Judul:
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
Penulis:
Agus Sunyoto
Terbit:
Juli 2012
Penerbit:
LKiS Yogyakarta
Tebal:
564 halaman
Harga:
Rp. 85.000,-
Novel ini menghadirkan
bacaan yang liar, nakal, ganjil, namun tetap menyimpan daya vitalitas. Penulis
telah melahirkan Suluk Abdul Jalil Syaikh
Siti Jenar (Seri 1-7) dan Rahuvana
Tattwa. Dalam novel terbarunya ini, mantan wartawan yang dikenal gemar
melawan arus pemahaman banyak orang tersebut berupaya menyodorkan perspektif
baru perihal karya-karya teks kuno.
Pembaca diajak memahami
konsep "Sangkan Paraning
Dumadi" (tempat berasal dan kembalinya segala makhluk). Dalam
pandangan Jawa, segala yang berada di alam semesta berasal dari Tuhan dan akan
kembali kepada-Nya. Dengan memahami asal (sangkan)
dan tujuan (paran) segala ciptaan (dumadi), dengan sendirinya manusia bisa
mencapai taraf kebenaran sejati.
Mengenai "Sangkan Paraning Dumadi",
Agus Sunyoto menggambarkannya dengan percakapan spiritualtransendental antara
Saya Sudrun dengan Kiai Pusponegoro, di atas "watu gilang" yang
teronggok seperti meja di luar gerbang suatu makam. Seusai mengalami peristiwa
aneh dalam kondisi antara sadar dan tidak, Saya Sudrun-dalam dimensi yang
menegangkan-mengetam wejangan dari Kiai Pusponegoro. "Ketahuilah, o anak,
yang disebut Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah
rangkaian makna perjalanan insan kembali ke mata air yang hakiki. Itulah yang
disebut Ilmu Sangkan Paraning Dumadi," (halaman 88).
"Sangkan
Paraning Dumadi" sebenarnya kembali pada Tuhan, seperti
dalam tembang Dhandhang Gula: Saking
pundi kawitane nguni/ Manungsa kutu walang ataga/ Kang gumelar ngalam kiye/
Sayekti kabeh iku/ Mesthi ana ingkang nganani/ Yeku Kang Karya Jagad/ Ingkang
Maha Agung/ Iku kang dadi sangkannya/ Iya iku kang dadi paranireki/ Sagunging
kang dumadya/ (Dari mana asal-mulanya dulu Manusia dan segala makhluk
Segala yang ada di alam ini Sebenarnyalah semua itu Pasti ada yang mengadakan
Yaitu Pencipta Alam Semesta Tuhan Yang Maha Agung Itulah asal-mula Dan itulah
pula tujuan akhir Dari semua yang ada).
Novel ini mengisahkan
perjalanan seseorang dalam mencari kebenaran sejati, Sudrun, pemuda yang
dianggap gila. Nama belakang Sudrun adalah gelar karena tingkah anehnya.
Waktu sekolah SD, dia
pernah disuruh menyelesaikan soal. Dia pun mengerjakan tanpa sedikit pun merasa
kesulitan. Akan tetapi, murid-murid lain tertawa terbahak-bahak melihat
garapannya yang dianggap langka. Ketika sang guru bertanya perihal rumusnya,
dengan polos Sudrun mengatakan memakai rumus hitungan tukang nomer buntut
togel.
Contoh lain,
anggapannya tentang sosok Ita Martina. Perempuan yang dicintai setengah mati
itu diyakini sebagai makhluk lemah yang terbuat dari lilin. Jika dicubit
tubuhnya rusak dan mengalirkan cairan kuning hangat. Sudrun kecewa ketika suatu
hari mendapati Ita Martina ternyata manusia biasa.
Romo Noyogenggong
memberi kesejukan dengan mengatakan, "Saya tahu sampean bukan orang
senewen, apalagi gendeng. Sampean hanya orang yang jujur dan menceritakan apa
yang sampean rasakan dengan cara apa adanya. Tetapi kejujuran sampean itu
justru tidak bisa diterima oleh masyarakat sebab masyarakat pada dasarnya sudah
dicemari oleh kedustaan dan kebohongan" (halaman 68).
Peristiwa-peristiwa
spiritual juga sering dialami Sudrun. Misalnya, dia pernah melihat semacam
cahaya merah dan biru berkilau-kilau. Setelah wangi mawar dan melati menyentuh
penciumannya, dia menemukan bayangan dengan wajah cemerlang. Ternyata orang itu
tiada lain adalah bapaknya yang telah meninggal.
Melewati berbagai
peristiwaperistiwa yang sukar ditelan logika, akhirnya di pucuk cerita, Sudrun
berhasil merengkuh tujuan. Dia mampu meresapi desau angin, nyanyian belalang,
bunyi kodok, dan gemerisik dedaunan. Setiap gerak benda mengingatkannya kepada
Yang Ilahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar