Selasa, 07 Februari 2017

Kegagalan Menteri Dalam Negeri (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Jumat, 3 Februari 2017)


Pembuatan Peraturan Daerah (Perda) merupakan langkah awal dari agenda perencanaan suatu daerah. Kedudukannya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sangatlah urgen. Di dalamnya memuat peraturan dan ketentuan yang berkontribusi besar dalam menentukan masa depan daerah.
Sayangnya, belum lama ini sekitar 3.143 Perda dianggap bermasalah dan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan pendapat Pengamat Hukum Tata Negara dari Sinergi Masyarakat Indonesia untuk Demokrasi (SIGMA), Iman Nasef, banyaknya Perda yang dibatalkan menunjukan kegagalan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam melaksanakan fungsi executive preview.
Padahal, UU Pemerintah Daerah (Pemda) menyebutkan bahwa Mendagri dibekali kewenangan mengevaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). Kementerian ini dapat memeriksa terlebih dahulu isi dan materi Raperda sebelum diloloskan.
Rata-rata Perda yang dianggap bermasalah tersebut mengatur pajak, retribusi, dan aturan lain yang melemahkan daya saing dan memperumit birokrasi bisnis. Dibanding sebelumnya, jumlah Perda belakangan ini yang dibatalkan Pemerintah Pusat dinilai paling tinggi sejak era otonomi daerah. Dari tahun 2002 hingga 2009, sebanyak 2.246 Perda dibatalkan. Pada 2010 hingga 2014, sebanyak 1.501 Perda dibatalkan. Adapun pada November 2015 hingga Mei 2016, sebanyak 139 Perda telah dibatalkan.
Berbicara tentang Perda, banyak hal menarik yang perlu disimak. Selain terjadi di tingkat kementerian, belum maksimalnya pelaksanaan prosedur dan mekanisme pembuatan Perda juga terjadi di beberapa daerah. Sejumlah Perda belum bisa berfungsi sebagaimana mestinya, karena proses pembuatannya mengandung banyak permasalahan. Sebelum Perda dikeluarkan, ada tahap-tahap yang semestinya ditempuh, namun ternyata dilalui. Inilah yang disebut “Perda prematur”, sebab lahir sebelum waktunya.
Munculnya Perda bermasalah sebenarnya bukan hanya kesalahan Mendagri, Pemda dan DPRD semata. Banyak faktor penyebab mengapa Perda dinyatakan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, antara lain kurangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan.

Penyusunan Prolegda
Tahap perencanaan memegang peranan penting dalam proses pembentuk Perda. Tahap ini menentukan Perda apa saja yang menjadi prioritas untuk dibahas. Tahap perencanaan ini menghasilkan suatu produk yang disebut sebagai Program Legislasi Daerah (Prolegda). Prolegda merupakan instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.
Penyusunan Prolegda mengacu pada penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Secara operasional, Prolegnas memuat daftar rancangan undang-undang (RUU) yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional. Dalam tataran konkrit, sasaran politik hukum nasional mesti mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM).
Mengutip R. Siti Zuhro, dkk (2010: 28), ada prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam  penyusunan Prolegda. Pertama, dilaksanakan secara berencana. Kedua, ditetapkan skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Ketiga, memuat program legislasi jangka panjang, menengah atau tahunan. Keempat, disusun secara terkoordinasi, terarah dan terpadu oleh DPRD dan Pemda.

Empat Tingkat
Pembahasan Raperda dilaksanakan dalam empat tingkat pembicaraan. Pada tingkat pertama, terkait dengan Perda yang berasal dari lingkungan Pemda, Kepala Daerah memberikan penjelasan terlebih dahulu tentang Raperda yang diusulkannya pada Sidang Paripurna DPRD. Di sisi lain apabila Raperda yang dibahas berasal dari DPRD, Pimpinan Komisi/Gabungan Komisi/Pimpinan Pansus yang memberikan usul prakarsa Raperda memberikan penjelasan tentang Raperda tersebut kepada Kepala Daerah pada Sidang Paripurna DPRD.
Pada pembicaraan tingkat kedua, apabila Raperda yang dibahas berasal dari inisiatif Kepala Daerah, agenda sidang adalah pemandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari Kepala Daerah dan jawaban Kepala Daerah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi. Dalam hal Raperda atas usul DPRD, agenda sidang adalah pendapat Kepala Daerah terhadap Raperda atas usul DPRD dan dilanjutkan dengan jawaban dari fraksi-fraksi terhadap pendapat Kepala Daerah.
Selanjutnya, pembicaraan tingkat tiga meliputi pembahasan dalam Rapat Komisi/Gabungan Komisi/Rapat Pansus dilakukan bersama-sama dengan Kepala Daerah. Pembicaraan terakhir, yaitu pembicaraan tingkat keempat, meliputi dua agenda, yaitu: pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna yang didahului dengan laporan hasil pembicaraan tingkat ketiga, pendapat akhir fraksi dan pengambilan keputusan serta penyampaian sambutan Kepala Daerah terhadap pengambilan keputusan yang disetujui DPRD.

Perda Aspiratif
Ke depan, jangan sampai munculnya Perda bermasalah kembali terulang. Guna menghasilkan Perda yang “bermutu”, tahap-tahap dalam prosedur penetapan Raperda harus ditempuh. Ini menghindari adanya kerancuan dalam hal teknis. Dalam pembentukan Raperda, DPRD seyogyanya membuka ruang publik selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk ikut serta memberikan sumbangan pikiran.
Sebenarnya pembentukan Perda yang baik harus berdasarkan pada asas keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Perda harus berangkat dari permasalahan masyarakat. Atas dasar inilah, masyarakat harus lebih aktif dalam memberikan masukan. Harapannya, Perda yang dilahirkan lebih aspiratif dan partisipatif.
Selain itu, pengawasan dari Mendagri harus ditingkatkan. Menkumham juga dituntut berperan dalam menjaga agar muatan Perda lebih adil, konsisten, tidak diskriminatif, serta memerhatikan hak asasi manusia (HAM).

Bojonegoro, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar