Pembuatan Peraturan
Daerah (Perda) merupakan langkah awal dari agenda perencanaan suatu daerah. Kedudukannya
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sangatlah urgen. Di dalamnya memuat
peraturan dan ketentuan yang berkontribusi besar dalam menentukan masa depan
daerah.
Sayangnya, belum lama
ini sekitar 3.143 Perda dianggap bermasalah dan dibatalkan oleh Pemerintah
Pusat. Berdasarkan pendapat Pengamat Hukum Tata Negara dari Sinergi Masyarakat
Indonesia untuk Demokrasi (SIGMA), Iman Nasef, banyaknya Perda yang dibatalkan
menunjukan kegagalan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam melaksanakan fungsi executive
preview.
Padahal, UU Pemerintah
Daerah (Pemda) menyebutkan bahwa Mendagri dibekali kewenangan mengevaluasi
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). Kementerian ini dapat memeriksa terlebih
dahulu isi dan materi Raperda sebelum diloloskan.
Rata-rata Perda yang dianggap
bermasalah tersebut mengatur pajak, retribusi, dan aturan lain yang melemahkan
daya saing dan memperumit birokrasi bisnis. Dibanding sebelumnya, jumlah Perda belakangan
ini yang dibatalkan Pemerintah Pusat dinilai paling tinggi sejak era otonomi
daerah. Dari tahun 2002 hingga 2009, sebanyak 2.246 Perda dibatalkan. Pada 2010
hingga 2014, sebanyak 1.501 Perda dibatalkan. Adapun pada November 2015 hingga
Mei 2016, sebanyak 139 Perda telah dibatalkan.
Berbicara tentang
Perda, banyak hal menarik yang perlu disimak. Selain terjadi di tingkat
kementerian, belum maksimalnya pelaksanaan prosedur dan mekanisme pembuatan
Perda juga terjadi di beberapa daerah. Sejumlah Perda belum bisa berfungsi
sebagaimana mestinya, karena proses pembuatannya mengandung banyak permasalahan.
Sebelum Perda dikeluarkan, ada tahap-tahap yang semestinya ditempuh, namun
ternyata dilalui. Inilah yang disebut “Perda prematur”, sebab lahir sebelum
waktunya.
Munculnya Perda
bermasalah sebenarnya bukan hanya kesalahan Mendagri, Pemda dan DPRD semata.
Banyak faktor penyebab mengapa Perda dinyatakan bertentangan dengan aturan yang
lebih tinggi, antara lain kurangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan
masukan.
Penyusunan Prolegda
Tahap perencanaan
memegang peranan penting dalam proses pembentuk Perda. Tahap ini menentukan
Perda apa saja yang menjadi prioritas untuk dibahas. Tahap perencanaan ini
menghasilkan suatu produk yang disebut sebagai Program Legislasi Daerah
(Prolegda). Prolegda merupakan instrumen perencanaan program pembentukan
Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.
Penyusunan Prolegda mengacu
pada penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Secara operasional,
Prolegnas memuat daftar rancangan undang-undang (RUU) yang disusun berdasarkan
metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan
hukum nasional. Dalam tataran konkrit, sasaran politik hukum nasional mesti
mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM).
Mengutip R. Siti Zuhro,
dkk (2010: 28), ada prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam penyusunan Prolegda. Pertama, dilaksanakan secara berencana. Kedua, ditetapkan skala prioritas sesuai dengan perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat. Ketiga,
memuat program legislasi jangka panjang, menengah atau tahunan. Keempat, disusun secara terkoordinasi,
terarah dan terpadu oleh DPRD dan Pemda.
Empat Tingkat
Pembahasan Raperda
dilaksanakan dalam empat tingkat pembicaraan. Pada tingkat pertama, terkait dengan
Perda yang berasal dari lingkungan Pemda, Kepala Daerah memberikan penjelasan
terlebih dahulu tentang Raperda yang diusulkannya pada Sidang Paripurna DPRD.
Di sisi lain apabila Raperda yang dibahas berasal dari DPRD, Pimpinan
Komisi/Gabungan Komisi/Pimpinan Pansus yang memberikan usul prakarsa Raperda
memberikan penjelasan tentang Raperda tersebut kepada Kepala Daerah pada Sidang
Paripurna DPRD.
Pada pembicaraan
tingkat kedua, apabila Raperda yang dibahas berasal dari inisiatif Kepala
Daerah, agenda sidang adalah pemandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap
Raperda yang berasal dari Kepala Daerah dan jawaban Kepala Daerah terhadap
pemandangan umum fraksi-fraksi. Dalam hal Raperda atas usul DPRD, agenda sidang
adalah pendapat Kepala Daerah terhadap Raperda atas usul DPRD dan dilanjutkan
dengan jawaban dari fraksi-fraksi terhadap pendapat Kepala Daerah.
Selanjutnya,
pembicaraan tingkat tiga meliputi pembahasan dalam Rapat Komisi/Gabungan
Komisi/Rapat Pansus dilakukan bersama-sama dengan Kepala Daerah. Pembicaraan
terakhir, yaitu pembicaraan tingkat keempat, meliputi dua agenda, yaitu:
pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna yang didahului dengan laporan hasil
pembicaraan tingkat ketiga, pendapat akhir fraksi dan pengambilan keputusan
serta penyampaian sambutan Kepala Daerah terhadap pengambilan keputusan yang
disetujui DPRD.
Perda Aspiratif
Ke depan, jangan sampai
munculnya Perda bermasalah kembali terulang. Guna menghasilkan Perda yang
“bermutu”, tahap-tahap dalam prosedur penetapan Raperda harus ditempuh. Ini
menghindari adanya kerancuan dalam hal teknis. Dalam pembentukan Raperda, DPRD
seyogyanya membuka ruang publik selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk ikut
serta memberikan sumbangan pikiran.
Sebenarnya pembentukan
Perda yang baik harus berdasarkan pada asas keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses
pembuatan peraturan perundang-undangan.
Perda harus berangkat
dari permasalahan masyarakat. Atas dasar inilah, masyarakat harus lebih aktif dalam
memberikan masukan. Harapannya, Perda yang dilahirkan lebih aspiratif dan
partisipatif.
Selain itu, pengawasan
dari Mendagri harus ditingkatkan. Menkumham juga dituntut berperan dalam
menjaga agar muatan Perda lebih adil, konsisten, tidak diskriminatif, serta
memerhatikan hak asasi manusia (HAM).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar