Mesian genap
mengunjungi banyak negeri, melakukan banyak petualangan hebat. Barangkali, baru
itu kali ada ksatria yang dengan keperkasaannya mampu singgah di berbagai loka.
Gunung Humoy, lembah Sigrus, sungai Doha, hutan Neffa, tempat-tempat yang sukar
diinjak oleh manusia pun tak luput darinya. Di Lohu, ia menyelamatkan seorang
gadis cantik yang akan menjadi santapan ikan raksasa. Orang sepertinya, tentu
tak butuh waktu lama untuk sekadar menundukkan makhluk bersirip penjaga pantai
itu.
Keberuntungan memang
sedang menyapa Mesian. Gadis yang ia tolong rupanya putri satu-satunya Raja
Demon, penguasa serata daratan Hebres. Seseorang yang sangat disanjung-sanjung,
baik di negeri sendiri maupun di negeri seberang. Dan, sesuai janji, Raja Demon
hendak mengabulkan segenap permintaan seseorang yang telah menghindarkan putrinya
dari marabahaya.
“Wahai anak muda,
hadiah apa yang kau inginkan? Katakan! Aku bakal mempersembahkannya untukmu.”
“Hamba sama sekali tak
berniat mencari hadiah, Baginda. Hamba hanya ingin menolong. Itu saja.”
“Baik benar budi
pekertimu. Siapa namamu, anak muda?”
“Mesian, Baginda.”
“Mesian, ayolah utarakan
keinginanmu! Apa kata para menteri jika aku urung membalas kebaikan yang
terlanjur kau laksanakan.”
“Kurang pantas bagi
hamba untuk menerima kehormatan ini.”
“Tidak. Ini bukanlah
kehormatan. Anggap saja ini tanda terima kasih. Mintalah apa yang kau mau,
Mesian!”
“Semuanya?”
“Segala yang kau
kehendaki, sepanjang mampu kuusahakan, akan kulaksanakan.”
“Baiklah, Baginda.
Maaf, kalau permintaan ini terlalu besar.”
“Apa itu?”
“Hamba ingin
mempersunting putri Baginda.”
Dua netra Raja Demon berkaca-kaca.
Bukan berarti sedih, melainkan sebaliknya, ia tampak bergembira. Sebentar lagi,
ya, sebentar lagi, ia mempunyai menantu rupawan, gagah, dan berhati mulia. Hal
itu pasti bakal segera mengantar diri sekaligus kerajaannya kian berwibawa, disegani
oleh rakyat serta kerajaan-kerajaan lainnya.
“Baiklah, Mesian.”
Seraya mengulurkan senyum tipis, Raja Demon berujar lirih.
“Tapi, Baginda…”
“Tapi apa, Mesian?”
“Ijinkanlah putri
Baginda untuk meninggalkan istana. Hamba akan membawanya pulang ke negeri hamba.
Selain itu…..”
“Apa lagi, Mesian?”
“Selain menjadi istri
hamba, ia juga menjadi istri saudara hamba, Hornames.”
Pundak Raja Demon
terangkat, dua alisnya mengait, terperanjat. Sekaligus hampir oleng. Oleng? Ya.
Tak layak dimungkiri, bahwa ia amat senang apabila putrinya bersuami pemuda tampan,
elok tabiat pula. Namun, menyerahkan seorang perempuan selaku pendamping bagi dua
laki-laki sekaligus adalah perbuatan gila. Ia tak habis pikir, mengapa pemuda
di hadapannya itu berucap demikian.
“Bagaimana, Baginda?”
Aih, aih, aih…. Sepertinya,
pemuda itu pemuda kiriman dari langit, yang ditugaskan untuk menguji hatinya. Baru
dua bulan berduka atas meninggalnya permaisuri, dan, kini, adakah ia juga akan kembali
mengulun kesedihan mendekati serupa: ditinggal pergi sang putri? Bagaimana
rasanya hidup jauh dari seseorang yang begitu ia sayangi.
Di saat yang serba
pelik demikian, bukanlah seorang raja, jika ia menghibahkan jawaban tanpa bijak.
“Jika itu kau anggap yang
terbaik, laksanakanlah Mesian!”
“Terima kasih… Terima
kasih…. Sejuta tabik bagi Baginda.”
***
Seperti biasa, pagi
itu, Hornames pergi berburu. Pejantan yang berusia lima puluh tahun lebih itu gemar
sekali melahap waktu demi menangkap kijang. Hampir saban hari, selepas surya mencagun
dari sarangnya hingga senja menampakkan batang hidungnya, ia berkeliaran di
belantara.
Hari itu, sebenarnya ia
tak hanya berburu. Lalu? Derap langkahnya disertai hasrat mencari bunga Haya. Sebelum
berangkat, Nommy berpesan untuk mencarikannya bunga paling kirana di dunia itu.
Kali ini, ia urung pulang, sebelum berhasil memetiknya.
Senja menghilang. Malam
semakin tua. Namun, Hornames belum pulang. Mesian khawatir terjadi apa-apa
dengan kakaknya.
“Nommy, kakak belum juga
kelihatan?”
“Belum, Mesian”
“Seharusnya ia sudah
pulang dari tadi. Kalau untuk berburu empat sampai lima kijang saja, ia tak
akan pulang selarut ini.”
“Maaf, Mesian. Mungkin
ia masih berusaha mendapatkan bunga Haya.”
“Apa?”
“Benar. Akulah yang
menginginkannya.”
“Apa kau belum tahu, bila
bunga Haya hanya ada dalam cerita nenek moyang?”
“Sekali lagi, maafkan
aku, Mesian.”
“Lantas apa yang kau
harapkan?”
“Aku tak kuat lagi
membagi cinta ini, Mesian! Cinta yang semestinya dipersembahkan utuh kepada
seseorang, nyatanya harus dibelah-belah. Emm… tadi kukatakan pada Hornames,
bahwa bunga itu tumbuh di ujung hutan Semme.”
“Adakah kau tahu,
orang-orang yang pergi ke sana guna membuktikan dongeng itu tak dapat kembali?”
“Ya, Mesian. Aku juga dengar,
kalau di sana terdapat raksasa yang tak mungkin dikalahkah oleh siapa pun.”
Mesian tergeragap, tak sanggup
menghembuskan sebiji kata pun. Sepasang telinganya mendidih, kala menadah
penjelasan yang dilontarkan perempuan bermata kucing itu.
“Apabila ia sudah tak
berada di rumah ini, aku pun leluasa menghidangkan cintaku untukmu, Mesian.” Dengan
enteng, Nommy melanjutkan.
“Tiada sepantasnya kau
berkata demikian, Nommy. Ketahuilah! Sungguh, ketika bermaksud memboyongmu dari
singgasana, yang ada dalam otakku adalah kakak. Aku tak tega melihatnya kerap
dijuluki bujang lapuk.”
Udara diam, turut
menyimak helai demi helai kata yang menyembul dari katup mulut Mesian.
“Dan, kau patut heran,
kenapa dulu, aku memohon agar ayahmu bersedia menjadikanmu sebagai istri bagi sesetel
adik-kakak secara bersamaan. Sesungguhnya, aku hanya berniat menguji sejauh
mana kebenaran kata orang-orang. Kebenaran bahwa Raja Demon merupakan seseorang
yang teguh menggenggam janji.”
“Jadi, selama ini kau
mempermainkan perasaanku?”
“Menurutmu?”
“Tega benar kau, Mesian!”
***
Fajar mendarat.
Dedaunan basah kuyup oleh dekapan embun. Saat Nommy masih terlelap itulah, Mesian
keluar dengan mengendap-endap, bagai pencuri yang berhajat menggasak harta
bidikan. Aku akan menyelamatkanmu, Kakak! Batinnya memekik.
Mesian mafhum, bahwa kepergiannya
tiada lain merupakan sebutir pilihan menyulitkan. Benar. Pilihan antara
membagul pulang saudaranya atau membuang nyawa sia-sia. Di tengah
kegundahannya, ia tetap berkeras hati, meski ancaman kematian selalu menanti.
Mesian menggigil dengan
sesekali mendengus berat. Perjalanannya benar-benar menguras peluh dan tenaga. Selama
empat hari empat malam, dengan kaki gemetaran serta tenggorokan kerontang, khatamnya,
Mesian tiba di loka tujuan. Sebelum sampai di sana, dalam otaknya tergambar
tempat gelap menyeramkan dengan tengkorak manusia tergeletak di sana-sini serta
bau mayat berseliweran. “Semoga tubuhku terasa pahit di lidah raksasa itu,
sehingga ia memuntahkannya”. Begitulah kalam yang berulang-ulang dilempar.
“Luar biasa!” Mesian
mendapati sebuah gedung megah dibungkus emas berlapis-lapis. Teronggok kubah menjulang
di atasnya. Tiang-tiang besar berbahan marmer berdiri kokoh. Jendela-jendela mungil
dengan kaca-kaca menyala melingkar. Permadani itu, permadani yang berwarna keperakan
itu terhampar memesona. Setelah mendekat, lelaki berkumis runcing itu semakin
takjub dan penasaran ketika mendengar suara riuh berpunca dari dalam. Suara
tawa yang membahana. Tawa yang memperlihatkan kebahagiaan yang sangat.
“Mari, silakan masuk.”
Sekonyong-konyong Mesian
dikagetkan dengan datangnya dua perempuan cantik jelita bertubuh aduhai
indahnya. Dengan lembut, ia dituntun, ah tepatnya digandeng mesra, memasuki
gedung berlantai dua puluh tiga itu.
Mesian tegemap. “Ai,
mereka kan orang-orang kampung yang dikira mati! Rupanya mereka malah hidup
bahagia di sini.”
Dengan jantung
berdentum-dentum, dijangkapi kening berkerut, Mesian meneruskan langkahnya. Ranjang-ranjang
empuk manawarkan bidadari-bidadari bermata purnama. Meja-meja bundar menyajikan
makanan dan minuman yang nikmatnya tiada tara.
“Hai, Mesian!”
Lelaki jangkung
memeluknya dari belakang.
Ia menoleh dan,
“Kakak?”
Hornames berpakaian rapi
dan anggun, memakai topi lancip dari sutra. Mesian mematung. Ah, mimpi?
“Ini kenyataan, Mesian.
Mari, sebelum bersenang-senang, kuantar kau menghadap seseorang yang disepuhkan
di sini.”
“Siapa?”
“Ayolah! Nanti kau tahu
sendiri.”
Seorang lelaki bermahkota
melendeh santai didampingi selir-selirnya. Jemari beberapa perempuan menyuapkan
buah anggur hijau, sedangkan beberapa lainnya mengalirkan udara dengan kipas.
Mesian tercekat. Orang
itu mirip sekali dengan raja. Ya, Raja Demon. Ayah istrinya sekaligus si mertua.
Ah, di dunia ini mesti ada dua manusia berkembar rupa. Ia menghibur diri, mencoba
meyakini bahwa seseorang yang dikelilingi beraneka ragam kenikmatan itu
bukanlah Raja Demon.
“Mesian. Bagaimana
kabar putriku?”
Benar. Tiada bukan,
ialah Raja Demon!
Bibir Mesian menangkup.
Bagaimana? Bagaimana jika raja mengerti kalau ia berkhianat pada Nommy. Bagaimana
jika raja mengendus kemauannya memperistri putri raja sekadar basa-basi. Bagaimana
jika apa yang ia sembunyikan tunai diketahui. Dan, entah berapa ekor lagi pertanyaan
menusuk-nusuk kepalanya.
“Kenapa kau tak
membawanya kemari, menantuku?”
Mesian menunduk;
berlagak antara malu dan takut. Dan……