur asal Kampung Citeureup, Desa Neglasari, Kecamatan
Banjaran, Kabupaten Bandung itu menghembuskan nafas terakhir setelah dibacok
rekannya berinisial Y (39). Berdasarkan dugaan sementara, rebutan sumber air
untuk sawah merupakan pemicu insiden tragis tersebut. Barangkali apa yang
menimpa Anang tak mungkin terjadi apabila jagatirta berperan maksimal.
Jagatirta menjadi
bagian tak terpisahkan dari pemerintah desa. Dengan memakai jasanya,
program-program pemerintahan desa dapat berjalan dengan baik. Hal ini
disebabkan, sejak dulu kala, mayoritas mata pencaharian orang desa adalah
petani yang selalu membutuhkan pasokan air guna menumbuhkan bibit tanaman di
sawah. Bertahannya kultur agraris di daerah-daerah pedalaman antara lain
dikarenakan peran jagatirta masih diemban oleh sejumlah orang.
Urgensi
Jagatirta
Di desa-desa Jawa,
jagatirta merupakan pamong desa, selain kepala desa, kamituwa, carik, kebayan,
dan jagabaya. Menurut Purwadi (2007: 191), jagatirta berasal dari kata jaga yang berarti menjaga dan tirta yang bermakna air. Mengantongi
nama lain reksabumi, sambong, ulu-ulu, atau kuwowo, ia berperan mengatur pengairan,
membuat saluran air, mengatur pembagian air, memelihara dan menyelesaikan
persoalan bila ada persengketaan yang disebabkan oleh pengairan sawah. Dengan
demikian, jagatirta adalah pamong desa yang bertugas mengatur pengairan
sawah-sawah rakyat.
Dalam kehidupan
perdesaan tradisional, peran jagatirta sangat urgen. Peran jagatirta sangat
dibutuhkan dalam rangka menumbuhkan berbagai tanaman di sawah. Seberapa besar
dan baik hasil panen di antaranya tergantung pada intensitas jagatirta dalam
menjalankan tugasnya. Di balik hasil panen yang melimpah terdapat kerja
kerasnya. Dalam menghasilkan beras yang berkualitas, orang-orang desa berutang
budi padanya.
Semangat dan etos kerja
jagatirta turut menentukan kesuksesan para petani dalam menggarap sawah.
Perkembangan dan kemajuan bidang pertanian tidak terlepas dari kinerja
jagatirta. Maju dan mundurnya bidang pertanian di wilayah perdesaan antara lain
ditentukan oleh peran jagatirta. Itulah mengapa, hubungan erat dan harmonisme
tercipta antara para petani dengan salah satu pamong desa ini. Terdapat ikatan
batin yang begitu kuat antara keduanya. Dari masa ke masa, ikatan tersebut
tetap bertahan dan tak tergoyahkan.
Keberadaan jagatirta
membuat kultur agraris senantiasa terpelihara dan diwariskan dari satu generasi
ke generasi selanjutnya. Implementasi nilai dan prinsip kaum petani dalam
mewujudkan kearifan lokal (local wisdom)
memiliki keterkaitan dengan jagatirta. Tak hanya itu, adat istiadat perdesaan
yang berhubungan dengan pertanian, semisal bermacam ritual dan upacara, tidak
mungkin bertahan tanpa adanya jagatirta.
Tugas mengatur
pengairan ke sawah-sawah, terutama dilakukan jagatirta pada waktu musim kemarau.
Pembagian air harus diatur seadil mungkin, supaya setiap pemilik sawah
mendapatkannya secara proporsional. Guna menghasilkan bahan pangan sekaligus
menghindarkan keluarga dari kelaparan, kaum petani memerlukan jagatirta. Oleh
sebab itu, tugas ini tidak bisa diemban oleh sembarang orang. Ada syarat dan
kriteria tertentu bagi siapa saja yang ingin berperan selaku jagatirta. Menurut
Thomas Wiyasa Bratawijaya (1988: 106), jagatirta harus dipilih dari orang yang
bijaksana dan mampu bertindak adil. Bagaimanapun, ketidakadilan (dalam
pembagian air) rentan menimbulkan keributan di antara para petani. Bahkan,
bukan tidak mungkin terjadi permusuhan di antara mereka.
Seiring berkembangnya
lahan pekerjaan manusia, kedudukannya semakin melemah. Ia terpaksa berbagi
pengaruh dengan profesi-profesi lainnya. Kala jumlah petani di desa masih
tinggi, ia benar-benar diperhitungkan. Wibawa melekat pada diri seseorang
dengan ‘predikat’ jagatirta. Lambat laun, menipisnya atensi dan simpati
masyarakat membuatnya tak berdaya. Globalisasi dan modernisasi menjadikannya
semakin tak berarti. Perkembangan zaman dan pergeseran pola pikir manusia
menjadi ancaman terbesar bagi keberlangsungan jagatirta. Berbeda jauh dengan
masa silam, di mana orang-orang terdahulu mempunyai kepedulian terhadap
keberadaan jagatirta, generasi belakangan tidak memiliki perhatian terhadapnya.
Merosotnya jumlah petani berimbas pada hilangnya kharisma pada dirinya.
Otonomi
Desa
Di luar urusannya
selaku pengelola air untuk dibagikan ke setiap sawah, tugas jagatirta juga
mencakup upaya penyelesaian persengketaan kaum petani dalam urusan pengairan
sawah. Mengatasi perselisihan yang timbul akibat pembagian air yang kurang
merata menjadi bagian dari tanggung jawabnya. Dengan demikian, selain
berhubungan dengan sawah, membangun interaksi sekaligus solidaritas sosial
antar pemilik sawah merupakan kewenangannya. Ia tidak hanya memastikan apakah
air dapat dirasakan semua petani, melainkan juga menjauhkan mereka dari segala
bentuk perpecahan.
Di sinilah peran
jagatirta dalam menempatkan diri selaku penengah yang arif dan bijak. Ia
dituntut mampu menjadi mediator yang baik bagi siapa saja yang berselisih. Ia
mesti berpikir jernih dan matang dalam upaya melahirkan solusi terbaik bagi
kehidupan petani. Komunikasi dengan warga desa senantiasa ia bangun demi
tercapainya kesepakatan yang saling menguntungkan. Supaya tidak ada yang merasa
dirugikan, unsur-unsur nepotisme dan kongkalikong benar-benar dijauhi. Ia harus
menaungi semua petani agar kecemburuan sosial dapat dihindarkan. Keputusannya
meniscayakan prinsip-prinsip keadilan, kerukunan, serta kebersamaan, agar dapat
diterima semua pihak. Apa yang genap diputuskan juga dilatarbelakangi ikhtiar
dalam mengutamakan kepentingan publik.
Salah satu penilaian
terhadap jalannya pemerintahan desa bisa ditinjau dari kinerja jagatirta.
Sebagian evaluasi atas tugas pamong desa dilakukan dengan melihat apakah
jagatirta menunaikan kewajibannya secara maksimal dan seberapa besar usahanya
dalam melestarikan sawah. Bagaimanapun, dalam taraf tertentu, jagatirta turut
membentuk good governance di desa.
Keputusannya seolah menjadi garansi atas kenyamanan dan kemakmuran warga yang
tinggal di suatu tempat.
Eksistensi jagatirta
pada masa silam merupakan bukti bahwa desa memiliki otonomi yang sangat besar.
Desa memiliki kewenangan untuk mengelola sawah secara mandiri tanpa bergantung
kepada pemerintah pusat. Desa menjadi arena para petani dalam mengukuhkan
identitas dan jatidiri. Desa dibekali dengan kemampuan untuk menata diri
sendiri tanpa intervensi dari luar. Hal ini berbeda dengan masa Orde Baru, di
mana tata kelola pertanian selalu bersifat top
down. Instruksi pemerintah menjadi dasar atas berkembangnya laju pertanian.
Untuk sekadar mengolah tanah, para petani menunggu program pemerintah. Desa tak
lagi memiliki daya cipta dan prakarsa. Dengan dalih keteraturan dan
penyeragaman, segala bentuk inovasi dihapuskan. Lebih dari itu, pada masa
inilah, desa menjadi kaki tangan penguasa dalam mensukseskan proyek-proyek
pembangunan. Desa tak lebih dari komunitas berbasis ruang yang bertanggung
jawab atas terselenggaranya program pemerintah.
Belakangan, saat materialisme
dan individualisme berhasil menyusup ke wilayah perdesaan, kinerja jagatirta
mulai diragukan. Apa yang dilakukan seringkali menunjukkan bahwa dirinya kurang
profesional. Daripada dimaksudkan sebagai bentuk pengabdian, kinerjanya lebih
berorientasi pada keuntungan jangka pendek. Dalam beberapa kasus, ia
memanfaatkan posisinya untuk menguntungkan satu kelompok dan merugikan kelompok
lain. Saat mengalirkan air irigasi ke sawah, ia cenderung tebang pilih. Skala
prioritas diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai hubungan pertemanan,
kekeluargaan, dan kekerabatan dengannya. Unsur kedekatan melandasi keputusannya
dalam urusan pengairan sawah. Netralitas tidak lagi menjadi acuannya dalam
bekerja, melainkan pemihakan atas kelompok tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar