Dalam tarafnya
masing-masing, puisi dan korupsi sama-sama menjanjikan kenikmatan tiada tara. Keduanya
sanggup membawa penikmatnya melayang ke udara sembari menapaki tangga pelangi
di cakrawala. Alangkah hebatnya! Dengan puisi, seseorang sanggup menyelami keping-keping
rahasia semesta. Pun betapa ajaibnya! Melalui korupsi, seseorang mampu meresapi
bebulir dosa dan kebejatannya.
Sesuai kapasitasnya, puisi
menghidangkan asupan nilai guna memperkaya jiwa. Adapun korupsi ringan
menghibahkan penyakit radang sukma. Atas dasar itulah, menilik kedahsyatan
puisi dan korupsi, para sastrawan mengombinasikan keduanya dalam karya-karya mereka.
Seperti halnya Remy Sylado (2004) yang melahirkan puisi bertitel ‘Seorang Prajurit Memulai Korupsi dengan
Sumpritan Seharga Rp 200’: Satu prit/
Jigo// Empat prit/ Cepek// Delapan prit/ Kembali pokok.
Korupsi Lebih Najis dari
Babi
Melukiskan
kegalauannya, Gus Mus pernah menulis puisi berjudul ‘Ada Apa dengan Kalian’: Bila
karena merusak kesehatan, rokok kalian benci/ Mengapa kalian diamkan korupsi/ Yang
kadar memabukkannya jauh lebih tinggi/ Bila karena najis, babi kalian musuhi/ Mengapa
kalian abaikan korupsi/ Yang lebih menjijikkan ketimbang kotoran seribu babi.
Dalam puisi yang
diaktualisasikan secara terbuka tersebut, betapa korupsi dijelmakan menjadi
barang yang harus dijauhi. Dijauhi karena mengandung daya mabuk luar biasa,
sehingga bisa mengantar penikmatnya hilang kesadaran lalu mengamuk, membabibuta.
Parahnya lagi, jika didera ketagihan, maka tak ayal baginya untuk melakukan
apapun demi mengetam berbagai ragam khasiat yang dimuat serta merasakan ‘sensasi’-nya.
Korupsi digambarkan pula
selaku barang dengan kadar najis selangit. Saking najisnya, bahkan ia lebih
najis dari kotoran babi. Padahal dalam Islam, babi adalah hewan najis, yang
apabila dijilat, maka seseorang wajib membasuh bagian tubuh yang terkena
jilatan itu sebanyak tujuh kali dan salah satu diantarannya dengan air
bercampur tanah. Sedemikian hina-dinanya, sebagian orang-orang fasik, orang-orang
yang dimurkai Tuhan, menelan kutukan menjadi kera dan babi (surah al-Maidah:
60).
Babi juga dilarang untuk
dikonsumsi. Nash al-Qur’an mengharamkan atas hewan yang serat dagingnya memuat cacing
pita itu dalam surah al-Baqarah: 173, al-Maidah: 3, dan an-Nahl: 115.
Menurut hikmatu at-tasyri’ (hikmah ditetapkannya
suatu syariat), suatu larangan menyimpan mafsadah
(kerusakan). Ini berarti,—berdasar pada puisi Gus Mus di atas—bahaya serta kandungan
kerusakan pada korupsi jauh lebih besar daripada tubuh babi.
Peti
Mati bagi Koruptor
Dalam buku puisi ’Anak Mencari Tuhan’ yang dikemas satu
paket dengan Pertempuran Rahasia
anggitan Triyanto Triwikromo (Gramedia Pustaka Utama, 2010), Nugroho Suksmanto sempat
menuturkan kegelisahan akan korupsi. Berbekal racikan kata sederhana, Nugroho
Suksmanto menapak ikhtiar dalam rangka menyuguhkan ‘sesuatu yang paradoks’
dalam korupsi—dengan ketus dan genit, pada puisi bertajuk ‘di China dan di Kita’: Di
China/ Pemimpinnya keji/ Saat memberantas korupsi/ Tak segan menembak mati// Di
Kita/ Para pemimpin baik hati/ Berderma dari hasil korupsi/ Pergi haji
berkali-kali.
Dari puisi di atas, tampaklah
bahwa China membentangkan ketegasan membabibuta. Ketegasan yang mengungkap bahwa
guna memberantas korupsi, membenamkan nyawa penikmatnya merupakan pilihan
paling tepat. Tidak seperti di negeri kita
(Indonesia), yang justru pemimpinnya menjadikan rupiah hasil korupsi untuk bersedekah,
bahkan berangkat ke Makkah.
Bukan sebiji kebetulan
jika Nugroho Suksmanto mendayagunakan China
dalam puisinya. Sudah barang tentu, kata tersebut telah melewati penyortiran
yang matang. Mengapa? Sebab, China adalah salah satu teladan dunia dalam
menangani korupsi. Sesiapa yang terbukti tersentuh korupsi, maka ia harus bersigap
memeluk ajal esok hari. Akibat kegigihan dan keberaniannya, China pernah
menadah peringkat terpuji dalam “Indeks Persepsi Korupsi” (CPI) maupun “Indeks
Transparansi” (TI): berindeks 3,1; sejajar dengan Mesir.
Puncak dari tekad
memberangus korupsi itu ialah ketika Presiden Hu Jintao (mulai berkuasa tahun
2003) berikrar menyediakan 100 peti mati untuk para koruptor dan 1 peti untuk
dirinya sendiri, kalau ia juga terendus korupsi. Suatu pernyataan yang mengindikasikan
simbol dari perwujudan hasrat seorang pemimpin bertanggung jawab.
Wacana pemberlakuan
hukuman mati kepada para koruptor perlu mendapat angin baru. Kaum pengganyang
uang negara sudah saatnya dijejali hukuman mati, karena selama ini hukuman bui enggan
memberikan efek jera (deterrent effect) bagi
mereka. Sebenarnya,
dalam
hukum positif Indonesia, hukuman mati genap terakomodasi dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sayang, dalam realitasnya
pemerintah belum berani—atau lebih tepatnya belum punya nyali—secara tegas
menerapkannya, sehingga para koruptor masih bisa menghisap rokok sambil
ongkang-ongkang kaki.
Penerapan hukuman mati
bagi koruptor merupakan hal yang patut dilaksanakan. Sanksi tersebut bukanlah
bersifat bengis atau kejam, karena korupsi tergolong crimes against humanity (kejahatan terhadap umat manusia), bukan lagi
sekadar extraordinary crime
(kejahatan luar biasa), dimana penikmatnya layak mengunyah balasan
seberat-beratnya. Mengingat, bahwa korupsi rentan menetaskan dampak negatif
yang tidak hanya membahayakan orang seorang, namun masyarakat secara
keseluruhan.
Sudah semestinya hukuman
perampasan ajal bagi koruptor mengantongi status primum remedium, di mana sanksi pidana dimanfaatkan selaku sarana
utama dan pertama kali diancamkan dalam suatu ketentuan Undang-Undang, bukan
lagi ultimum remedium, yang mempergunakan
sanksi pidana manakala sanksi perdata maupun sanksi administratif sudah tidak
berdaya.
Implementasi atas sanksi
merupakan di antara jalan menggayuh tujuan masyarakat: the greates happiness of the greates number—dalam ungkapan Jeremy
Bentham (1748-1832). Meminjam apa yang dilontarkan oleh pendiri utilitarisme
individual tersebut, kejahatan menghilangkan kebahagiaan manusia dan
penghukuman memastikan keamanan yang merupakan fondasi kebahagiaan. Walau
tampak jahat, hanya dengan mengimplementasikan sebuah sistem paksaan rasional,
pemerintah dapat menyokong kebahagiaan para warga. Raibnya kebahagiaan (atau
kebalikannya, terjadinya kebahagiaan) merupakan basis utama untuk menghukum
para pelaku kejahatan. Semakin seorang pelaku kejahatan “mengganggu
kebahagiaan”, semakin “besar tuntutan kebahagiaan untuk menjatuhkan hukuman”. (Richard Schoch, 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar