Senin, 08 Juli 2019

Eksistensi Jagatirta dalam Kultur Agraris (Seni & Tradisi_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alif" edisi Senin, 8 Juli 2019)



Ajal telah menjemput Anang (67). Lelaki uzur asal Kampung Citeureup, Desa Neglasari, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung itu menghembuskan nafas terakhir setelah dibacok rekannya berinisial Y (39). Berdasarkan dugaan sementara, rebutan sumber air untuk sawah merupakan pemicu insiden tragis tersebut. Barangkali apa yang menimpa Anang tak mungkin terjadi apabila jagatirta berperan maksimal.
Jagatirta menjadi bagian tak terpisahkan dari pemerintah desa. Dengan memakai jasanya, program-program pemerintahan desa dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan, sejak dulu kala, mayoritas mata pencaharian orang desa adalah petani yang selalu membutuhkan pasokan air guna menumbuhkan bibit tanaman di sawah. Bertahannya kultur agraris di daerah-daerah pedalaman antara lain dikarenakan peran jagatirta masih diemban oleh sejumlah orang.

Urgensi Jagatirta
Di desa-desa Jawa, jagatirta merupakan pamong desa, selain kepala desa, kamituwa, carik, kebayan, dan jagabaya. Menurut Purwadi (2007: 191), jagatirta berasal dari kata jaga yang berarti menjaga dan tirta yang bermakna air. Mengantongi nama lain reksabumi, sambong, ulu-ulu, atau kuwowo, ia berperan mengatur pengairan, membuat saluran air, mengatur pembagian air, memelihara dan menyelesaikan persoalan bila ada persengketaan yang disebabkan oleh pengairan sawah. Dengan demikian, jagatirta adalah pamong desa yang bertugas mengatur pengairan sawah-sawah rakyat.
Dalam kehidupan perdesaan tradisional, peran jagatirta sangat urgen. Peran jagatirta sangat dibutuhkan dalam rangka menumbuhkan berbagai tanaman di sawah. Seberapa besar dan baik hasil panen di antaranya tergantung pada intensitas jagatirta dalam menjalankan tugasnya. Di balik hasil panen yang melimpah terdapat kerja kerasnya. Dalam menghasilkan beras yang berkualitas, orang-orang desa berutang budi padanya.
Semangat dan etos kerja jagatirta turut menentukan kesuksesan para petani dalam menggarap sawah. Perkembangan dan kemajuan bidang pertanian tidak terlepas dari kinerja jagatirta. Maju dan mundurnya bidang pertanian di wilayah perdesaan antara lain ditentukan oleh peran jagatirta. Itulah mengapa, hubungan erat dan harmonisme tercipta antara para petani dengan salah satu pamong desa ini. Terdapat ikatan batin yang begitu kuat antara keduanya. Dari masa ke masa, ikatan tersebut tetap bertahan dan tak tergoyahkan.
Keberadaan jagatirta membuat kultur agraris senantiasa terpelihara dan diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Implementasi nilai dan prinsip kaum petani dalam mewujudkan kearifan lokal (local wisdom) memiliki keterkaitan dengan jagatirta. Tak hanya itu, adat istiadat perdesaan yang berhubungan dengan pertanian, semisal bermacam ritual dan upacara, tidak mungkin bertahan tanpa adanya jagatirta.
Tugas mengatur pengairan ke sawah-sawah, terutama dilakukan jagatirta pada waktu musim kemarau. Pembagian air harus diatur seadil mungkin, supaya setiap pemilik sawah mendapatkannya secara proporsional. Guna menghasilkan bahan pangan sekaligus menghindarkan keluarga dari kelaparan, kaum petani memerlukan jagatirta. Oleh sebab itu, tugas ini tidak bisa diemban oleh sembarang orang. Ada syarat dan kriteria tertentu bagi siapa saja yang ingin berperan selaku jagatirta. Menurut Thomas Wiyasa Bratawijaya (1988: 106), jagatirta harus dipilih dari orang yang bijaksana dan mampu bertindak adil. Bagaimanapun, ketidakadilan (dalam pembagian air) rentan menimbulkan keributan di antara para petani. Bahkan, bukan tidak mungkin terjadi permusuhan di antara mereka.
Seiring berkembangnya lahan pekerjaan manusia, kedudukannya semakin melemah. Ia terpaksa berbagi pengaruh dengan profesi-profesi lainnya. Kala jumlah petani di desa masih tinggi, ia benar-benar diperhitungkan. Wibawa melekat pada diri seseorang dengan ‘predikat’ jagatirta. Lambat laun, menipisnya atensi dan simpati masyarakat membuatnya tak berdaya. Globalisasi dan modernisasi menjadikannya semakin tak berarti. Perkembangan zaman dan pergeseran pola pikir manusia menjadi ancaman terbesar bagi keberlangsungan jagatirta. Berbeda jauh dengan masa silam, di mana orang-orang terdahulu mempunyai kepedulian terhadap keberadaan jagatirta, generasi belakangan tidak memiliki perhatian terhadapnya. Merosotnya jumlah petani berimbas pada hilangnya kharisma pada dirinya.

Otonomi Desa
Di luar urusannya selaku pengelola air untuk dibagikan ke setiap sawah, tugas jagatirta juga mencakup upaya penyelesaian persengketaan kaum petani dalam urusan pengairan sawah. Mengatasi perselisihan yang timbul akibat pembagian air yang kurang merata menjadi bagian dari tanggung jawabnya. Dengan demikian, selain berhubungan dengan sawah, membangun interaksi sekaligus solidaritas sosial antar pemilik sawah merupakan kewenangannya. Ia tidak hanya memastikan apakah air dapat dirasakan semua petani, melainkan juga menjauhkan mereka dari segala bentuk perpecahan.
Di sinilah peran jagatirta dalam menempatkan diri selaku penengah yang arif dan bijak. Ia dituntut mampu menjadi mediator yang baik bagi siapa saja yang berselisih. Ia mesti berpikir jernih dan matang dalam upaya melahirkan solusi terbaik bagi kehidupan petani. Komunikasi dengan warga desa senantiasa ia bangun demi tercapainya kesepakatan yang saling menguntungkan. Supaya tidak ada yang merasa dirugikan, unsur-unsur nepotisme dan kongkalikong benar-benar dijauhi. Ia harus menaungi semua petani agar kecemburuan sosial dapat dihindarkan. Keputusannya meniscayakan prinsip-prinsip keadilan, kerukunan, serta kebersamaan, agar dapat diterima semua pihak. Apa yang genap diputuskan juga dilatarbelakangi ikhtiar dalam mengutamakan kepentingan publik.
Salah satu penilaian terhadap jalannya pemerintahan desa bisa ditinjau dari kinerja jagatirta. Sebagian evaluasi atas tugas pamong desa dilakukan dengan melihat apakah jagatirta menunaikan kewajibannya secara maksimal dan seberapa besar usahanya dalam melestarikan sawah. Bagaimanapun, dalam taraf tertentu, jagatirta turut membentuk good governance di desa. Keputusannya seolah menjadi garansi atas kenyamanan dan kemakmuran warga yang tinggal di suatu tempat.
Eksistensi jagatirta pada masa silam merupakan bukti bahwa desa memiliki otonomi yang sangat besar. Desa memiliki kewenangan untuk mengelola sawah secara mandiri tanpa bergantung kepada pemerintah pusat. Desa menjadi arena para petani dalam mengukuhkan identitas dan jatidiri. Desa dibekali dengan kemampuan untuk menata diri sendiri tanpa intervensi dari luar. Hal ini berbeda dengan masa Orde Baru, di mana tata kelola pertanian selalu bersifat top down. Instruksi pemerintah menjadi dasar atas berkembangnya laju pertanian. Untuk sekadar mengolah tanah, para petani menunggu program pemerintah. Desa tak lagi memiliki daya cipta dan prakarsa. Dengan dalih keteraturan dan penyeragaman, segala bentuk inovasi dihapuskan. Lebih dari itu, pada masa inilah, desa menjadi kaki tangan penguasa dalam mensukseskan proyek-proyek pembangunan. Desa tak lebih dari komunitas berbasis ruang yang bertanggung jawab atas terselenggaranya program pemerintah.
Belakangan, saat materialisme dan individualisme berhasil menyusup ke wilayah perdesaan, kinerja jagatirta mulai diragukan. Apa yang dilakukan seringkali menunjukkan bahwa dirinya kurang profesional. Daripada dimaksudkan sebagai bentuk pengabdian, kinerjanya lebih berorientasi pada keuntungan jangka pendek. Dalam beberapa kasus, ia memanfaatkan posisinya untuk menguntungkan satu kelompok dan merugikan kelompok lain. Saat mengalirkan air irigasi ke sawah, ia cenderung tebang pilih. Skala prioritas diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai hubungan pertemanan, kekeluargaan, dan kekerabatan dengannya. Unsur kedekatan melandasi keputusannya dalam urusan pengairan sawah. Netralitas tidak lagi menjadi acuannya dalam bekerja, melainkan pemihakan atas kelompok tertentu.

Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar