Rabu, 15 Februari 2017

Makam Tan Malaka dan Kesadaran Historis (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di "Indonesiana Tempo" edisi Selasa, 14 Februari 2017)



Berdasarkan pemberitaan Koran Tempo pada 23 Januari 2017, penolakan atas pemindahan makam Tan Malaka oleh warga Kabupaten Kediri kian menguat. Sikap ini diambil setelah Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, bermaksud memboyong makam pahlawan nasional tersebut ke tanah kelahirannya.
Apalagi, Pemerintah Kabupaten Kediri tengah memperbaiki makam Tan Malaka di lereng Gunung Wilis. Baru-baru ini, disediakan sebuah anak tangga berbahan semen guna memudahkan peziarah saat berkunjung ke makam yang berada di Desa Selopanggung tersebut. Pembangunan anak tangga ini menggantikan jalan setapak yang terjal dan licin yang menghubungkan jalan desa dengan makam.
Sambutan hangat, atensi, dan simpati ditunjukkan Warga Desa Selopanggung atas kegiatan renovasi. Bahkan, sebagai bentuk keseriusan merawat makam Tan Malaka, mereka berencana memperbaiki jalan desa yang masih becek bercampur tanah liat. Karena makamnya bersanding dengan punden pendiri desa sejak puluhan tahun silam, muncul kesadaran bahwa salah satu pencetus Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) tersebut merupakan leluhur desa.

Pahlawan Semi-Mitologis
Sikap Warga Desa Selopanggung menunjukkan bahwa Tan Malaka diyakini sebagai pahlawan semi-mitologis. Pahlawan ini selalu tersimpan di lubuk hati masyarakat dan tak pernah tergantikan. Menurut Mark R. Woodward (2008: 12), tokoh-tokoh utama dalam agama peribadatan Jawa adalah para raja dan pahlawan-pahlawan semi-mitologis masa silam. Kebanyakan ruh penjaga desa diyakini merupakan jiwa para raja, pangeran, dan wali-wali lokal.
Boleh jadi, sosok ini menggantikan tuan-tuan feodal sebagai fokus identitas desa tradisional. Pada era kerajaan dan pra-kolonial, masyarakat Jawa memandang prestise sosial melekat pada golongan feodal. Lantaran mewarisi gelar bangsawan atau menguasai tanah yang luas, mereka dianggap berstatus sosial tinggi dan layak dihormati. Faktor keturunan (gen) dan kepemilikan dijadikan sebagai dasar pembeda posisi sosial setiap orang di desa. Saat stratifikasi masyarakat Jawa yang cenderung feodalistis tidak lagi relevan, muncul sosok semi-mitologis ke permukaan.
Pemeliharaan makam Tan Malaka adalah wujud penghormatan dan pengabdian diri masyarakat kepada revolusioner yang gugur di Desa Selopanggung tersebut. Ia genap dikukuhkan sebagai bagian dari leluhur, nenek moyang, atau bahkan danyang (pendiri desa) yang dipercaya mengawasi sekaligus melindungi seluruh masyarakat yang bermukim di desa. Berdasarkan pendapat Soetarman Soediman Partonadi (2001: 14), komunitas desa tradisional kerap memunculkan mitos atau legenda yang mengisahkan sejarah para pendiri desa. Mereka adalah anggota keluarga kerajaan kuno yang genap meninggalkan kerajaan demi berkelana sebagai ksatria atau pertapa dan selanjutnya menetap di desa.

Wisata Sejarah
Melihat perhatian besar yang ditampilkan warga Desa Selopanggung atas kelestarian makam Tan Malaka, semestinya pemerintah desa segera merespons dengan meresmikannya sebagai kawasan wisata sejarah. Apalagi, sejak lokasi peristirahatan terakhir pejuang kemerdekaan tersebut dibuka untuk publik, sejumlah peziarah dari berbagai penjuru mulai berdatangan. Dalam konteks inilah, pemerintah desa berperan meneguhkan makam selaku lokus yang mengekalkan sumbangsih penggagas fondasi kebangsaan.
Barangkali, secara arsitektural, bangunan makam seseorang yang bernama lengkap Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka tersebut kurang istimewa. Akan tetapi, ia menjadi  “tinta emas” yang mengabadikan riwayat panjang perjalanan bangsa. Dalam taraf tertentu, makam pahlawan merupakan simbol kebudayaan, sendi peradaban, serta lambang kebesaran negeri ini di hadapan dunia internasional. Ia merekam jejak nasionalis dan patriotis sejati dalam upaya mengusir kaum penjajah. Makam pahlawan juga berkontribusi dalam perkembangan sejarah dan ilmu pengetahuan. Dari makam inilah, puing-puing peradaban nenek moyang bisa ditelusuri.
Bagi orang desa, makam pahlawan menjadi medium transformasi nilai-nilai luhur sekaligus penguat komunikasi dan interaksi sosial. Tradisi nyekar yang digelar di makam pahlawan dapat mempererat ikatan emosional warga desa, sehingga dalam perjalanannya, semua lapisan masyarakat mempunyai pola pikir historis (berkesadaran sejarah). Bagaimanapun, suksesnya penyelenggaraan pemerintahan desa tidak hanya diukur dari sejauh mana perangkat desa menjalankan tugas administratif serta memberikan pelayanan kepada masyarakat secara maksimal, melainkan juga prakarsanya dalam mengintrodusir nilai dan etos sejarah.
Menjadikan makam Tan Malaka sebagai kawasan wisata sejarah merupakan langkah strategis dalam memperluas cakrawala pengetahuan generasi muda tentang jasa para pahlawan. Upaya ini penting dilakukan demi menghindarkan mereka dari penyakit “buta sejarah”, di mana sejarah diandaikan sekadar bagian dari masa lalu (a thing of the past) yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan saat ini. Kawula muda seolah tidak membutuhkan “pengetahuan usang” yang menampung beragam kenangan dan romantisme masa silam. Akhirnya, sejarah hanya berada dalam domain peneliti, akademisi, dan sejarawan. Para mahasiswa bersedia mengorek sejarah saat mengerjakan tugas perkuliahan. Setelah kewajiban tersebut berhasil dirampungkan, mereka kembali meninggalkan dan mencampakkannya.
Padahal, dengan “melek sejarah”, niscaya karakter kebangsaan dalam diri warga negara mudah terbentuk. Dengan demikian, peluang ditegakkannya tiang negara-bangsa (nation-state) semakin terbuka lebar. Sebuah bangsa yang besar, mengutip Endang Suryadinata (2013), senantiasa mencurahkan apresiasi terhadap warisan sejarahnya. Kesadaran sejarah bangsa terbentuk dari ruang dan waktu, di mana pemahaman hakiki mengenai masa lalu berperan membangun titian masa depan.

Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar