Komisi Pemilihan Umum
(KPU) menetapkan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak digelar pada 15
Februari 2017. Pilkada gelombang kedua ini akan diikuti oleh 101 daerah yang
terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota.
Saat pemilihan gubernur,
bupati, dan walikota semakin dekat, masyarakat dituntut lebih cermat. Mereka
harus mampu membedakan mana calon pemimpin yang bernafsu meraih popularitas
sesaat dan mana yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Dalam menjatuhkan
pilihan, mereka semestinya mengikuti rasionalitas. Menanggapi visi dan misi
yang diusung, masyarakat mesti berpikir logis. Apakah target yang dijanjikan
oleh calon pemimpin cukup realistis atau hanya isapan jempol belaka. Bagaimanapun,
target yang terlalu tinggi berpeluang gagal diwujudkan.
Beberapa pakar kepemimpinan
(leadership) berpandangan, kemunculan
pemimpin besar adalah akumulasi dari waktu, tempat, dan situasi sesaat. Mumford
(1909) menyatakan bahwa pemimpin lahir atas kemampuan dan keterampilan yang
memungkinkannya memecahkan masalah sosial dalam keadaan tertekan, perubahan,
dan adaptasi.
Kualitas Pengertian
Dalam “The 21
Indispensable Qualities of a Leader”, Maxwell (2000) menyebutkan, pemimpin
besar mempunyai 21 kualitas. Salah satunya pengertian, kemampuan seorang pemimpin untuk
menemukan akar persoalan berdasarkan intuisi serta nalar. Pengertian merupakan kualitas paling utama bagi pemimpin mana pun
yang ingin memaksimalkan efektivitas dan kredibilitasnya.
Kualitas ini dapat
membantu seorang pemimpin mengerjakan hal-hal penting. Pertama, menemukan akar persoalan. Pemimpin
besar selalu mengatasi kekacauan serta kerumitan yang ada. Dengan mengandalkan pengertian, ia mengumpulkan banyak informasi
guna memperoleh gambaran yang lengkap dan utuh tentang situasi sebenarnya.
Sebagai contoh, dari data yang terkumpul, ia melihat bahwa sumber rendahnya
produktivitas masyarakat adalah kemiskinan.
Kedua, meningkatkan kemampuan dalam mengatasi persoalan.
Setelah mengetahui serta mengantisipasi persoalan yang dihadapi, pemimpin harus
senantiasa mengasah potensinya. Ketika berhasil menekan angka kemiskinan, ia
tidak boleh berpuas diri. Sebab, belum tentu cara yang dipakai bisa diterapkan
pada keadaan yang lain. Menemukan beberapa “format” dapat membantunya dalam
menyelesaikan persoalan kemiskinan secara umum dan kontekstual. Situasi yang kerap
berubah menuntut seorang pemimpin mencari berbagai alternatif guna memecahkan
persoalan yang lebih variatif.
Ketiga, mengevaluasi berbagai pilihan demi memetik hasil
yang maksimal. Dengan keberhasilannya menggali sejumlah solusi atas
problem kemiskinan, pemimpin masih dibebani untuk mempertimbangkan segala risiko
dan konsekuensi. Apakah yang ia tempuh menambah daya vitalitas masyarakat, atau
justru membelenggu mereka dalam bayang-bayang status quo. Evaluasi
sangat penting guna menunjukkan kinerja yang memuaskan.
Keempat, melipatgandakan kesempatan. Di tengah-tengah
kesibukannya, seorang pemimpin seyogyanya berusaha memperoleh “suplemen”
penguat perekonomian rakyat. Selain itu, ia juga harus berjiwa besar. Dalam menghadapi realitas, seorang
pemimpin tidak boleh lengah sedikit pun. Ia
dituntut selalu siaga dan waspada, karena seringkali cobaan datang secara
tiba-tiba.
Tipologi Pemimpin
Sebelum menentukan
pilihan, masyarakat selayaknya meraba apakah calon pemimpin genap memiliki kualitas
pengertian dan terhindar dari kualitas
kepahlawanan. Hal ini dikarenakan, kualitas
pengertian mendambakan ketulusan.
Sebaliknya, kualitas yang disebut terakhir menuntut timbal-balik. Pemimpin yang
baik adalah mereka yang bersikap tulus dan menjauhkan diri dari sebutan pahlawan.
Atas dasar itulah,
masyarakat harus mampu membedakan tipologi pemimpin dari segi kualitasnya. Pertama,
pahlawan yang pengertian. Pemimpin
tipe ini sanggup menghadapi segala bentuk problematika masyarakat. Akan tetapi,
yang tidak disukai darinya adalah prinsip bahwa tak ada yang gratis di dunia
ini. Semua perilaku dan perbuatannya meniscayakan imbalan. Baginya, teori balas
jasa menjadi prioritas utama.
Kedua, pahlawan yang
tidak pengertian. Pemimpin macam ini ingin menyelesaikan
permasalahan publik sebaik mungkin. Sayangnya, kinerjanya kurang menyentuh akar
persoalan, sehingga dampak yang dirasakan berjangka sementara. Selain itu, ia
juga tak ingin usahanya bertepuk sebelah tangan. Atensi, simpati, serta
apresiasi dari berbagai pihak senantiasa ia dambakan.
Ketiga, tidak
pengertian dan tidak berjiwa pahlawan. Dalam taraf tertentu,
ia cukup dicintai oleh rakyatnya. Pekerjaannya tulus demi mengabdikan diri pada
kepentingan publik. Pemimpin bertipologi seperti ini tidak berharap balasan. Ia
berkuasa demi dan hanya untuk rakyat. Ia berpendirian bahwa pemimpin adalah
pelayan rakyat. Akan tetapi, kerja kerasnya kurang diimbangi dengan hasil yang dicapai
karena jauh dari sumber persoalan.
Keempat, pengertian dan
tidak berjiwa pahlawan. Dalam
realitasnya, pemimpin ini sangat jarang ditemukan. Selain mengabaikan
imbalan, ia juga dibekali kemampuan untuk menggali inti permasalahan yang membelit
masyarakat.
Dari keempat tipologi
di atas, yang tersebut terakhir sangat dinantikan oleh rakyat. Mereka merindukan
pemimpin berkualitas pengertian dan
mengesampingkan kepahlawanan. Dalam faktanya, betapa pun hebat seorang pahlawan,
identitas yang terlanjur disematkan kepadanya sulit dibuktikan ketika ia berhasil
menduduki kursi kekuasaan. Oleh karena itu, tak selayaknya jabatan gubernur,
bupati, dan walikota diserahkan kepada pahlawan instan tak berkualitas pengertian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar