Judul:
Sejarah Tuhan (Gold Edition)
Penulis:
Karen Armstrong
Penerjemah:
Zaimul Am
Harga:
Rp 99.000
Penerbit:
Mizan
Cetakan:
Ketiga, 2012
Tebal:
676 halaman
Apa yang dipegang teguh
oleh Karen Armstrong mempunyai keserupaan dengan Arnold Toynbee—sejarawan
terkemuka asal Inggris. Karen Armstrong menancapkan postulat bahwa manusia
merupakan makhluk spiritual. Hal ini bisa ditelisik dari sejumlah kajian yang
bertahun-tahun genap dilakukan.
Terdapat alasan logis
yang menjadi latar belakang mengapa ia nekat melanting kesimpulan bahwa selain Homo sapiens, manusia juga Homo religiosus. Perempuan yang pernah
menjadi biarawati Katolik Roma tersebut meyakini bahwa manusia mulai
mengabdikan diri kepada dewa-dewa setelah mereka insaf. Agama-agama mereka
ciptakan pada saat yang sama dengan karya seni. Embrio keimanan mereka
menununjukkan ketakjuban sekaligus misteri di mana dua-duanya merupakan unsur
penting pengalaman manusia dalam menanggapi dunia yang meskipun menggetarkan,
namun juga menyajikan keindahan.
Sebagaimana seni,
munculnya agama merupakan upaya manusia dalam menggali makna dan nilai
kehidupan. Ketika manusia disibukkan oleh rutinitas kehidupan yang membosankan
dan cenderung menawarkan buih-buih penderitaan, agama lahir selaku sarana
mendinginkan keadaan. Di sinilah timbul semacam kecurigaan adakah agama sekadar
‘hiburan’?
Kehadiran buku ini
bukan bermaksud untuk berkoar mengenai realitas Tuhan, melainkan menguak
sejarah persepsi umat manusia tentang ‘siapa yang mereka sembah’ sejak masa
Ibrahim hingga hari ini.
Tuhan
bagi Filosof dan Kaum Mistik
Telaah Karen Armstrong
mengenai sejarah Tuhan mengambil bentuk dalam upaya penelusurannya atas
kehidupan orang Arab. Apa pasal? Selain menarik, hal ini juga menjadi poin
krusial yang perlu diangkat agar motif missing
link bisa terhindarkan saat mengambil benang merah antara beberapa
peristiwa besar religiositas.
Sesuai catatan penerima
anugerah TED Prize pada tahun 2008 tersebut, persentuhan orang Arab dengan sains
dan filsafat Yunani pada abad kesembilan mengakibatkan lahirnya kelompok Muslim
yang disebut filosof. Pada awalnya, fokus utama mereka adalah ilmu-ilmu alam,
namun lama-kelamaan metafisika Yunani juga menjadi bagian esensial dari kajian
mereka. Bahkan, terdapat kecenderungan untuk menerapkan prinsip-prinsipnya ke
dalam Islam, sehingga Tuhan para filosof Yunani identik dengan Allah. Hal ini
merupakan hasil dari kepercayaan terhadap rasionalisme yang diterka mampu
mendermakan bentuk agama yang paling maju; agama yang mengembangkan pandangan
yang lebih tinggi tentang Tuhan daripada yang diwahyukan dalam kitab suci
(halaman 266).
Sebut saja Al-Kindi. Ia
berargumen, segala sesuatu pasti mempunyai sebab. Atas dasar itulah, mesti ada
suatu Penggerak yang Tak Digerakkan untuk memulai kejadian. Prinsip pertama ini
adalah Wujud itu sendiri, tidak berubah, sempurna, serta mustahil dapat
dihancurkan. Namun, ketika tiba pada kesimpulan, Al-Kindi sengaja memisahkan
diri dari Aristoteles dengan berpijak pada doktrin Al-Quran tentang penciptaan
dari ketiadaan (ex nihilo).
Atau Al-Farabi, yang
memindai mata rantai wujud secara abadi memancar dari Tuhan dalam sepuluh
emanasi atau “intelek” berturut-turut, di mana masing-masing membentuk satu
bidang Ptolemis: langit terluar, lapisan bintang-bintang tetap, garis lintasan
Saturnus, Yupiter, Mars, Matahari, Venus, Merkurius, dan Bulan. Memang di sini
terdapat perbedaan yang nyata dengan visi Al-Quran tentang realitas, namun
Al-Farabi memandang filsafat sebagai cara yang lebih unggul guna memahami
kebenaran yang telah disampaikan pada nabi secara metaforis dan puitis supaya
mudah memancing simpati banyak orang.
Sejarah Tuhan juga
tidak terlepas dari mistisisme. Mengapa? Agama mistik cenderung lebih dapat
membantu pada waktu-waktu sulit ketimbang keimanan yang didominasi oleh otak.
Latihan-latihan ruhani yang intens dalam mistisisme mendorong seseorang kembali
kepada Yang Esa. Hal ini di antaranya ditunjukkan oleh mistisisme awal Yahudi
yang berkembang selama abad kedua dan ketiga, meskipun orang Yahudi sendiri
belum memahaminya secara utuh.
Dalam perjalanannya,
mistisisme ternyata mampu bertahan, bahkan menjangkiti dunia Barat. Hasrat
terhadap mistisisme di antaranya terbukti dengan sambutan luas atas terbitnya
karya tentang mitologi oleh pemikir Amerika kontemporer, Joseph Campbell.
Karena itulah muncul dugaan kuat bahwa orang-orang Barat tengah membutuhkan
alternatif untuk mengimbangi cara pandang ilmiah murni terhadap alam semesta.
Mencecar
yang Gaib
Dalam The Idea of the Holy, ahli sejarah agama
berkebangsaan Jerman, Rudolf Oto (1917), mempercayai adanya rasa tentang gaib (numinous) sebagai dasar dari agama.
Landasan bagi perilaku beretika merupakan efek dari timbulnya perasaan gaib
pada diri manusia. Kehadiran kekuatan gaib dan misterius selalu dirasakan oleh
manusia dalam setiap aspek kehidupan. Imbasnya, menyebarlah mitos-mitos sebagai
upaya metaforis guna mendeskripsikan realitas yang terlampau rumit untuk
diekspresikan dengan cara lain.
Sebagai contoh pada
periode Paleolitik, di mana ketika pertanian tumbuh berkembang, manusia
menganggap bahwa kesuburan pada tanaman merupakan anugerah dari Dewi Ibu.
Akibatnya, terjadi pengkultusan terhadap dewi yang digambarkan sebagai
perempuan hamil telanjang tersebut. Hal ini mirip sekali dengan mitos Jawa yang
berabad-abad diwariskan. Masyarakat Jawa suka menghubungkan kondisi pertanian dengan
sikap Dewi Sri. Jika tanaman dalam keadaan subur, maka bisa dipastikan kalau
mereka berhasil membuat Dewi Sri senang. Sebaliknya, jika Dewi Sri terlanjur
marah, maka imbasnya yaitu tanaman mereka akan mengalami kerusakan atau bahkan
gagal panen.
Dalam ajaran Islam,
alam gaib juga menempati posisi sentral dalam corak keimanan. Hal ini secara
eksplisit disinggung dalam kitab suci Al-Quran. Tepatnya, ayat tiga dari surat
Al-Baqarah. Ayat itu memaparkan mengenai siapakah orang-orang yang beriman (muttaqin). Mereka adalah: “orang-orang
yang percaya kepada hal-hal gaib……..” (Al-Baqarah: 3).
Perhatian manusia pada
mitos ditegaskan lagi oleh Karen Armstrong dengan pernyataan: “mitos
mengekspresikan makna batin peradaban”. Orang Babilonia, misalnya, mereka
merayakan liturgi pada Tahun Baru, di mana para dewa tunduk pada liturgi
tersebut. Mereka juga menaruh keyakinan, Babilonia adalah tempat suci, pusat
dunia, dan tanah air dewata. Bila dihubungkan dengan ketiga agama monoteistik,
maka ide tentang kota suci sangatlah penting guna memperoleh keharmonisan
dengan kekuatan sakral. Begitu sentralnya, maka tak ayal, Babilonia dapat
disandingkan dengan kota-kota suci lainnya, seperti Makkah bagi orang Islam,
Nazaret bagi orang Kristen, Hebron bagi orang Yahudi, ataupun Yerussalem bagi
ketiga penganut agama besar tersebut.
Bagi orang Babilonia,
Marduk—Dewa Matahari—merupakan spesimen keturunan dewa yang paling sempurna.
Dalam sebuah pertemuan Majelis Agung para dewa, Marduk berjanji hendak
memerangi Tiamat dengan syarat bahwa dialah yang nanti menjadi penguasa mereka.
Akhirnya, usai melewati pertarungan yang cukup panjang serta bersusah payah,
Tiamat sanggup dikalahkan. Marduk lantas memutuskan untuk mewujudkan dunia
baru; Tiamat dibelahnya menjadi dua bagian guna membentuk lengkungan langit dan
bumi manusia. Undang-undang pun disusun, demi memelihara agar segala sesuatu
tetap berada dalam porsi yang ditentukan. Setelah itu semua dilakukan, barulah
manusia diciptakan. (halaman 36-37).
Melalui buku ini,
seolah Karen Armstrong ingin memekik lantang, bahwa gagasan manusia mengenai
Tuhan senantiasa terkungkung oleh sejarah, karena bagaimana pun juga gagasan
itu mengantongi perbedaan bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di
pelbagai masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar