Ia anak manja. Apa yang
disuka selalu tersedia. Segala yang dimau harus tersua di depan mata. Anak
tunggal Yu Rah itu, sejak kecil, memang cengeng dan sukar mengalah. Kebergantungan
kepada ibu membuatnya benci merenggangkan diri dari rumah.
Namun, tiadalah hal
demikian harga mati. Setelah sembilan tahun sekolah di desa, tiba-tiba azam belajar
ke kota menyembul dari lubuk hatinya. Bukan fakir sebab. Bukan pula karena muncul
keinginan belajar mandiri. Hantaman pengaruh teman-temannyalah yang menerapnya
bernafsu melanjutkan ke SMA Harapan di Kota Gantasaman; berjarak delapan kilo meter
dari desa Purwoarum. Menurut pandangan teman-temannya, sekolah di kota lebih
keren, gaul, funky, dan mempunyai image tersendiri. Ditambah lagi dengan
tarif selangit yang identik dengan sekolah keturunan orang-orang berduit.
Timbul berhasil
meloloskan hasrat, seusai merengek-rengek ke Yu Rah. Walakin, bukannya serius
dan rajin sekolah, ia malah giat membolos bersama Riko dan Sandi. Play station, nongkrong di perempatan
Tugul, ngeluyur ke tempat pengepul barang-barang bekas, atau ngopi di pasar Rebo menjadi pelampiasan
mereka bertiga. Awalnya, ke-killer-an
Pak Kusen—guru Matematika yang gemar menghadiahkan sanksi—memerankan alasan untuk
kabur dari kelas. Lambat laun, karena keenakan, akhirnya mereka terbiasa
melakukannya kala rasa suntuk belajar menyergap. Atau bahkan saat malas mengikuti
pelajaran.
Berpuluh kali Yu Rah
dan Kang Sadik kena getah; mendapat panggilan dari pihak sekolah. Berpuluh kali
pula keduanya mengantongi ancaman pen-skors-an Timbul, jika ulahnya sulit
diredam. Tak jarang mereka berdua gelagapan, tatkala Pak Har bersoal tentang
keberadaan Timbul pada jam pelajaran.
“Lha nggeh to, Pak. Wong
tadi jam enam Timbul sudah berangkat dari rumah.” Lidah Yu Rah mencoba merancang
penjelasan. Penjelasan yang bertukas-tukas ia lemparkan kepada pihak sekolah. Penjelasan
yang baginya berperan sebagai pemanis bibir. Dan ia tak tahu sampai kapan
penjelasan seperti itu dimanfaatkan demi membela titisannya.
Kang Sadik berinisiatif
menanyakan kegundahan istrinya ke orang pintar. Orang pintar yang dimaksud
yaitu Kiai Sadrun, yang ber-maqam tinggi
dan merupakan referensi utama bagi masyarakat. Selain dipercaya mengobati berbiji-biji
penyakit, kerap pula ia dimintai petuah demi mengusir problematika kehidupan.
Atas saran Kiai Sadrun,
Yu Rah—meski dengan berberat hati—menitipkan Timbul di Pondok Pesantren
Al-Huda. Maklumlah. Dari lahir, tak henti-hentinya bujang berambut keribo itu menempel pada sang bunda. Awalnya, Timbul
urung menuruti perintah Yu Rah. Tapi, iming-iming pemberian motor Kawasaki
Ninja membikin hatinya luluh. Dengan menaruhnya di lembaga pendidikan berbasis
agama tersebut, Yu Rah berharap agar kenakalan yang dipelihara anaknya lekas hengkang.
Bukan sekadar itu. Dalam benaknya, setamat dari pondok, Timbul didambakan
menjadi orang alim yang bermanfaat bagi masyarakat. Syukur-syukur menjelma
seorang kiai besar, yang tentu akan mempersembahkan kebanggaan dan kebahagiaan
di hati Yu Rah.
Menginjak usia dua
bulan bermukim di pesantren, kayaknya pertaubatan Timbul mulai tercium. Ia
kerap merenung sekoteng, dengan mengarahkan wajah ke langit-langit kamar. Barangkali
segebok dosa yang menumpuk di pundak tengah ia sesali. Atau mungkin saja, otaknya
sedang merencanakan cara terbaik untuk mengemis maaf ibu dan ayah.
Dalam hal pengawasan pada
Timbul, Kiai Sadrun turun tangan. Bagian keamanan yang diamanati mengawasi semua
santri dibebastugaskan. Ini santri membutuhkan perlakuan istimewa. Apalagi,
kiai berjenggot putih lebat itu telah memasang janji kepada Yu Rah untuk
benar-benar mengawasi tindak-tanduk Timbul. Oleh dasar itulah, setiap menjelang
senja, Kiai Sadrun menyisakan sepotong waktu guna melongok kamarnya.
***
Benar. Timbul
terperosok di ruang berjeruji besi karena ulah sendiri. Ulah yang betul-betul
membuat Yu Rah dan Kang Sadik memanggul malu. Ulah yang menerap Kiai Sadrun
kelimpungan. Betapa tidak. Selepas berjamak kali tertangkap basah oleh bagian
keamanan di alun-alun, kenakalannya masih musykil disembuhkan. Padahal, siraman
air got dan penggundulan kepala merupakan menu santapannya setiap minggu. Timbul
juga tersohor dengan aksinya yang memancing emosi pak kiai. Kenapa? Pengajian
kitab Durratu an-Nasihin yang diasuh
oleh Kiai Sadrun sengaja ditinggalkan dan memilih menggelesot di warung Mbok Yem.
Hal itu belum seberapa. Parahnya, saat motor kesayangannya kehausan bensin, tangan
kanannya nekat mengutil helm di tempat parkir lapangan futsal. Nasibnya buntung.
Nyatanya helm yang ia curi adalah helm Pak Wiryo, polisi lalu lintas yang biasa
mangkal di jalan Arjuna. Dengan enteng polisi itu mengirim Timbul ke penjara.
Di hotel prodeo inilah
Timbul bertembung dengan Mbah Sukmo, lelaki berumur tujuh puluh satu tahun yang
begitu pulas mendengkur di dalamnya. Seluruh penghuni kenal siapa Mbah Sukmo.
Siapa saja mengerti bahwa lanang satu ini tak suah dijenguk istri, anak, kerabat,
ataupun teman. Para sipir juga paham bahwa mereka sekali pun tak bakal memperoleh
uang sogokan dari si bangka. Itu adalah sesuatu yang mustahil. Ya, mustahil
bagi seorang yang hanya memiliki pakaian usang, kumal dan tak layak diwariskan.
Kalau dipikir-pikir,
sesungguhnya mereka yang mengenal Mbah Sukmo terbilang rugi. Ya, sangat rugi. Buat
apa mengenal biografi tahanan yang suka ngelinting
tembakau itu. Jika tak diminta bantuan ngucek kaosnya yang rimbun keringat,
pasti ‘korban’ dibebani sumbangan rokok.
Keputusan Timbul
dinilai cukup nyeleneh. Dengan sukarela, ia mengabdikan diri pada Mbah Sukmo. Bukan
lantaran ia lebih junior dan kudu menakzimkan seniornya. Bukan. Ia begitu
bernafsu menyerahkan waktu kepada sang kakek, karena dijanjikan hendak didaulat
sebagai murid dan dialiri tenaga dalam. Sehingga, selain kaos oblong dan sarung
kotak-kotak Mbah Sukmo, celana dalam yang kerasan membungkus bagian tubuh paling
sensitif makhluk keriput itu juga menjadi tanggungan cuciannya.
Hasrat Timbul sebagai
murid menebal ketika mengetahui sendiri keganjilan dan kehebatan Mbah Sukmo. Kepala
sang kakek berbeda dengan kepala manusia pada umumnya. Bagian tubuh yang
menyimpan berjuta keping kenangannya berjuluk ‘three in one’. Pasalnya, ia menyandang tiga warna rambut
sekaligus. Bagian atas berwarna merah. Bagian samping bercorak kuning. Serta
warna putih menghiasi bagian belakang. Katanya itu alami. Tanpa semir. Tanpa
rekayasa. Tanpa pewarna yang lazim diobral di pasar Klewer. Rambut itulah yang
mengantarkan Mbah Sukmo selaku renta yang patut disegani. Bukan lantaran
warnanya yang mengikuti trend anak
muda. Akan tetapi, di balik keberagaman warna rambutnya, ternyata kepala Mbah
Sukmo menampung tiga ekor ular. Ular sendok meringkuk di rambut merah. Ular belang
mendengkur di rambut kuning. Dan ular cabai mencongkong di putih rambutnya.
Langit memanas. Embun
melesat pergi. Dan, sehabis memunguti sisa nasi Mbah Sukmo, katup rahang Timbul
bocor. “Kenapa gak pengen keluar, Mbah?”
“Mbah lebih suka
tinggal di sini, Cung. Di sini makan
gratis. Banyak teman lagi.” Segesit kilat moncong Mbah Sukmo menyemburkan
jawaban.
“Apa Mbah gak kangen
keluarga?”
Menerima pertanyaan
tersebut, Mbah Sukmo membisu. Ia hanya tepekur sambil melendehkan punggung ke lantai.
Mulutnya menghisap dalam-dalam segelintir kretek yang baru disulut. Sedianya ia
sudah menghirup udara bebas empat tahun lalu. Namun, seperti sebuah kesengajaan
yang direncanakan. Saban waktu akan dikeluarkan, ia selalu memproduksi
gara-gara, supaya masa hukuman diperlama. Dan harapannya bersalin kenyataan. Cita-citanya
selaku penghuni abadi tercapai. Sampai sekarang ia masih menikmati masa tua di
dalam sel. Dalam bayangannya, alangkah
indahnya mati dalam keadaan dipenjara.
***
Suatu Senin siang
dengan sinar surya pasang-surut, Timbul membuktikan apa yang pernah dihembuskan
mulut Mbah Sukmo. Berdiri di sudut kamar, dua batu akik pemberian Mbah Sukmo dikaitkan
satu sama lain, sembari merapal mantra yang empat hari sebelumnya didapat dari
kakek sakti itu. Beruntung ia menghafalnya dua hari dua malam. Dan, seperti tergambar
dalam film-film silat, tubuh Timbul menghilang ditelan udara. Cling!
Mbah Sukmo membentur-benturkan
kepala ke tembok. Rasa bersalah menyeruak. Menghibahkan batu lanangan dan wedokan tersebut kepada Timbul adalah kesalahan besar sekaligus
fatal. Ia mafhum bahwa malapetaka bakal menyapa jika Timbul nekat
menggunakannya. Padahal masih ada satu hal yang Timbul belum ketahui. Satu hal
lagi yang hendak ditularkan seusai Timbul berpuasa mutih tujuh hari. Dugaannya benar. Dan, Mbah Sukmo hanya berpangku
tangan ketika Yu Rah dan Kang Sadik menanyakan keberadaan sang anak.
“Maafkan saya. Sudah berkali-kali
saya bilang ke Timbul; belum waktunya dua batu itu dipakai. Sidro sama Sinto memang
bisa menghilangkan tubuh seseorang. Tapi keduanya tak akan mampu mengembalikannya,
kecuali dengan batu pelengkap.”
Sembari menerbitkan batu
bermata ungu, air mata Mbah Sukmo meleleh. Ialah Suliwo, batu yang seharusnya
di genggaman Timbul sebelum melenyapkan diri.
Yogyakarta, 2011
Catatan:
-
Lanangan (Jawa) = Laki-laki
-
Wedokan (Jawa) = Perempuan
-
Mutih (Jawa) = memutih. Yang dimaksud di sini yaitu
berbuka hanya dengan nasi dan air putih.