Aku menelan ludah. Glek. Berulang kali tenggorokan
menampung cairan pahit dan kecut itu karena seharian lidah tak terjamah kopi, es
teh, atau minuman lain yang biasanya kutenggak di tengah perjalanan. Berkeliling
ke beberapa kampung rupanya tak menyulap dompetku berseri-seri, enggan membuat
kantongku terisi. Lambung yang kerap menerima limpahan makanan dari orang-orang
yang menaruh kasihan, hari ini mengalami kekeringan dan hampir saja gersang.
Punggungku sudah
melengkung. Tulang-belulangku genap berteriak, kelelahan. Aaaarggh!
Entah. Sekali lagi
entah. Apakah wajahku berubah menyeramkan, hingga orang-orang begitu takut berpapasan
denganku. Bahkan, beberapa di antara mereka terbirit-birit, lintang pukang,
ketika memergoki jidatku yang lebar, meski dari kejauhan. Sampai-sampai, untuk
menjangkau tempat dengan jarak yang tak begitu jauh, ada yang nekat berputar,
mencari jalan alternatif yang sesungguhnya malah lebih banyak menghabiskan
langkah. Pokoknya, berbagai upaya dilakukan guna menghindari sosok kurus jangkung
dengan jenggot yang lecek; aku.
Salah, bila seseorang—lelaki
atau perempuan—menyebutku genderuwo. Bukan, bukan! Aku ini penebar ketakutan. Aih, kuralat. Sebetulnya aku hanyalah seorang
penjual. Tepatnya, penjual kaligrafi.
Penjual kaligrafi?
Benar. Jangkap tujuh
tahun aku menawarkan tulisan arab bermacam bentuk dan variasi, berbahan kaca
dan cat warna-warni dengan pigura yang ukirannya lebih bagus dan wah ketimbang garapan orang Jepara sekalipun.
Ke tiap rumah, aku menyodorkan kaligrafi buah tanganku sendiri dengan bibir tersungging,
agar tuan rumah mau berbasa-basi dengan sekadar melihat-lihat, atau meraba-raba,
atau mencocokkan harganya. Maksudku, mencocokkan harga dengan kebutuhannya yang
suka mengasapi bibir dengan cerutu termahal, juga istrinya yang rajin bersolek memakai
kosmetik impor, juga anak-anaknya yang mulai masuk perguruan tinggi dan minta
uang jajan lebih. Syukur-syukur, kalau berkenan membeli. Lebih syukur lagi,
jika membeli tanpa melalui proses tawar-menawar. Itu artinya, aku bisa mengantongi
untung lumayan, tanpa sibuk mengobral ludah; bersusah-payah menjelaskan berapa
rupiah yang wajib kurogoh demi melahirkan satu karya.
Dibanding dengan yang
lain, aku tergolong penjual kaligrafi yang tahan banting. Ah, aku malas mengada-ada. Jika kurang percaya, tanya saja Ridlo
atau Hadi atau Hakim atau Muayat atau Fadli atau Muhtadun atau Qomaruddin, yang
dulu bersama-sama denganku rutin menjinjing delapan hingga sembilan kaligrafi dalam
sehari untuk ditukar uang. Mereka sepertiku juga; membuat kaligrafi lalu
menjemput sendiri para pembeli dengan mengedarkan “barang jualan” ke berbagai
tempat. Bila boleh memberitahu, kami adalah jebolan salah satu pesantren salaf di
kota mungil di Jawa Timur yang mengajarkan kaligrafi kepada para santri. Maklum,
karena tak punya keterampilan lain, kami memanfaatkan bekal tersebut guna
menyambung hidup.
Sebentar, sebentar. Untuk
lelaki terakhir, siapa tadi? O, ya, Qomaruddin. Maaf, maaf! Kau mesti pergi ke
kuburan di pinggir sawah Mas Kariman yang terkenal angker, kalau bernafsu
membuktikan seberapa akurat ocehanku ini. Benar. Kau harus menggoyang-goyang nisan
berpahatkan huruf qof, mim, ra’, alif, lam, dal, ya’, dan nun seraya bertanya dustakah
kalimat yang telah kuracaukan. Karena, kau tahu? Pemuda yang seminggu lagi
melangsungkan pernikahan dengan anak Pak Lurah itu menghembuskan nafas pungkasan,
tepat ketika menenteng kaligrafi di kolong pohon nangka, di suatu malam celaka.
Malam yang mengantarnya lekas minggat dari dunia, lantaran penyakit bengek yang
terlampau akut.
Selain Qomaruddin,
teman-teman lain memilih mundur dari profesi yang kuanggap mulia ini dengan
alasan serupa. Mereka bosan berlama-lama menggantungkan hidup dari hasil menjajakan
tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, karena pendapatan sebulan cuma cukup buat menebus sabun
di toko Mbok Kinah. “Jaman sudah beda”. Itulah kata-kata terakhir yang sempat
dihembuskan mulut Muayat kala berpamitan padaku untuk mengundi nasib ke
Jakarta. Adapun Ridlo, Hadi, Hakim, Fadli dan Muhtadun, lebih percaya bahwa
rizki mereka mengendap di lumpur dan tanah. Jadilah kelimanya menggeluti hidup
dengan bertani dan bercocok tanam.
Tahun ini, tahun beraut
muka sangat muram ini, memang berbeda jauh dibanding tahun-tahun sebelumnya. Barangkali
kau merasa heran, jika aku berkecek bahwa dulu karya kami cukup laku di pasaran.
Orang-orang amat tertarik membeli kaligrafi, meski dengan harga di atas
rata-rata. Tak jarang kaligrafi yang kami tawarkan, ludes sebelum senja
mengenakan celananya. Bahkan, saking larisnya, banyak di antara konglomerat rela
membayar di muka, walaupun kaligrafi belum ada. Mereka sengaja melakukannya agar
ketika tersedia, “barang pesanan” langsung diantar ke rumah mereka.
Kaligrafi, bagi mereka,
bukan cuma berfungsi menghias dinding, melainkan juga sebagai pengingat.
Tunggu! Pengingat?
Yap.
Dengan merenungi tulisan yang tertera di kaligrafi, niscaya mereka mudah mengingat
mati. O, ya, dari tadi belum kujelaskan bahwa dalam berkarya, kami menuliskan
ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kematian. Itulah mengapa, ketika seseorang
membaca karya kami, di atas alisnya terbentang ratusan mendung hitam, hingga sepasang
pipinya siap menadah hujan paling lebat yang turun melewati lubang netra yang
berkilat-kilat. Seraya menggerung-gerung, bertanya-tanya kepada diri sendiri
kapan ia menjemput ajal, kapan ia mengakhiri hidup yang penuh tipudaya dan
fatamorgana, juga kapan-kapan lain yang kurang pantas rasanya jika disebutkan satu
persatu. Usai melempar pertanyaan dengan berbagai kapan itu, timbullah penyesalan
mendalam terhadap dosa-dosa yang terlanjur ditumpuk di atas punggung, lalu
muncullah komitmen memperbaiki diri dengan memperbanyak kebajikan.
Seperti halnya saat
Mujiono, penulis besar dengan buku-buku best
seller-nya, membaca kaligrafi bertuliskan surat Al-Baqarah
ayat 243: “Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang
mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada
mereka: ‘matilah kamu’, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah
mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”
Dengan memegangi kepala, ia tersungkur sambil menyebut nama Tuhan. Sepulang
dari rumahku, sebagian besar harta kekayaannya disumbangkan ke masjid-masjid
dan panti asuhan.
Atau Rohmah, janda kembang yang
menjadi rebutan sebab ketenarannya selaku
pedagang karpet yang sukses, waktu membaca kaligrafi surat Ali ‘Imran ayat 145:
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati
melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.”
Karena
terlalu menghayati, ia akhirnya tak sadarkan diri hingga tiga hari tiga malam. Setelah
siuman, ia memberangkatkan dua ratus guru SD al-Kautsar untuk umroh ke Mekkah.
Juga yang terjadi
di rumah Muhtadun. Suatu siang, lelaki
buta huruf—aku lupa siapa
namanya—memandangi karya bercorak kuning keemasan dipadu warna hijau lumut
dengan gambar masjid di tengahnya. Karena tertarik, ia meminta Muhtadun untuk
melafalkan tulisan yang sedang dipolototinya. Tak keberatan, penyuka tembang
jawa kuno itu melisankan dengan lirih surat An-Nisa’ ayat 78: “Di mana saja kamu berada, kematian akan
mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh….”
Sekonyong-konyong lelaki gondrong bertato kura-kura di lengannya tadi gemetar tangan-kakinya,
bergemelatuk gigi-giginya, mengigil dada bidangnya. Seketika itu juga, ia
berjanji untuk menghapus kebiasaannya memalak di stasiun dan terminal.
Perlu kau ketahui, kami
sengaja memang menggoreskan ayat-ayat yang berhubungan dengan kematian. Menurut
kami, selain berburu rizki, kaligrafi juga dapat digunakan sebagai sarana
berdakwah. Inilah yang mengakibatkan kami gemar sekali menuliskan surat Al-Baqarah
ayat 94, An-Nahl ayat 70, Al-Anbiya’ ayat 35, Al-Mukminun ayat 23, Al-Qashash
ayat 28, Al-Ankabut ayat 57, Al-Ahzab ayat 16, Az-Zumar ayat 30, Qaaf ayat 19,
Ar-Rahman ayat 26, Al-Jumu’ah ayat 8, ‘Abasa ayat 21, dan At-Takatsur ayat 2. Anehnya,
banyak orang yang justru membeli karya kami lantaran ingin mengingat mati. Mereka
mengaku, bahwa dengan memajang kaligrafi kematian di rumah, perusahaan, atau
kantor, tebersit kesadaran bahwa kelak mereka akan menuju kuburan; mereka akan
meninggalkan segala kemewahan dan kenikmatan yang bersifat fana lagi sementara.
Dan, mustahil mereka berwasiat agar emas, perak serta permata dimakamkan bersama
tengkorak mereka.
Sayangnya, “jaman sudah beda”. Mungkin benar perkataan
Muayat. Kini, orang-orang tidak lagi menaruh hati pada kaligrafi. Parahnya
lagi, orang-orang mulai membenci tulisan arab yang mengabarkan kematian. Apa pasal?
Dengan membeli kaligrafi kematian, barang tentu hal itu membuat karyawan malas
bekerja, presiden takut berbuat semena-mena, pejabat berhenti melakukan korupsi,
anggota dewan malu membelanjakan uang rakyat untuk berfoya-foya, hakim sungkan
meloloskan para tersangka, menantu keder mengelabui mertua, sebab mereka semua bisa
terus-terusan dihantui kematian.
Ah,
sore merangkak senja. Sepemakan sirih lagi azan maghrib berkoar di mana-mana. Walau
kaligrafi yang kupanggul tak terlego satu pun, baiknya aku bersiap-siap melangkah
ke masjid terdekat.
Selepas menunaikan shalat
berjama’ah, dengan khusyu’ aku akan memohon kepada Tuhan, agar batang umurku diperpanjang,
ragaku selalu dianugerahi kesehatan, rizkiku senantiasa dilapangkan. Dan,
ketika sudah benar-benar jutawan, aku bakal membangun toko terbesar dan termegah
di kota ini. Toko yang menyediakan berbagai ragam kaligrafi indah. Kaligrafi
yang bukan mengabarkan tentang kematian, agar aku leluasa memelihara
kebahagiaan di dunia, tanpa direcoki pertanyaan berapa puluh tahun lagi Izra’il
datang mencungkil ruhku dengan paksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar