Desa itu, desa dengan
hilir angin yang teduh dan rimbun pepohonan hijau itu, gempar. Kala itu,
matahari sedang terik-teriknya. Para warga berkerumun di depan sebuah rumah.
Mereka layaknya lalat mengerubung makanan. Tapi, adakah makanan menumpuk di
sana hingga mengundang perhatian? Tidak. Cuma ada peristiwa yang membuat orang
mendengus sedih dengan sesekali menitihkan air mata.
Sebelumnya, tiada
seorang pun menyangka bahwa lelaki bercambang tebal dan perempuan bermata
kelereng itu akan mati mengenaskan. Mati bersimbah darah dengan anggota tubuh
terburai di lantai. Tentu mati seperti itu tak pernah diharapkan atau terbersit
dalam bayangan. Namun, siapa yang mengira bahwa nasib keduanya bakal berakhir
demikian?
Dua orang itu adalah
Sulaiman dan Siti Haya. Suami-istri yang dikenal selaku pasangan mendekati
ideal, selalu kelihatan romantis, dan nyenyai bertengkar. Entah bermimpi apa
mereka berdua semalam, sehingga selain meregang nyawa, harta juga ludes. Lemari
yang digunakan menyembunyikan rupiah hasil keringat Sulaiman dan sejumlah perhiasan
Siti Haya porak-poranda. Sungguh, terbuat dari apa hati perampok yang bengis
itu! Sehingga usai melenyapkan keduanya, ia pun tega menggondol harta yang
dimiliki. Barangkali ia tengah dirundung utang, atau pacarnya sedang hamil tua dan
minta biaya pengguguran janin, ataukah kehabisan uang untuk teler bersama
komplotan? Adapun ia tak ingin nyemplung di penjara, hanya gara-gara laporan
korban ke pihak berwajib.
***
Nur Ali tergopoh-gopoh
mengetuk pintu rumah Ustad Siradjuddin. Nafasnya terengah-engah. Tampaknya, ada
hal mendesak yang ingin disampaikan.
“Ada apa, nak Ali?”
Tanya Ustad Siradjuddin setelah menyuruh pemuda itu duduk.
“Maaf. Maaf, Pak
Ustad.”
“Memang ada apa?”
“Tadi malam saya lihat
keributan di rumah Sulaiman.”
“Keributan? Keributan
apa?”
“Sengkon dan Karta
perang mulut dengan Sulaiman.”
“Astaghfirullah. Jadi, yang membunuh Sulaiman adalah……”
Berbekal percakapan
singkat tersebut, sore itu, Nur Ali dan Ustad Siradjuddin bergegas ke kediaman
Pak Lurah. Begitulah yang berjalan beberapa dasawarsa terakhir di desa yang sejuk
dan tentram itu. Dalam kondisi genting, rasanya tidak ada hal lain yang patut
dikerjakan, kecuali lapor ke pemangku desa.
Lusa, ratusan warga
berkumpul. Atas pengumuman beberapa Ketua RT—selaku penyambung lidah Pak Lurah,
mereka berbondong-bondong riuh ke Balai Desa. Sesungguhnya, tanpa diperintah
pun, mereka hendak menuntut keadilan atas matinya sesetel suami-istri yang selama
ini gemar membagi-gratiskan buah nangka itu. Mereka benar-benar tidak terima
jika kedua orang itu mati begitu saja. Aih, aih, aih. Mati demikian pastilah mengantar
arwah keduanya penasaran. Dan, para warga jelas tak mau saban malam memergoki ada
dua arwah gentayangan, berkeliling di desa mereka.
Dengan segala
pertimbangan dan kebijakan, Pak Lurah menawarkan solusi yang menurutnya paling
baik. Tentunya, sekali lagi tentunya, usai lelaki berumur setengah abad itu
berbasa-basi agak lama. “Hadirin sekalian. Bagaimana bila kita semua tanda
tangan, menuntut ke polisi untuk menangkap Sengkon dan Karta?”
“Setujuuuuu…….”
***
Sengkon dan Karta kena
getahnya. Sengkon yang tengah membersihkan cangkul dan sebentar lagi ke sawah,
digelandang seorang berambut cepak dan berperawakan besar. Begitu juga dengan
Karta, yang saat itu asyik bercengkrama dengan keluarga, tiba-tiba diciduk dan
diseret ke loka yang begitu mengerikan: kantor polisi.
Sengkon dan Karta
mematung. Sesekali jemari Sengkon yang gemetaran mengusap bulir peluh yang
merembes dari kening. Sedang Karta hanya komat-kamit sembari merapal doa.
“Semoga Tuhan menyelamatkan saya.” Barangkali, itulah permohanannya di pagi
setengah siang itu. Raut muka keduanya gugup bercampur kebingungan; masih belum
mafhum perihal apa yang sedang terjadi.
Dengan ramah-tamah dari seorang berdada bidang,
Sengkon dan Karta mulai paham; atau pura-pura paham. Dan, lama-lama benar-benar
paham, bahwa keduanya dituduh melumat nyawa Sulaiman beserta istrinya. Dengan
entengnya, polisi menyimpulkan bahwa kedua petani lugu tersebut beberapa hari
kemarin pergi ke rumah Sulaiman untuk meminjam uang. Karena Sulaiman berberat
siku, keduanya marah dan secara membabibuta membenamkan mata pisau ke perut
Sulaiman dan istrinya secara bergantian. Ditambah lagi, harta dua orang yang genap
jadi mayat itu juga dijarah.
“Benar, Pak. Kami
memang ke rumah Sulaiman. Tapi kami tak membunuh.” Sengkon yang lebih berani
ketimbang Karta, angkat suara. Adapun Karta hanya menunduk dan sekali dua
memandangi temannya itu.
Serejang kemudian, bernada
lirih, Sengkon melanjutkan, “membunuh itu dosa, Pak. Kami tak berani
melakukan.”
“Mana ada pembunuh mau
ngaku!” Sahut Pak Herman.
“Kami berani bersumpah,
Pak.”
“Ah, sumpahnya pembunuh
kan gak bisa dipercaya”
“Malam itu, memang kami
sempat berselisih dengan Sulaiman.”
“Kenapa?”
“Kami cuma pengen
pinjam uang. Jumlahnya sedikit kok.”
“Lantas?”
“Ia gak mau. Katanya
ada keperluan mendesak.”
“Karena marah, kalian
membunuhnya?”
“Tidak. Tidak, Pak!”
“Terus kalian mengambil
uangnya?”
“Sumpah, Pak. Kami tak
melakukannya.”
“Sudah, jangan berkelit!
Buang-buang waktu saja. Masih banyak pekerjaan lain. Lebih baik ini kalian
tandatangani.”
Sengkon yang tak bisa
tulis-baca—karena jauh dari bau sekolah—menurut saja dengan moncong Pak Herman.
Ketika hendak dituntun mengguratkan ujung pena ke hamparan kertas di hadapannya,
sekonyong-konyong Karta memegangi tangan Sengkon seraya memekik, “Jangaaan!”
Entah jin jenis apa
yang mendorong Karta melarang Sengkon. Nyatanya, lembaran yang ditawarkan Pak
Herman untuk segera ditandatangani Sengkon adalah Berita Acara Pemeriksaan.
***
Berhari-hari Sengkon
dan Karta mengeremus perlakuan buruk dari aparat: dijambak, digebuk,
ditempeleng, dipukul dengan ujung pistol, ditendang, dibelai dengan rokok yang
menyala bibirnya, diludahi, diolesi pantatnya dengan balsam, dikencingi,
ditelanjangi, dicabut kukunya hingga berdarah, serta berbagai ragam siksaan
lainnya.
“Karta, sepertinya kita
harus mengalah.” Suatu senja katup mulut Sengkon bergumam.
“Kenapa, Sengkon? Apa
kau sudah tidak percaya lagi kepada Tuhan?”
“Saya sudah lelah,
Karta.”
“Percayalah! Tuhan
membela yang benar.”
Dan, mereka berdua
mencoba tetap bertahan. Akan tetapi, sedikit demi sedikit, hati Karta yang
semula keras bagai batu itu, akhirnya luluh, terpengaruh dengan bujukan
Sengkon. Ia sudah tak kuat lagi menampung kebengisan makhluk-makhluk sok yang
mengaku penegak hukum itu. Badannya—seperti halnya Sengkon—rata dengan bekas sundutan
rokok dan tonjokan. Belum lagi dengan kepalanya yang terlanjur bonyok dan
gusinya yang terus mengalirkan darah. Sengkon dan Karta heran, kenapa dengan
perlakuan sedemikian rupa, mereka berdua tak mampus juga.
Dengan pengakuan dua
orang yang diperlakukan mirip kerbau itu, pada khatamnya, Pihak polisilah yang
menang. Keduanya mendapat ganjaran masing-masing. Sengkon divonis 12 tahun—karena
dinilai aksinya lebih brutal, sedangkan Karta 7 tahun. Betapa pilunya! Wahai Dewi
Artemis, di manakah kau berada? Apakah ini yang dinamakan dengan keadilan? Tanpa
sebiji kesalahan, dua petani tersebut terpaksa mempertanggungjawabkan kematian
Sulaiman dan istrinya. Ya. Mau tak mau, mereka berdua bakal menelan hari-harinya
di penjara.
***
“Karta. Kita sudah lama
menetap di bui. Kapan kita bebas?”
“Entahlah, Sengkon. Saya
juga tak tahu, adakah jatah pengurangan hukuman buat kita.”
“Saya mulai gak betah
hidup. Penyakit TBC ini benar-benar menyiksa!”
Dengan geram, Karta
memukul dinding penjara, hingga membuat Gunel terbangun. Jejaka yang bermukim
di bui lebih dulu karena kasus pencurian itu dengan santainya berujar, “Maafkan,
Saya, Paman!”
Sengkon terperanjat. Dan,
“Paman”? Ah, sandiwara macam apa ini! Sepertinya, baru itu kali kupingnya
mendengar mantan preman pasar itu memanggilnya demikian. Meski pemuda bertato
kalajengking itu adalah keponakannya, selama ini ia tak pernah memanggilnya
“Paman”. Apalagi, apalagi dalam dunia penjara, rasanya tak mungkin—meski
berusia lebih muda—senior meminta maaf kepada juniornya. Ada gerangan apa?
“Sebenarnya, sayalah
pembunuh Sulaiman dan istrinya.”
“Haaa…. Apa?” Sengkon
masih tak percaya dengan apa yang diucapkan Genul.
“Ya. Sayalah yang malam
itu menghabisi nyawa kedua orang itu.”
Menadah pengakuan
Genul, tangis Sengkon membuncah.
***
Di selembar siang, debu-debu
membuntingi jalanan. Udara tampak capai mengurus pekerjaannya. Dan, orang-orang
berkerumun membentuk lingkaran. Di tengahnya, seorang laki-laki dengan wajah
kusut tergelepar di tanah. Satu jam lalu, kala menyeberang, sebuah truk
menghantamnya dan melemparnya hingga beberapa meter.
“Hai, itu kan Karta.” Mengarahkan
telunjuknya, seseorang berteriak lantang.
“Karta siapa?”
“Orang yang baru
beberapa bulan ini dibebaskan dari bui.”
Disergap kasihan, orang-orang
dengan sigap membagulnya ke rumah sakit. Sial! Di tengah perjalanan ia
menghembuskan nafas pungkasan.
Di mana Sengkon? Ternyata
ia sibuk memelihara TBC-nya yang kian parah.
Yogyakarta, 2012
Keterangan:
Cerpen ini diolah dari tragedi Sengkon-Karta
tahun 1974
kereen kak
BalasHapuskreatif utk penulisannya, miris utk kisahnya, semoga keturunan Sengkon dan Karta diberikan rejeki dan kebahagiaan hidup.
BalasHapus