Bagi sebagian tokoh
pergerakan, pengaburan identitas merupakan langkah paling tepat dalam rangka
menggayuh tujuan. Pengaburan identitas memuat peneguhan atas idealitas serta
keberimanan atas realitas. Di dalamnya terkandung perlawanan sekaligus persesuaian
diri dengan keadaan. Kondisi politik maupun sosial yang kurang menguntungkan pada
suatu masa mendesak mereka untuk menyiasatinya dengan menggelapkan jatidiri. Maka,
“menyamar” pernah dijelmakan sebutir usaha yang digencarkan oleh Natsir dan Tan
Malaka.
Selingkar tahun
1920-1930, Natsir melempar tuduhan bahwa kampanye Partai Nasional Indonesia menyemai
bibit kebencian dan meremehkan Islam. Natsir urung tinggal diam. Bersama
teman-temannya di majalah Pembela Islam,
ia menggelontorkan tulisan pedas guna menyerang balik kelompok nasionalis. Tak ayal,
karena begitu “beratnya” tulisan-tulisan tersebut, semua pengarang menggunakan
nama samaran atau inisial, demi menyingkirkan tubuh dari ancaman hukuman delik
pers (pers delict). Muncullah inisial
AH, AL, AM WS, dan MS, sedangkan Natsir sendiri merahasiakan diri dengan AM
atau A. Moechlis, serta Is. (Ali Rif’an, 2011: 32)
Adapun Tan Malaka—sesuai
catatan Franz Magnis-Suseno (2001)—mengantongi beraneka ragam nama samaran sepanjang
perburuan terhadap dirinya masih bergaung. Tentu, supaya bisa bernafas lebih
lama, perekacipta Madilog ini menyesuaikan
personalitasnya dengan kultur negara di mana ia bermukim. Oleh dasar itulah, ia
menyematkan nama Elias Fuentes tatkala berada di Filipina, Ong Soong Lee di
Hongkong, Ramli Husein dalam perjalanan Singapura ke Indonesia, dan Ilyas
Husein sewaktu bekerja di pertambangan Bayah, Banten. Nama lainnya yaitu Cheng
Kunt Tat, Elisio Rivera, serta Howard Law.
Maraknya
Alan Smithee
Pengaburan identitas
tidak hanya diketam oleh para tokoh pergerakan. Alan smithee—penyebutan nama samaran agar nama asli tidak
ditampilkan dalam credit title—juga
menjangkiti para pengarang. Sudah barang tentu terselip musabab mengapa pengaburan
identitas tersebut bisa terbit. Salah satunya yaitu riuhnya gerakan militer
yang membatasi aktifitas dan ruang gerak kreatifitas.
Dalam perjalanan sejarah,
betapa perseteruan antara korps bersenjata dengan pengarang pernah menyentuh
titik klimaks. Dengan dalih memihak negara, militer leluasa melancarkan
tekanan, baik fisik maupun mental, yang luar biasa bagi pengarang. Pengarang-pengarang
besar seperti François-Marie Arouet dan Mohamed Moulessehoul rajin mengunyah
bengisnya militerisme.
Voltaire (1694–1778)—yang
bernama asli François-Marie Arouet—dapat digolongkan “maniak” dalam hal nama
samaran. Ia memiliki sekitar 175 nama. Selain untuk dongeng-dongeng semisal Zadig dan L’Ingenu, ia menggunakan nama samaran untuk karya-karya yang berisi
kritikan tajam. Seorang pakar tetang Voltaire, Rene Pomeau mengatakan—dalam Ida
Sundari H (2003): “Permainan topeng
merupakan salah satu kunci psikologi penciptaan Voltaire. Di balik penyamaran, pengarang
membebaskan diri.” Dengan begitu, Voltaire dapat bermain dengan bebas,
tanpa harus mempertanggungjawabkan pernyataan-pernyataannya.
Pengarang asal Aljazair
yang lahir pada 1956, Mohamed Moulessehoul, sempat menyamar sebagai perempuan
bernama Yasmina Khadra. Hal itu dilakukan saat menyerahkan tulisan ke penerbit,
demi mengelabui sensor militer. Meski demikian, orisinalitas dan kecemerlangan
buah penanya tetap memperoleh kesaksian. Sebelum pengakuan ihwal identitas
aslinya mencuat, seorang pengamat terkenal di Prancis menulis: “Laki-laki atau perempuan tak penting.
Tetapi yang jelas, Yasmina Khadra adalah pengarang Aljazair paling hebat saat
ini.”
Bila diperhatikan, seakan-akan
menjamurnya alan smithee mendermakan
keterpasungan serta kegelisahan yang mendalam. Betapa sekadar demi menghindari
pemberangusan militer, pengarang rela melabeli anak ruhani (karya)—meminjam
istilah Pramoediya Ananta Toer—dengan nama orang lain. Namun ternyata tidak
sepenuhnya demikian. Ketika merasakan pengapnya bui, William Sydney Porter
(1862-1910) meluncurkan cerpen-cerpennya dengan nama O’Henry. Saat tiba hari
kebebasan, nama samaran tersebutlah yang mengantarnya mampu mereguk kesuksesan dan
menjadi cerpenis paling populer di Amerika. (Napoleon Hill, terj. Leinovar
Bahfein, 2008: 269)
Fenomena alan smithee tidak hanya terlahir karena
intimidasi militer. Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan pengarang harus
membungkus identitas. Di antaranya, karya dianggap rahasia Tuhan, pengarang
benci menunjukkan diri, atau bahkan karena didorong tekanan jiwa yang kurang
stabil.
Pada tahun 164 S.M,
kitab Daniel disusun untuk kelompok
kecil pembaca Yahudi. Pengarang kitab yang memberitakan pernyataan Tuhan
tentang peristiwa-peristiwa masa depan ini memakai tokoh Daniel dan menempatkan
peristiwanya seolah-olah terjadi pada zaman Nebukadnesar (605-562 SM). Pemungutan
nama Daniel dikarenakan sang pengarang hendak menuturkan bahwa kitab itu
bersifat rahasia dan apokaliptis—tulisan mengenai pernyataan Tuhan kepada para
bijak, seperti Henokh, Abraham, dan Daniel.
Kitab Nagarakretagama digubah dengan nama
samaran Prapanca. Padahal, Prapanca bukan nama elok bagi seorang dharmmadyaksa kasogatan. Karena kata prapanca berarti: kesedihan, rintangan
untuk laku utama. Buku Tafsir Sejarah
Nagarakretagama (2009: 295) menerangkan bahwa pengambilan nama demikian
dikarenakan pengarang enggan diketahui ciri-cirinya. Dengan kata lain, ia tidak
suka memperkenalkan namanya kepada orang lain. Dan sebagai hipotesisnya, Slamet
Muljana menganggap bahwa pengarang Nagarakretagama
adalah Dang Acarya Nadendra (Nada-Indra).
Tertarik dengan
permainan Nicolo Paganini (1784-1840) sepanjang tahun 1831-1835, Robert
Schumann (1810-1856) memulai karier sebagai pengarang resensi musik. Ia
mendirikan Neu Zeitschrift fur Musik,
sebuah majalah musik yang terbit sekali seminggu. Diterka mengidap tekanan jiwa
kurang stabil, kritikus musik terpenting abad ke-19 ini kerap memungut beberapa
nama samaran; “Eusebius” yang mewakili segi lemah-lembut, khayalan, dan mimpi,
“Florestan” mewakili bagian dinamis, revolusioner, dan bersemangat, serta
“Meister Raro” bagian yang menggandrungi teknik berdisiplin seperti
bentuk-bentuk klasik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar