Menggaungkan ekspresi spiritualitas penyair sebagai homo religious. Itulah di antara misi yang coba digencarkan Muhammad Asqalani Eneste (MAE) dalam buku kumpulan puisi terbarunya (Mei, 2013). Maklum, bagi MAE, puisi bukan sekadar alat perecok urusan politik, sosial, ataupun moral. Lebih dari itu, puisi dijelmakan sarana menjajaki ke-aku-an sekaligus menggapai keakraban dengan Tuhan.
Dengan coraknya sendiri, MAE ingin menggambarkan hubungan antara dirinya dengan Tuhan bukan sekadar bersifat kontraktual dan berbentuk pola: hamba-pencipta (‘abd-‘abid), melainkan juga seperti sepasang teman yang identik dengan keakraban. Apalagi, didukung dengan diksi yang sangat gamblang, hubungan tersebut bisa dengan mudah diendus oleh pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kadar dan waktu tertentu, kedekatan yang terjalin antara manusia dengan Tuhan tidak perlu lagi disembunyikan. Bahkan, usaha untuk menggembor-gemborkannya merupakan suatu keharusan dan keniscayaan. Kedekatan yang dinyatakan penyair di antaranya bisa disimak dalam puisi berikut!
lude 1
pada lubang gelap desember, aku
diperkosa hujan
tubuhku melahirkan janin januari, yang
tak berbadan
aku memeluk tubuh tuhan, memanjat
tiang gantungan
Saking dekatnya aku penyair dengan Tuhan, maka upaya pelarian dari kutukan (tubuh melahirkan januari tak berbadan) dilakukan dengan cara memeluk tubuh tuhan. MAE menawarkan frase yang nyentrik sekaligus menggelitik dalam konteks peribadatan. Hal ini mengisyaratkan bahwa dengan cara merapatkan diri dengan tuhan, ia bisa mendapatkan perlindungan.
‘Memeluk’ pastilah mengalami penyortiran panjang. Kata ini dipilih bukan sekadar karena terlintas sesaat dalam minda ataupun tersesat dalam mimpi penyair. ‘Memeluk’ adalah upaya merekatkan diri dengan tujuan utama menghadirkan kehangatan. Bila dikaitkan dengan baris sebelumnya: pada lubang gelap desember, aku diperkosa hujan, maka tampaklah dalih penyair. Hujan yang menggumulinya dengan rasa dingin mencekam, akhirnya dihilangkan dengan cara menyelundupkan kehangatan. Rasionalisasi yang barangkali ringan diterima logika, sebab tubuh tuhan merupakan tempat bersandar paling nyaman. Bahkan, tuhan sendiri adalah Sang Pemberi Kehangatan.
Adapun frase memanjat tiang gantungan adalah sikap pasrah penyair terhadap segala perlakuan Tuhan. Pada saat itu, ke-aku-an sang penyair dileburkan sepenuhnya dalam diri Tuhan. Dengan cara berserah diri, penyair mengharapkan Tuhan berkenan mencurahkan kasih sayang. Jadi, esensi dari frase memanjat tiang gantungan yaitu upaya berburu perhatian dalam sikap kerendahdirian.
Dalam khazanah kesusasteraan Indonesia, keakraban aku penyair dengan Tuhan seringkali ditemukan dalam beberapa karya penyair ternama. Sebut saja puisi Joko Pinurbo (Jokpin) berjudul ‘Doa Seorang Pesolek’.
Tuhan yang cantik,
temani aku yang sedang menyepi
di rimba kosmetik.
Bila disandingkan, puisi MAE dan Jokpin sama-sama berusaha mengakrabi Tuhan dengan cara masing-masing. Perbedaannya, dalam puisi ‘Doa Seorang Pesolek’, jarak antara manusia dengan Tuhan masih begitu kentara, sedangkan puisi ‘lude 1’ menggambarkan bahwa antara keduanya seperti tidak berjarak. Hal ini mengisyaratkan keakraban aku penyair dalam dua puisi tersebut memang bertingkat.
Bermodal kepercayaan diri penuh, MAE seakan berkoar bahwa rasa takut dalam jiwa seorang hamba seyogyanya senantiasa dipupuk dan dipelihara. Barang tentu bukan dengan menjauh-hindarkan diri dari pencipta, sebagaimana ketika berjumpa dengan hantu atau malapetaka. Akan tetapi, sebaliknya. Rasa takut yang dimaksud wajib ditunjukkan dengan cara mendekat-lekatkan diri kepada Tuhan, tanpa disertai curiga serta buruk prasangka. Bagaimana pun juga, seorang hamba harus berkeyakinan bahwa segala ketentuan Tuhan digariskan dalam kondisi terbaik. Sehingga, tak pantas kiranya ia menyudutkan Tuhan ketika menemui perkara yang dalam timbangan logika cenderung kontradiktif-kontraproduktif. Kewajiban manusia hanyalah mengamini keputusan Tuhan, dengan keyakinan utuh bahwa di dalamnya terkandung hikmah serta kebaikan.
Proses pendekatan di atas apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh, pada akhirnya dapat mengantar kedudukan manusia melesat lebih tinggi. Dan jika dilakukan secara intens, maka tak ayal ia pun akan mengalami ekstase dalam pengembaraan spiritual, karena berhasil ‘merasuki’ Tuhan. Sehingga, Tuhan, baginya, lebih lekat dan tancap dari dirinya sendiri, sebagaimana layaknya Tuhan yang lebih dekat dari urat nadi. Akhirnya, hubungan antara Tuhan dengan manusia bukanlah bercorak: penguasa-yang didikuasai (dengan indikasi keterpaksaan), melainkan kekasih-yang dikasihi (dengan ciri utama: kemesraan).
Kemesraan antara Tuhan dengan aku penyair antara lain bisa dirunut dalam puisi ‘istikharah DNA’ (halaman 8).
setelah mengecup keningMu
rindu mengaku tak mampu bersiteru
dengan candu
MAE sengaja menggunakan frase mengecup keningMu sebagai gambaran keintiman dengan Tuhan. Dalam konteks ini, kata-kata didaulat sebagai sarana pengurai rindu. Kata-kata berpretensi mengungkapkan sakau kepada Tuhan. Hal yang kerap dilakukan oleh kaum sufi dalam menunjukkan rasa cinta (mahabbah) kepada Sang Pencipta (al-Khaliq), semisal Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya.
Barang tentu tidak semua pembaca bisa menikmati gaya dan metafora yang disajikan MAE. Bagi mereka yang skeptis atau bahkan konservatif, puisi-puisi MAE bernada arogan dan enggan memedulikan kesopanan. Dalam puisi-puisi MAE tersimpan kesombongan membabibuta yang layak sirna. Bagaimana tidak? Berbekal bahasa yang transparan, MAE gemar membuat pembaca geram sambil menudingkan telunjuk. Guna membuktikannya, periksalah puisi ‘yang tak lagi senggama’ (halaman 63).
kelaminku jatuh ke dalam kolam
gairah dan naluriku memuncrat
tangan tuhan mencincang selangkangan
kelelakianku terbuang ke lubang larangan
Bila ditelisik dengan cermat, puisi di atas menghidangkan beberapa baris kalimat yang ‘kurang ajar’, sebab kata Tuhan dipautkan dengan hal-hal tabu dan vulgar. Bagi para pengusung etika, jelas-jelas hal ini merupakan pelanggaran norma. Apalagi, menilik konteks pembicaraan, seakan-akan aku penyair tidak terima dengan perlakuan Tuhan yang telah mencincang selangkangan.
Itulah mengapa, terdapat indikasi kuat bahwa buah tangan MAE cenderung dikategorikan sebagai karya urakan ketimbang manis dan penurut. Tak mengapa. Kategorisasi, bagi MAE, tidak akan dipersoalkan atau bahkan dibela mati-matian. Sebagai penyair yang berproses, ia hanya berambisi mengekspresikan kegelisahan yang telah dan sedang digumuli.
Dari puisi di atas, di satu sisi, nampak kebengalan serta keliaran penyair dalam berimajinasi. MAE memperlakukan puisi guna menampakkan diri sebagai hamba yang genit dan nakal. Di sisi lain, pengalaman spiritualitas penyair dibocorkan dengan tetap mengawat erat tradisi lirisisme.
Dalam buku anggitan MAE ini, bertebaran puisi-puisi yang memprovokasi untuk mengukur sejauh mana hubungan pembaca—sebagai hamba—dengan Sang Pencipta. Sebuah ikhtiar dalam rangka reinterpretasi diri dalam bingkai mikrokosmos dan makrokosmos. Walaupun demikian, masih ditemukan juga sebagian kecil puisi yang memperlihatkan sikap penyair selaku makhluk lemah (dlaif) menghadapi kebesaran Tuhan. Sebut saja puisi ‘ulang tahun’, ‘sabda asa’ dan ‘dalam pelarian’. Sesuatu yang tak mengherankan. Mengingat, MAE pernah tumbuh besar dalam pesantren, tempat yang erat dengan ritual pendalaman agama serta perenungan hakikat hidup sesungguhnya.
Yogyakarta, 2013