Sabtu, 11 Februari 2017

Berburu Pemimpin Ideal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Sabtu, 11 Februari 2017)



Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak digelar pada 15 Februari 2017. Pilkada gelombang kedua ini akan diikuti oleh 101 daerah yang terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota.
Saat pemilihan gubernur, bupati, dan walikota semakin dekat, masyarakat dituntut lebih cermat. Mereka harus mampu membedakan mana calon pemimpin yang bernafsu meraih popularitas sesaat dan mana yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Dalam menjatuhkan pilihan, mereka semestinya mengikuti rasionalitas. Menanggapi visi dan misi yang diusung, masyarakat mesti berpikir logis. Apakah target yang dijanjikan oleh calon pemimpin cukup realistis atau hanya isapan jempol belaka. Bagaimanapun, target yang terlalu tinggi berpeluang gagal diwujudkan.
Beberapa pakar kepemimpinan (leadership) berpandangan, kemunculan pemimpin besar adalah akumulasi dari waktu, tempat, dan situasi sesaat. Mumford (1909) menyatakan bahwa pemimpin lahir atas kemampuan dan keterampilan yang memungkinkannya memecahkan masalah sosial dalam keadaan tertekan, perubahan, dan adaptasi.

Kualitas Pengertian
Dalam “The 21 Indispensable Qualities of a Leader”, Maxwell (2000) menyebutkan, pemimpin besar mempunyai 21 kualitas. Salah satunya pengertian, kemampuan seorang pemimpin untuk menemukan akar persoalan berdasarkan intuisi serta nalar. Pengertian merupakan kualitas paling utama bagi pemimpin mana pun yang ingin memaksimalkan efektivitas dan kredibilitasnya.
Kualitas ini dapat membantu seorang pemimpin mengerjakan hal-hal penting. Pertama, menemukan akar persoalan. Pemimpin besar selalu mengatasi kekacauan serta kerumitan yang ada. Dengan mengandalkan pengertian, ia mengumpulkan banyak informasi guna memperoleh gambaran yang lengkap dan utuh tentang situasi sebenarnya. Sebagai contoh, dari data yang terkumpul, ia melihat bahwa sumber rendahnya produktivitas masyarakat adalah kemiskinan.
Kedua, meningkatkan kemampuan dalam mengatasi persoalan. Setelah mengetahui serta mengantisipasi persoalan yang dihadapi, pemimpin harus senantiasa mengasah potensinya. Ketika berhasil menekan angka kemiskinan, ia tidak boleh berpuas diri. Sebab, belum tentu cara yang dipakai bisa diterapkan pada keadaan yang lain. Menemukan beberapa “format” dapat membantunya dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan secara umum dan kontekstual. Situasi yang kerap berubah menuntut seorang pemimpin mencari berbagai alternatif guna memecahkan persoalan yang lebih variatif.
Ketiga, mengevaluasi berbagai pilihan demi memetik hasil yang maksimal. Dengan keberhasilannya menggali sejumlah solusi atas problem kemiskinan, pemimpin masih dibebani untuk mempertimbangkan segala risiko dan konsekuensi. Apakah yang ia tempuh menambah daya vitalitas masyarakat, atau justru membelenggu mereka dalam bayang-bayang status quo. Evaluasi sangat penting guna menunjukkan kinerja yang memuaskan.
Keempat, melipatgandakan kesempatan. Di tengah-tengah kesibukannya, seorang pemimpin seyogyanya berusaha memperoleh “suplemen” penguat perekonomian rakyat. Selain itu, ia juga harus berjiwa besar. Dalam menghadapi realitas, seorang pemimpin tidak boleh lengah sedikit pun. Ia dituntut selalu siaga dan waspada, karena seringkali cobaan datang secara tiba-tiba.

Tipologi Pemimpin
Sebelum menentukan pilihan, masyarakat selayaknya meraba apakah calon pemimpin genap memiliki kualitas pengertian dan terhindar dari kualitas kepahlawanan. Hal ini dikarenakan, kualitas pengertian mendambakan ketulusan. Sebaliknya, kualitas yang disebut terakhir menuntut timbal-balik. Pemimpin yang baik adalah mereka yang bersikap tulus dan menjauhkan diri dari sebutan pahlawan.
Atas dasar itulah, masyarakat harus mampu membedakan tipologi pemimpin dari segi kualitasnya. Pertama, pahlawan yang pengertian. Pemimpin tipe ini sanggup menghadapi segala bentuk problematika masyarakat. Akan tetapi, yang tidak disukai darinya adalah prinsip bahwa tak ada yang gratis di dunia ini. Semua perilaku dan perbuatannya meniscayakan imbalan. Baginya, teori balas jasa menjadi prioritas utama.
Kedua, pahlawan yang tidak pengertian. Pemimpin macam ini ingin menyelesaikan permasalahan publik sebaik mungkin. Sayangnya, kinerjanya kurang menyentuh akar persoalan, sehingga dampak yang dirasakan berjangka sementara. Selain itu, ia juga tak ingin usahanya bertepuk sebelah tangan. Atensi, simpati, serta apresiasi dari berbagai pihak senantiasa ia dambakan.
Ketiga, tidak pengertian dan tidak berjiwa pahlawan. Dalam taraf tertentu, ia cukup dicintai oleh rakyatnya. Pekerjaannya tulus demi mengabdikan diri pada kepentingan publik. Pemimpin bertipologi seperti ini tidak berharap balasan. Ia berkuasa demi dan hanya untuk rakyat. Ia berpendirian bahwa pemimpin adalah pelayan rakyat. Akan tetapi, kerja kerasnya kurang diimbangi dengan hasil yang dicapai karena jauh dari sumber persoalan.
Keempat, pengertian dan tidak berjiwa pahlawan. Dalam realitasnya, pemimpin ini sangat jarang ditemukan. Selain mengabaikan imbalan, ia juga dibekali kemampuan untuk menggali inti permasalahan yang membelit masyarakat.
Dari keempat tipologi di atas, yang tersebut terakhir sangat dinantikan oleh rakyat. Mereka merindukan pemimpin berkualitas pengertian dan mengesampingkan kepahlawanan. Dalam faktanya, betapa pun hebat seorang pahlawan, identitas yang terlanjur disematkan kepadanya sulit dibuktikan ketika ia berhasil menduduki kursi kekuasaan. Oleh karena itu, tak selayaknya jabatan gubernur, bupati, dan walikota diserahkan kepada pahlawan instan tak berkualitas pengertian.

Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar