Saat mengadakan jumpa pers belakangan
ini, Kepala Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah, mengaku
prihatin terhadap status darurat Nusa Tenggara Timur (NTT). Di Indonesia, NTT
genap dinobatkan sebagai daerah dengan angka kasus perdagangan orang (human trafficking) tertinggi.
Maraknya kasus human trafficking menunjukkan rendahnya
pandangan publik terhadap perempuan. Pandangan negatif terhadap perempuan
selama ini merupakan akibat tidak langsung dari kentalnya kultur patriarki di
negeri ini. Betapa sejak lama, penghormatan terhadap kaum lelaki sekaligus
penghinaan terhadap harkat kaum Hawa menjadi bagian dari tradisi yang
diwariskan lintas generasi. Oleh masyarakat, perempuan acapkali dianggap lemah,
bodoh, tak berbudaya, kurang berkompeten, serta miskin prestasi.
Penyebab
Kemunduran
Menurut kepercayaan
kuno, kelahiran anak lelaki merupakan suatu kebanggaan dan kemuliaan bagi
keluarga. Sebaliknya, keluarnya bayi perempuan dari rahim ibu merupakan musibah
dan bencana. Tak mengherankan apabila pasangan suami-istri yang memiliki anak
perempuan dinilai mengandung aib serta mengundang bermacam kesialan. Apalagi,
persepsi demikian didukung dengan catatan historis.
Merujuk Djajadiningrat,
faktor utama penyebab kemunduran Aceh ialah kepemimpinan raja perempuan yang
berlangsung selama setengah abad, mulai tahun 1641. Tanpa mengantongi izin
keluar dari harem, raja-raja perempuan terpaksa menginisiasi jabatan kepala
himpunan desa-desa penghasil beras dan lada sekaligus mengukuhkan pemegang
kekuasaan setempat selaku ketua himpunan.
Sayang, kedudukan
strategis yang dapat menghasilkan banyak kekayaan tersebut kerap diisi oleh
anggota keluarganya. Kebijakan istana yang bernuansa nepotisme akhirnya
memantik perlawanan. Apa yang dilakukan oleh raja memperoleh pertentangan
serius dari alim ulama dan petinggi lelaki kerajaan. Hal inilah yang di
kemudian hari menyebabkan hak-hak istimewa raja Aceh semakin berkurang. (Henk
Schulte Nordholt, et.al. [ed], 2008: 336).
Namun demikian, tidak
berarti kaum perempuan selalu dibelenggu dengan image negatif. Dalam tataran realitas, kemajuan desa tak terlepas
dari peran dan sumbangsih perempuan. Kesejahteraan desa merupakan imbas dari
keikutsertaan perempuan dalam ruang publik. Ada banyak bukti tentang kehebatan
perempuan, antara lain ditemukan di Desa Sumur Lor Kabupaten Probolinggo.
Bukan hanya program
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), partisipasi perempuan di desa ini
ternyata cukup marak dalam kegiatan publik dan aktivitas sosial lainnya.
Menurut Hetifah Sj. Sumarto dalam Inovasi,
Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di
Indonesia (2009: 286), kondisi demikian muncul akibat motivasi yang kerap
ditiupkan oleh kepala desa. Dipimpin oleh seorang perempuan, Pemerintah Desa
Sumur Lor berkomitmen untuk senantiasa melibatkan perempuan dalam beberapa
kegiatan.
Kesetaraan
Gender
Di sejumlah daerah, telah terjadi peralihan mentalitas
perempuan seiring dengan berubahnya nilai dan norma kehidupan. Bagaimanapun,
semangat zaman turut membentuk sikap, karakter, serta perilaku mereka.
Perempuan tidak lagi terikat dengan pemikiran masyarakat yang pernah
mengungkungnya. Dengan melepaskan diri dari mitos, asumsi, serta keyakinan
lama, mereka kini lebih tampil percaya diri.
Perempuan ingin
memperoleh peluang yang sama dengan kaum lelaki, terutama dalam menjalankan hak
sebagai warga negara. Perempuan bermaksud membuang beragam citra negatif yang
terlanjur dilekatkan pada diri mereka. Dengan demikian, ada kehendak yang cukup
kuat untuk menyuarakan ketidakadilan gender (gender inequalities). Bagaimanapun, perbedaan jenis kelamin tidak
serta-merta mengubur hasrat untuk mewujudkan cita-cita kaum perempuan.
Kesetaraan antara
lelaki dan perempuan sebenarnya wajib dilindungi oleh pemerintah. Sebagai
negara hukum (Rechtsstaat), Indonesia
telah menggariskan kesetaraan gender melalui produk hukum. Sejumlah peraturan
perundang-undangan mengusahakan keterlibatan perempuan dalam ranah publik,
salah satunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pada Pasal 58 ayat
(1) disebutkan, “Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan…. dengan
memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan Keuangan Desa.”
Dengan terbitnya
undang-undang tersebut, kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam
menyampaikan aspirasi masyarakat terbuka lebar. Sehingga, keanggotaan badan
legislatif desa tidak hanya didominasi atau bahkan menjadi domain kaum lelaki.
Mereka dapat menggali informasi tentang kebutuhan kelompok perempuan sekaligus
mengintegrasikannya dalam forum bersama. Harapannya, potensi perempuan semakin
diperhitungkan dalam pengambilan keputusan di tingkat desa.
Bojonegoro, 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar