Berdasarkan pemberitaan
Koran Tempo pada 23 Januari 2017,
penolakan atas pemindahan makam Tan Malaka oleh warga Kabupaten Kediri kian
menguat. Sikap ini diambil setelah Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota,
Sumatera Barat, bermaksud memboyong makam pahlawan nasional tersebut ke tanah
kelahirannya.
Apalagi, Pemerintah
Kabupaten Kediri tengah memperbaiki makam Tan Malaka di lereng Gunung Wilis. Baru-baru
ini, disediakan sebuah anak tangga berbahan semen guna memudahkan peziarah saat
berkunjung ke makam yang berada di Desa Selopanggung tersebut. Pembangunan anak
tangga ini menggantikan jalan setapak yang terjal dan licin yang menghubungkan
jalan desa dengan makam.
Sambutan hangat,
atensi, dan simpati ditunjukkan Warga Desa Selopanggung atas kegiatan renovasi.
Bahkan, sebagai bentuk keseriusan merawat makam Tan Malaka, mereka berencana
memperbaiki jalan desa yang masih becek bercampur tanah liat. Karena makamnya bersanding
dengan punden pendiri desa sejak puluhan tahun silam, muncul kesadaran bahwa salah
satu pencetus Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) tersebut
merupakan leluhur desa.
Pahlawan
Semi-Mitologis
Sikap Warga Desa
Selopanggung menunjukkan bahwa Tan Malaka diyakini sebagai pahlawan
semi-mitologis. Pahlawan ini selalu tersimpan di lubuk hati masyarakat dan tak
pernah tergantikan. Menurut Mark R. Woodward (2008: 12), tokoh-tokoh utama
dalam agama peribadatan Jawa adalah para raja dan pahlawan-pahlawan
semi-mitologis masa silam. Kebanyakan ruh penjaga desa diyakini merupakan jiwa
para raja, pangeran, dan wali-wali lokal.
Boleh jadi, sosok ini menggantikan
tuan-tuan feodal sebagai fokus identitas desa tradisional. Pada era kerajaan
dan pra-kolonial, masyarakat Jawa memandang prestise sosial melekat pada
golongan feodal. Lantaran mewarisi gelar bangsawan atau menguasai tanah yang
luas, mereka dianggap berstatus sosial tinggi dan layak dihormati. Faktor
keturunan (gen) dan kepemilikan dijadikan sebagai dasar pembeda posisi sosial
setiap orang di desa. Saat stratifikasi masyarakat Jawa yang cenderung
feodalistis tidak lagi relevan, muncul sosok semi-mitologis ke permukaan.
Pemeliharaan makam Tan
Malaka adalah wujud penghormatan dan pengabdian diri masyarakat kepada
revolusioner yang gugur di Desa Selopanggung tersebut. Ia genap dikukuhkan
sebagai bagian dari leluhur, nenek moyang, atau bahkan danyang (pendiri desa) yang dipercaya mengawasi sekaligus
melindungi seluruh masyarakat yang bermukim di desa. Berdasarkan pendapat Soetarman
Soediman Partonadi (2001: 14), komunitas desa tradisional kerap memunculkan
mitos atau legenda yang mengisahkan sejarah para pendiri desa. Mereka adalah
anggota keluarga kerajaan kuno yang genap meninggalkan kerajaan demi berkelana
sebagai ksatria atau pertapa dan selanjutnya menetap di desa.
Wisata
Sejarah
Melihat perhatian besar
yang ditampilkan warga Desa Selopanggung atas kelestarian makam Tan Malaka,
semestinya pemerintah desa segera merespons dengan meresmikannya sebagai
kawasan wisata sejarah. Apalagi, sejak lokasi peristirahatan terakhir pejuang kemerdekaan
tersebut dibuka untuk publik, sejumlah peziarah dari berbagai penjuru mulai
berdatangan. Dalam konteks inilah, pemerintah desa berperan meneguhkan
makam selaku lokus yang mengekalkan sumbangsih penggagas fondasi kebangsaan.
Barangkali, secara arsitektural,
bangunan makam seseorang yang bernama lengkap Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan
Malaka tersebut kurang istimewa. Akan tetapi, ia menjadi “tinta emas” yang mengabadikan riwayat
panjang perjalanan bangsa. Dalam taraf tertentu, makam pahlawan merupakan
simbol kebudayaan, sendi peradaban, serta lambang kebesaran negeri ini di
hadapan dunia internasional. Ia merekam jejak nasionalis dan patriotis sejati
dalam upaya mengusir kaum penjajah. Makam pahlawan juga berkontribusi dalam
perkembangan sejarah dan ilmu pengetahuan. Dari makam inilah, puing-puing peradaban
nenek moyang bisa ditelusuri.
Bagi orang desa, makam pahlawan
menjadi medium transformasi nilai-nilai luhur sekaligus penguat komunikasi dan
interaksi sosial. Tradisi nyekar yang
digelar di makam pahlawan dapat mempererat ikatan emosional warga desa, sehingga
dalam perjalanannya, semua lapisan masyarakat mempunyai pola pikir historis
(berkesadaran sejarah). Bagaimanapun, suksesnya penyelenggaraan pemerintahan
desa tidak hanya diukur dari sejauh mana perangkat desa menjalankan tugas
administratif serta memberikan pelayanan kepada masyarakat secara maksimal,
melainkan juga prakarsanya dalam mengintrodusir nilai dan etos sejarah.
Menjadikan makam Tan
Malaka sebagai kawasan wisata sejarah merupakan langkah strategis dalam memperluas
cakrawala pengetahuan generasi muda tentang jasa para pahlawan. Upaya ini
penting dilakukan demi menghindarkan mereka dari penyakit “buta
sejarah”, di mana sejarah diandaikan sekadar bagian dari masa
lalu (a thing of the past) yang
tidak ada kaitannya dengan kehidupan saat ini. Kawula
muda seolah tidak membutuhkan “pengetahuan usang” yang menampung beragam
kenangan dan romantisme masa silam. Akhirnya, sejarah hanya berada dalam domain
peneliti, akademisi, dan sejarawan. Para mahasiswa bersedia mengorek sejarah
saat mengerjakan tugas perkuliahan. Setelah kewajiban tersebut berhasil
dirampungkan, mereka kembali meninggalkan dan mencampakkannya.
Padahal, dengan “melek sejarah”,
niscaya karakter kebangsaan dalam diri warga negara mudah terbentuk. Dengan
demikian, peluang ditegakkannya tiang negara-bangsa (nation-state)
semakin terbuka lebar. Sebuah bangsa yang besar, mengutip Endang Suryadinata (2013),
senantiasa mencurahkan apresiasi terhadap warisan sejarahnya. Kesadaran sejarah
bangsa terbentuk dari ruang dan waktu, di mana pemahaman hakiki mengenai masa
lalu berperan membangun titian masa depan.