Rabu, 01 Maret 2017

Buah Muslihat Lohas (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Radar Lampung" edisi Minggu, 26 Februari 2017)



Baju perang yang dibawa Heto sungguh indah. Belum pernah seorang pun lulus mengenakannya. Pasukan Dunsa terkesima mengendus serpihan cahaya yang bertaburan. Rona yang dihasilkan berkilauan, hingga semua orang ingin berlama-lama memandangnya. Ada kedamaian di dalamnya. Pun ada kewibawaan disimpannya.
Begitu pula Cerhula, yang antusias memasang indra pirsa guna menadah keelokannya. Selama puluhan tahun, sang kakek melempar urita. Urita yang ringan ditangkap indra telinga, namun sukar dipungut nalarnya. Siapa duga, kini, baju agung tersebut teronggok di depannya dan ia berniat mencoba. “Barang siapa sanggup memakai baju ini, sesaat saja, ialah ksatria paling perkasa di daratan Humma.” Demikian pesan Gumon, pemuka dari Furka.
Heto begitu yakin dengan putra angkatnya itu. Kata Dores, penampilan Cerhula dalam berbagai laga menunjukkan bahwa ia ksatria tangguh. Panahnya sanggup menembus iga manusia paling keras sekalipun. Tinjunya kerap membuat lawan muntah darah lantas jatuh-lumpuh. Suaranya yang parau mengantarkan seterunya gemetaran atau memilih kabur tunggang-langgang. Bukan hanya itu, lelaki tampan bertudung sutra itu juga mempunyai sepasang sayap lembut yang melingkar di lengan.
Ini kali, Heto urung meleset. Entah berapa ratus ksatria yang hendak dianugerahi seragam kebesaran itu. Sayang, belum sempat menyentuh, tangan mereka sudah melepuh.
Bermodal dorongan luar biasa dari Mohes dan Suramo, dua saudara kembarnya, Cerhula menempelkan mira di kulitnya. Di luar purbasangka, tubuhnya begitu bersahabat dengan baju kebesaran tersebut. Mata Tami, ibunya, berkaca-kaca dan tak henti-hentinya giginya melukis gembira. Dadanya melebar hingga dua jengkal. Dengan apa yang disaksikan oleh segenap pasukan Dunsa itu, putranya telah turut serta melambungkan kehormatan keluarga.
“Pasti ayahmu di surga bangga denganmu, Cerhula.” Batinnya mendesis.
***
Mengetahui Cerhula berhasil menaklukkan mira, Gondares menghadiahkan kuda terhebat yang ia punya.  Melalui mapala—sejenis surat tugas—, ia menitahkan Kombes untuk lekas mengirimkannya pada Cerhula. Selaku panglima perang, Gondares tampak berbangga ketika memetik kabar menggembirakan tersebut. Sebenarnya, kurang rela ia berpisah dengan Jaine. Namun, menghargai seorang ksatria tangguh jauh diutamakan daripada sekadar memelihara tunggangan yang digunakan meluluhlantakkan pasukan Gebra sekian tahun silam.
Semisal Cerhula, si kuda juga bersayap. Namun jumlahnya lebih banyak; Empat. Dua di atas paha kaki depan. Dua lagi mendekati ekor. Berwarna putih mengkilat. Saban ujungnya tersepuh biji perak. Jika penunggang merasa kehausan, peluh kuda layak ditenggak berulang-ulang, tanpa harus mengeluh kekeringan. Ditambah lagi dengan sisipan khasisat: mengusir letih sampai dua-tiga bulan.
***
Cerhula sama sekali tak menyadari bahwa binatang yang ditunggangi bukanlah Jaine. Awalnya, ia merasa baik-baik saja, seolah tak terjadi apa-apa. Empat sayap yang menempel di tubuh kuda itu sungguh memesona. Celaka, saat diperintah mengepakkan sayap, ternyata si kuda malah meringkuk sambil meringkik. Sayap itu palsu! Demikian gumam Cerhula dengan mata membelalak sempurna.
Sebongkah tawa meledak riuh. “Keperkasaan mesti dihadapi dengan kecurangan.” Semboyan Lohas, si jago curang. “asal kau tahu. Aku telah menukar Jaine dengan Bahul; Kuda termalas dan terdungu dari Pubire.”
Tiada manusia selihai Lohas. Tiada rival selicik jantan pengumpul kuda bertuah itu. Kelihaian yang ia miliki seimbang dengan kelicikannya. Torrun menyebutnya tua bangka yang cerdik. Saking cerdiknya, otak busuknya mafhum, bahwa—di selembar pagi—, Gondares bermaksud memberikan Jaine kepada Cerhula. Malamnya, kuda berpenyakit kusta dan berkelamin ganda ia kirim ke kandang Jaine. Sedang Jaine diselundupkan pada kendi mungil yang menimbun kuda-kuda sakti dari berbagai loka. Dalam benaknya, ia bergumam: “Bila sanggup menahan kedua puluh kuda ini sebulan saja, aku bakal menjelma manusia kuat melebihi seratus ksatria. Dan jika mereka kupasung selama setahun, maka aku akan menjadi makhluk paling perkasa di jagat raya”.
Melayani amarah Cerhula, Lohas enggan turun tangan. Ia membuka tutup kendi secara perlahan; Mengeluarkan seluruh kuda sakti dari dalam, terkecuali Jaine; Binatang buruan yang baru saja ia dapatkan. “Tentu, Jaine belum sejinak piaraan-piaraan yang sudah kurawat lebih lama.” Pikirnya.
Musuh Cerhula berjumlah sembilan belas. Baru ini kali, Cerhula dipaksa beradu kening dengan kuda. Ya, kuda. Binatang miskin pusar dan fakir otak itu! Padahal semua orang maklum, bahwa ia paling rentan terhadap kuda. Rasa sayangnya kepada kuda memang berlebihan (sejak kecil, ia diajari ibunya untuk menyayangi semua satwa). Menghabisi hidup kuda sama saja melenyapkan nyawa sendiri. Bingung dan gelisah. Sungguh, relung jiwanya terbelit antara pilihan-pilihan menyakitkan.
Sepemakan sirih kemudian, mulut Lohas berkomat-kamit menghembuskan kata-kata asing bagi telinga. Dua hari yang lalu, Forgus—penyihir dari Kohan—menularkan beraneka mantra dengan macam-macam kegunaannya.
Atas instruksi Lohas, sembilan belas kuda membentuk lingkaran. Lidah mereka menjulur-julur layaknya binatang buas bersigap melalap mangsa. Cerhula gelagapan. Sebenarnya, jika sayapnya di kibaskan seper sekian detik saja, maka binatang-binatang itu akan lari ketakutan. Namun, Cerhula tetaplah Cerhula. Bertarung dengan kuda merupakan tindakan bodoh yang segan ditunaikan ksatria seperti dirinya.
Memergoki kepasrahan Cerhula, Lohas mendengus lirih.
“Matilah kau, Ksatria!”
***
Dengan firasatnya, Gondares mampu mencium di mana keberadaan Jaine. Ya, Boma. Di sana pula Cerhula dikepung sembilan belas kuda liar yang siap melumatnya.
Ia melesat segesit kilat. Sesampai di kota gersang itu, Gondares berteriak, hingga membangunkan lelap udara. “Keluarlah, wahai Jaine!”
Jaine adalah kuda yang patuh. Kepatuhan itulah yang memaksa agar ia terbebas dari cengkraman Lohas. Dengan sisa-sisa kekuatan, ia kepakkan sayap tujuh kali, hingga mampu meloloskan diri dari kendi Lohas.
Cerhula menyungging senang. Perpisahan selama sepekan dengan kuda hebatnya itu membuat ia menahan rindu yang mendalam. Pun dengan Jaine.
“Tolonglah majikanmu yang baru, Jaine!” Seloroh Gondares.
Dengan cekatan, moncong Jaine menyemburkan api raksasa dari delapan arah mata angin. Api yang bukan merah, hijau, atau kuning. Api yang saking panasnya hingga berwarna hitam legam. Sehitam hati Lohas.
Sembilan belas kuda itu tergeletak lemas. Daging dan tulang mereka melecur. Kulit serta bulu mereka terpanggang. Mereka mati mengenaskan. Sungguh, mereka cuma kuda dengan kadar kekuatan di bawah Jaine.
Lohas terjepit. Selain kelicikan, ia tak lagi mengantongi apa-apa. Tapi, dasar Lohas! Dalam situasi sesempit apa pun ia masih berkilah. Benar. Menggelar sandiwara di hadapan Cerhula, Gondares, juga Jaine. Itulah yang ia lakukan.
“Maaf, Ksatria dari negeri Dunsa.” Lohas mulai menebar tipu daya. “Ini… Ini semua salah sangka. Kita harus mengakhiri pertempuran ini. Mengumpulkan dua puluh kuda sakti adalah salah satu usahaku supaya ayahmu hidup kembali. Aku adalah adik dari ayahmu, Cerhula. Adik dari lain ibu. Inilah yang selama ini belum sempat diceritakan oleh keluargamu. Ibuku, Hermi, adalah wanita serakah. Itulah mengapa ibumu beserta ke delapan saudaranya urung mengakuinya.”
Dahi Cerhula menerbitkan gelombang-gelombang kecil. Tatapan kosong menyembul dari lubang netranya. Antara percaya dan tidak, ia melempar kesempatan bagi Lohas untuk melanjutkan buah tuturnya.
“Dengar, Keponakanku. Dengar! Selaku paman, tugasku menyampaikan kebenaran ini kepadamu. Kepercayaan atau keingkaranmu bukanlah tujuanku. Barangkali kau bertanya, kenapa sembilan belas kuda kuperintahkan menyerangmu. Kau tahu, Cerhula? Aku dibelit kekhawatiran. Kekhawatiran jika kendi ini kau hancurkan guna menyelamatkan Jaine. Perlu kau pahami, Cerhula. Kehancuran kendi ini, berarti kebebasan buat mereka. Mereka bisa dikurung dengan kucuran mantra, asal kendi ini utuh. Apabila kendi ini retak, maka gugurlah harapan kita untuk menghidupkan kembali Jolus, ayahmu.”
Layaknya prajurit menyimak petuah tetua, Gondares pun terkecoh dengan lidah Lohas.
Sedang Jaine, ia hanyalah binatang yang bebal akan logika manusia. Tugasnya mengindahkan instruksi. Itu saja.
“Jangan bimbang, Cerhula. Alangkah baiknya jika segera kau suruh Jaine menghidupkan ke sembilan belas kuda itu.Lalu kita bersama pergi ke Hades, tanah yang menyembunyikan mayat ayahmu.”
Cerhula dan Gondares bertukar pandang. Lalu keduanya……

Yogyakarta, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar