Judul:
Suara-Suara yang Terpinggirkan
Editor:
Heru Emka
Penerbit:
Kelompok Studi Sastra Bianglala, Semarang
Tahun
Terbit: Mei, 2012
Tebal:
xxxii + 364
Harga:
Rp. 65.000,-
"Puisi
mbeling bangkit lagi!". Itulah pekik yang coba
didengungkan para pengusung puisi mbeling seperti Remy Sylado, Heru Emka,
Mustofa Bisri, Darmanto Jatman, Nugroho Suksmanto, Satmoko Budi Santoso, dan
Yudhistira ANM Massardi. Kebangkitan puisi mbeling antara lain ditandai dengan
terbitnya buku ini. Puisi yang tergolong renta karena berusia empat dasawarsa
lebih tersebut siap menebar semangat para penyair yang menjunjung tinggi
keberaturan dan konvensionalitas.
Puisi-puisi normatif,
berkaidah, sekaligus baku disaingi dengan bertebarannya puisi mbeling yang
terkesan nakal, nyeleneh, dan asal-asalan. Metafora yang disajikan pun terasa
sangat berbeda, bahkan ganjil, dibanding puisipuisi pada umumnya.
"Aliran" puisi yang lahir tahun 1972 tersebut, telah membuat karya
sastra menjadi bacaan yang akrab dan dekat dengan rakyat, bukan lagi asupan
segelintir elite kalangan sastrawan.
Istilah mbeling dipakai juga dalam konsep teater. Remy Sylado, pencetus puisi mbeling, menerangkan bahwa pilihan kata itu merupakan konsep perlawanan kultural yang sudah mapan sebagai reaksi WS Rendra melawan kemapanan dengan sikap "urakan" (halaman xviii). "Urakan" dalam bahasa Jawa berkonotasi negatif seperti tidak sopan, tidak tahu aturan, kurang ajar.
Istilah mbeling dipakai juga dalam konsep teater. Remy Sylado, pencetus puisi mbeling, menerangkan bahwa pilihan kata itu merupakan konsep perlawanan kultural yang sudah mapan sebagai reaksi WS Rendra melawan kemapanan dengan sikap "urakan" (halaman xviii). "Urakan" dalam bahasa Jawa berkonotasi negatif seperti tidak sopan, tidak tahu aturan, kurang ajar.
Maka, dipilihlah kata mbeling karena memunyai konotasi nakal,
tapi pintar, bertanggung jawab, sopan, dan tahu aturan (halaman xix). Kesan
asal-asalan pada puisi mbeling sesungguhnya tidak sepenuhnya tepat. Kalau
ditelisik lebih jauh, puisi jenis ini memuat pemikiran matang serta filosofi
mendalam tentang kehidupan. Tidak sekadar main-main atau bahkan menertawakan
kehidupan itu sendiri.
Jenis puisi ini
menghidangkan alternatif yang tidak dimiliki jenis puisi lainnya. Contoh, puisi
bertajuk Sajak Mabuk Zaman Edan
(Ahmadun Yosi Herfanda): Tuhan, maafkan,
aku mabuk lagi/dalam pusingan anggur peradaban/menggelepar ditindih
bayang-bayang kekuasaan/seember tuak kebebasan mengguyurku/membantingku ke
ujung kakimu/luka-luka kepalaku, luka-luka dadaku/luka-luka hati nuraniku//
(halaman 41).
"Aku" dalam
teks tadi mengalami luka berat di kepala, dada, dan hati nuraninya, meskipun
telah dibangunsadarkan oleh "tuak kebebasan". Penggunaan tema
"tuak kebebasan" merupakan upaya menetralisasi racun mematikan yang
mengendap dalam "anggur peradaban". Puisi-puisi mbeling yang tersaji
dalam buku ini masih identik dengan ciri-cirinya terdahulu untuk melawan corak
puisi-puisi sebelumnya dengan bermodal diksi sederhana, mudah dicerna, terbuka
bagi semua pembaca.
Puisi mbeling melawan
arus estetika yang diamini khalayak penikmat sastra karena mendapat stempel
dari kelompok penyair mapan. Imbasnya, timbullah gelombang pembaruan dalam
bidang sastra, terutama menyangkut barometer estetika. Joko Pinurbo mampu
mengawal puisi menjelma karya yang tidak hanya nakal, namun juga cerdas.
Dalam gurauannya
bersama puisi, tersemat upaya yang sungguh-sungguh dalam memaknai kehidupan.
Cara berpikirnya yang ketat turut membentuk puisinya menjadi berkarakter, unik,
dan tidak cengeng. Lihat contoh berikut yang berjudul Kepada Uang: Uang, berilah
aku rumah yang murah saja/yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku/yang
jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku//Sabar ya, aku harus menabung
dulu/menabung laparmu, menabung mimpimu/mungkin juga harus menguras cadangan
sakitmu//Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja/yang cukup hangat buat
merawat encok-encokku/ yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku//
(halaman 193).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar