Surya baru bangun dari
dengkurnya. Udara masih mematung di sudut desa. Kerumunan embun bersiap melesat
ke angkasa. Suara serak basah Kiai Maksum tersaring nyaring disokong mikropon
surau renta. Seperti biasa, sehabis jama’ah shubuh, ia membacakan kitab Nashaih al-‘Ibad di hadapan para warga.
Bermodal pengetahuan
agama mendalam—karena usia mondoknya bertahun-tahun, didukung pula dengan
pengalaman selaku tangan kanan kiainya tatkala belajar di sebuah pesantren di
Jombang, Kiai Maksum dipercaya untuk melempar petuah dan wejangan dalam segala
problematika kehidupan, lebih-lebih terkait ihwal agama. Bahkan, orang-orang
yang berasal dari desa sebelah pun turut bersoal. Tentang waktu paling tepat
untuk nikahlah, hari terbaik untuk mengkhitan anaklah, pun kiat paling mujarab
bagi yang bosan mandul. Juga pernah ada seseorang memohon doa Kiai Maksum agar
gatal yang dipelihara kabur tunggang-langgang. Itulah mengapa, di ruang tamu
lelaki yang selalu memegang tasbih itu sama sekali tak teronggok kursi-meja.
Hamparan karpet dirasa lebih nyaman guna menyambut kedatangan para tamu—sejak
fajar mendarat, hingga senja menguap.
***
“Wahai Kakak, kenapa
kau tak sudi berjamaah denganku? Padahal, sudah dua belas tahun para warga
menjadi makmumku.”
“Maaf. Bukan maksud
meremehkanmu. Aku cuma kurang mantap jika kau menjadi imam.”
“Maksudmu?”
“Ya. Aku terus
ragu-ragu ketika beribadah di belakangmu.”
Ucapan Kang Sadik
terang saja membuat Kiai Maksum marah. Dua lembar telinganya mendidih.
Bisa-bisanya lelaki yang berumur delapan tahun lebih tua darinya itu berujar
demikian. Padahal, semua orang mafhum, bahwa Kiai Maksum dikenal khusyu’ dalam
beribadah, istiqamah menebar ilmu syari’at, serta teguh menyebarkan Islam.
Terdesak keadaan, Kiai
Maksum melaporkan kepada sang bunda perihal tingkah laku kakaknya. Sungguh,
telah lama ia bertahan menutupi isi hatinya, demi meracik keharmonisan antar
saudara. Akan tetapi, nyatanya, geram yang ia tumpuk kian menggunung dan enggan
lagi ditampung. Barangkali dengan mendedahkan hal tersebut, perasaannya bakal
lebih tenang. Syukur-syukur wanita yang menetaskannya ke dunia itu bersedia
menghibahkan solusi terbaik.
“Baiklah, aku akan
ngobrol dengan kakakmu.”
“Terima kasih, Ibu.”
***
Usai shalat dluha, Mak
Romlah teringat dengan janjinya kemarin. Sebab itulah, memakai klompen
kesayangannya, ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah reot di ujung jalan.
Meski dinding dirakit dari anyaman bambu, rumah itu, rumah mungil bercat putih
tulang itu terlihat rapi dan amat bersih. Bunga sepatu yang merekah di
pelatarannya menambah nyaman setiap orang yang memandang.
Belum sampai mengetuk
pintu, Kang Sadik tahu kalau perempuan berambut uban yang membawa ubi rebus itu
adalah ibunya. Segesit kilat, ia mempersilakannya masuk.
“Wahai, anakku.”
Menggelesot di atas tikar daun pandan, dengan suara agak tertahan, raut muka
Mak Romlah mulai serius, setelah sebelumnya berbicara ngalor-ngidul dan sesekali bercanda.
“Ya, Ibu.”
“Selama ini, kau tak
pernah berjamaah dengan Asum?”
Sejak balita, Kiai
Maksum dipanggil dengan Asum oleh Mak Romlah dan saudara-saudaranya.
“Benar, Ibu.”
“Bagaimana hubunganmu
dengan Asum?”
“Alhamdulillah baik-baik saja.”
“Apa Asum punya salah
kepadamu?”
“Sungguh, ia tak
bersalah sedikit pun.”
“Lalu mengapa ketika
berada di musholla, kau lebih suka menanti orang lain untuk kau ajak berjamaah,
setelah jamaah Asum buyar?”
“Emm…. Shalat Dik Asum
penuh dengan darah.”
Buah cakap Kang Sadik
tak lekas membuat Mak Romlah paham. Malah, beragam pertanyaan baru membuntang
di kepalanya. Sebetulnya, ia masih bingung dengan jawaban yang dicetuskan Kang
Sadik. Ingin sekali ia menggali lebih dalam apa yang tersembunyi dari
pernyataan sulungnya itu. Akan tetapi, karena suara adzan dzuhur berkumandang,
enggan ia lanjutkan pembicaraan. Hendak ia bersiap-siap guna menunaikan shalat
berjamaah.
***
“Kau bilang, shalatku
penuh dengan darah. Apa maksudmu?”
Dengan nada lantang,
Kiai Maksum menghunjamkan pertanyaan pada Kang Sadik.
“Tenanglah dulu, Dik
Asum.”
“Kau pasti iri
denganku. Itu kan yang membuatmu malas berjamaah dengan adikmu ini?”
“Astaghfirullah…”
“Sudahlah, aku sudah
muak dengan kelakuanmu!”
“Baiklah, akan
kujelaskan.”
Kang Sadik menghirup
nafas dalam-dalam. Sepemakan sirih kemudian, ia melanjutkan, “dari dulu aku
ingin sekali berjamaah denganmu, Dik Asum. Akan tetapi, darah di punggungmu itu
yang menyebabkanku urung.”
“Darah? Darah apa?”
“Ya, Dik Asum. Para
perempuan di desa ini rajin bertanya tentang darah haid, bukan?”
“Benar. Hampir tiap
hari ada saja yang bertanya tentang darah haid. Maklum. Pengetahuan mereka
tentang haid sangatlah minim. Apalagi, sebagian besar dari mereka belum pernah
mempelajarinya. Jadilah mereka bersuci asal-asalan. Padahal tidak semudah itu.
Semua ada ilmunya. Begitulah urusan
haid. Urusan rentan, namun sering kali disepelekan. Makanya, akhir-akhir ini
aku rajin menelaah kembali kitab Risalat
al-Mahid.”
“Darah itulah yang
membikin shalatmu kurang khusyu’. Di saat menghadap Tuhan, kau masih terngiang
dengan satu-dua pertanyaan yang belum kau selesaikan, sehingga punggungmu penuh
dengan darah.”
“Ya, Allah. Jadi
shalatku selama ini….”
Belum sempat Kang Sadik
menyambung, lidah Kiai Maksum terlebih dulu menyulam pertanyaan.
“Dari siapa kau
belajar, Kakak?”
“Dari…….”
***
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.”
“Mohon maaf. Apa benar
Bapak yang bernama Ngatmo?”
“Benar. Ada keperluan
apa ya?”
“Bolehkah aku belajar
kepada Bapak?”
“Belajar apa?”
Kening tukang tambal
ban itu bergelombang, seakan memperlihatkan kebingungan.
“Belajar ilmu hakikat.”
“Ilmu hakikat? Wah,
ada-ada saja! Kalau disuruh menambal ban bocor aku bisa.”
“Sudilah Bapak
menerimaku sebagai murid.”
Kiai maksum merunduk
dan mencium kaki Pak Ngatmo. Lelaki berbaju kumal itu menyuruhnya bangun. Dan,
dari katup mulutnya menyembul kata-kata, “baiklah. Setiap pagi kau harus ke
sini.”
“Terima kasih. Terima
kasih.”
Sepulang dari tempat
mangkal Pak Ngatmo, wajah Kiai Maksum berseri-seri. Senyum simpul menggelantung
di sejenjang bibirnya. Barangkali, sekali lagi barangkali, tiada hari yang
lebih indah ketimbang hari itu. Benar. Hari di mana ia diangkat murid oleh
seseorang yang genap menularkan ilmu hakikat kepada kakaknya.
Malamnya, ia membayangkan
pelajaran apa yang akan diterima esok hari. Sungguh, ia tak sabar ingin segera
mengetamnya. Ah, tentulah ilmu itu berbeda dengan ilmu-ilmu yang tunai
digumuli. Lelaki yang dulu gemar berburu belut itu sangat bergembira, bagaikan
anak TK yang akan bertembung dengan guru menggambarnya di kelas.
***
Pagi dirubung mendung
itu, Kiai Maksum membersihkan selingkar tempat Pak Ngatmo beroperasi. Betapa
menjijikkan! Kotoran burung dan kelelawar tergeletak di sana-sini. Basah dan
lengket. Adapun sapu lidi yang disediakan ternyata tak mampu mencongkelnya.
“Maaf, Pak.
Kotoran-kotoran ini susah sekali dihilangkan. Bagaimana ya caranya?”
“Terserah. Kayaknya
memakai tangan lebih mudah.”
Menggunakan tangan
telanjang? Sungguh ini merupakan cobaan berat di hari pertama Kiai Maksum
menimba ilmu. Akankah kiai yang disanjung-sanjung itu meletakkan begitu saja
kehormatan sekaligus wibawanya? Nafsunya meraung-raung, memberontak. Batinnya
dengan enteng memekik: “Apa kau bakal mengorbankan nama kebesaranmu, Maksum?”
Ah, untungnya, nurani
Kiai Maksum lebih tangguh, sehingga secepatnya ia buang jauh-jauh pikiran
negatif yang berseliweran di otaknya. Ia pun memunguti kotoran-kotoran itu
dengan tangannya. Dengan jari-jarinya. Berbekal semangat membabibuta, akhirnya
loka di mana Pak Ngatmo mengais rejeki itu bersih, meski membutuhkan waktu agak
lama. Betul-betul tiada kotoran secolek pun. Kiai Maksum bernafas lega.
Pastilah, serejang lagi, guru barunya itu akan mendermakan ilmu hakikat.
“Pekerjaanmu sudah
selesai, Maksum?”
“Alhamdulillah, Pak.”
“Kau boleh pulang
sekarang.”
Pulang? Apa ada yang
salah dengan ucapan itu? Meskipun agak kecewa, Kiai Maksum menuruti dawuh
gurunya. Bisa jadi, ilmu itu akan diturunkan besok. Begitulah batinnya
menghibur.
Esoknya, pagi benar
Kiai Maksum tiba di tempat Pak Ngatmo. Tanpa aba-aba, ia melaksanakan kembali
titah gurunya kemarin. Ya. Melenyapkan kotoran-kotoran burung dan kelelawar.
Semangatnya menggebu, karena di hari itu, ilmu hakikat yang disebut-sebut
kakaknya bakal ia dapatkan.
Melendeh di betis pohon
mangga, ia mengusap peluh yang merembes dari kulitnya. Pekerjaannya rampung.
Sepasang netranya memandangi Pak Ngatmo yang tengah memegangi roda motor. Dan,
hingga siang bertandang, ia tetap sigap sambil menanti kalau-kalau Pak Ngatmo
memanggilnya.
“Maksum.”
Benar. Pak Ngatmo
memanggil.
“Ya, Pak.”
“Pekerjaanmu hari ini
lebih cepat. Kau boleh pulang.”
Kiai Maksum betul-betul
tidak mengerti dengan maksud Pak Ngatmo. Saat gundah itulah, ia
menimbang-nimbang: apa ada yang salah? O, ya. Hari ini kan hari Selasa. Boleh
jadi, ilmu hakikat hanya dapat diunduh pada hari Rabu. Hari ketika cahaya
diciptakan oleh Tuhan.
Gairah belajar Kiai
Maksum terancam luntur. Hampir saja ia patah arang. Perkiraannya meleset.
Jangkap di hari keempat, belum tersua tanda-tanda Pak Ngatmo akan mengajarnya.
Malah, tugasnya berganda. Selain membersihkan kotoran, ia juga diserahi membuka
dan menutup tempat tambal ban Pak Ngatmo. Praktis, ia harus berangkat lebih
pagi, dan pulang menjelang malam.
Meski cara membimbing
Pak Ngatmo agak nyeleneh, Kiai Maksum tetap bersikukuh, bahkan kian percaya
kepadanya. Atas dasar itulah, saban hari ia mematuhi perintah gurunya itu,
walaupun secara kasat mata, ilmu hakikat yang ia cari belum juga ditularkan. Ia
yakin, bahwa kepatuhan kepada guru merupakan hal utama dalam menjemput ilmu.
Bertahun-tahun Kiai
Maksum mengabdikan diri kepada Pak Ngatmo. Dan, di sore itu, ia dipersilakan
mampir ke rumah. Wajah Kiai Maksum begitu semringah. Naga-naganya, waktu yang
diidam-idamkan itu khatamnya tiba juga.
Sesudah berbasa-basi,
Pak Ngatmo mengulurkan maksud, “Maksum. Kau berhasil melaksanakan perintahku
dengan tulus. Besok kau tak usah ke tempatku lagi. Cukup sampai di sini kau
belajar kepadaku.”
***
Kiai Humaidi duduk
dilingkari para santri. Mereka tampak anteng
memungut penjelasan sebiji kitab tersohor. Ya. Kitab tebal anggitan almarhum
Kiai Maksum yang dikaji oleh para muslim seantero dunia. Banyak penelitian
berkesimpulan bahwa kitab tersebut dikarang oleh seorang ‘allamah, sehingga apa yang ditulis sanggup menembus ruang dan
masa. Bahkan, hingga ratusan tahun ke depan, kitab fenomenal itu diperkirakan
akan senantiasa dipelajari oleh mereka yang menghajatkan kesempurnaan diri.
Yogyakarta, 2012
Keterangan:
Cerpen ini diolah dari biografi Imam
Ghozali
Catatan:
Nashaih
al-‘Ibad : Kitab karangan Ibnu Hajar al-Asqolani, diberi syarah oleh Syekh Nawawi al-Bantani,
berisi tentang nasihat-nasihat bagi para hamba
Risalat
al-Mahid : Kitab susunan
Syekh Muhammad Ardani, memuat tuntunan bagi para wanita dalam masalah
haid
‘Allamah :
Seseorang berpengetahuan luar biasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar