Baju perang yang dibawa
Heto sungguh indah. Belum pernah seorang pun lulus mengenakannya. Pasukan Dunsa
terkesima mengendus serpihan cahaya yang bertaburan. Rona yang dihasilkan berkilauan,
hingga semua orang ingin berlama-lama memandangnya. Ada kedamaian di dalamnya.
Pun ada kewibawaan disimpannya.
Begitu pula Cerhula,
yang antusias memasang indra pirsa guna menadah keelokannya. Selama puluhan
tahun, sang kakek melempar urita. Urita yang ringan ditangkap indra telinga,
namun sukar dipungut nalarnya. Siapa duga, kini, baju agung tersebut teronggok
di depannya dan ia berniat mencoba. “Barang siapa sanggup memakai baju ini, sesaat
saja, ialah ksatria paling perkasa di daratan Humma.” Demikian pesan Gumon, pemuka
dari Furka.
Heto begitu yakin
dengan putra angkatnya itu. Kata Dores, penampilan Cerhula dalam berbagai laga
menunjukkan bahwa ia ksatria tangguh. Panahnya sanggup menembus iga manusia
paling keras sekalipun. Tinjunya kerap membuat lawan muntah darah lantas jatuh-lumpuh.
Suaranya yang parau mengantarkan seterunya gemetaran atau memilih kabur
tunggang-langgang. Bukan hanya itu, lelaki tampan bertudung sutra itu juga
mempunyai sepasang sayap lembut yang melingkar di lengan.
Ini kali, Heto urung
meleset. Entah berapa ratus ksatria yang hendak dianugerahi seragam kebesaran
itu. Sayang, belum sempat menyentuh, tangan mereka sudah melepuh.
Bermodal dorongan luar
biasa dari Mohes dan Suramo, dua saudara kembarnya, Cerhula menempelkan mira di kulitnya. Di luar purbasangka,
tubuhnya begitu bersahabat dengan baju kebesaran tersebut. Mata Tami, ibunya,
berkaca-kaca dan tak henti-hentinya giginya melukis gembira. Dadanya melebar
hingga dua jengkal. Dengan apa yang disaksikan oleh segenap pasukan Dunsa itu,
putranya telah turut serta melambungkan kehormatan keluarga.
“Pasti ayahmu di surga
bangga denganmu, Cerhula.” Batinnya mendesis.
***
Mengetahui Cerhula
berhasil menaklukkan mira, Gondares
menghadiahkan kuda terhebat yang ia punya. Melalui mapala—sejenis
surat tugas—, ia menitahkan Kombes untuk lekas mengirimkannya pada Cerhula. Selaku
panglima perang, Gondares tampak berbangga ketika memetik kabar menggembirakan tersebut.
Sebenarnya, kurang rela ia berpisah dengan Jaine. Namun, menghargai seorang
ksatria tangguh jauh diutamakan daripada sekadar memelihara tunggangan yang
digunakan meluluhlantakkan pasukan Gebra sekian tahun silam.
Semisal Cerhula, si
kuda juga bersayap. Namun jumlahnya lebih banyak; Empat. Dua di atas paha kaki
depan. Dua lagi mendekati ekor. Berwarna putih mengkilat. Saban ujungnya
tersepuh biji perak. Jika penunggang merasa kehausan, peluh kuda layak
ditenggak berulang-ulang, tanpa harus mengeluh kekeringan. Ditambah lagi dengan
sisipan khasisat: mengusir letih sampai dua-tiga bulan.
***
Cerhula sama sekali tak
menyadari bahwa binatang yang ditunggangi bukanlah Jaine. Awalnya, ia merasa
baik-baik saja, seolah tak terjadi apa-apa. Empat sayap yang menempel di tubuh
kuda itu sungguh memesona. Celaka, saat diperintah mengepakkan sayap, ternyata
si kuda malah meringkuk sambil meringkik. Sayap itu palsu! Demikian gumam
Cerhula dengan mata membelalak sempurna.
Sebongkah tawa meledak riuh.
“Keperkasaan mesti dihadapi dengan kecurangan.” Semboyan Lohas, si jago curang.
“asal kau tahu. Aku telah menukar Jaine dengan Bahul; Kuda termalas dan terdungu
dari Pubire.”
Tiada manusia selihai Lohas.
Tiada rival selicik jantan pengumpul kuda bertuah itu. Kelihaian yang ia miliki
seimbang dengan kelicikannya. Torrun menyebutnya tua bangka yang cerdik. Saking
cerdiknya, otak busuknya mafhum, bahwa—di selembar pagi—, Gondares bermaksud
memberikan Jaine kepada Cerhula. Malamnya, kuda berpenyakit kusta dan
berkelamin ganda ia kirim ke kandang Jaine. Sedang Jaine diselundupkan pada kendi
mungil yang menimbun kuda-kuda sakti dari berbagai loka. Dalam benaknya, ia
bergumam: “Bila sanggup menahan kedua puluh kuda ini sebulan saja, aku bakal
menjelma manusia kuat melebihi seratus ksatria. Dan jika mereka kupasung selama
setahun, maka aku akan menjadi makhluk paling perkasa di jagat raya”.
Melayani amarah Cerhula,
Lohas enggan turun tangan. Ia membuka tutup kendi secara perlahan; Mengeluarkan
seluruh kuda sakti dari dalam, terkecuali Jaine; Binatang buruan yang baru saja
ia dapatkan. “Tentu, Jaine belum sejinak piaraan-piaraan yang sudah kurawat
lebih lama.” Pikirnya.
Musuh Cerhula berjumlah
sembilan belas. Baru ini kali, Cerhula dipaksa beradu kening dengan kuda. Ya,
kuda. Binatang miskin pusar dan fakir otak itu! Padahal semua orang maklum,
bahwa ia paling rentan terhadap kuda. Rasa sayangnya kepada kuda memang berlebihan
(sejak kecil, ia diajari ibunya untuk menyayangi semua satwa). Menghabisi hidup
kuda sama saja melenyapkan nyawa sendiri. Bingung dan gelisah. Sungguh, relung jiwanya
terbelit antara pilihan-pilihan menyakitkan.
Sepemakan sirih
kemudian, mulut Lohas berkomat-kamit menghembuskan kata-kata asing bagi telinga.
Dua hari yang lalu, Forgus—penyihir dari Kohan—menularkan beraneka mantra dengan
macam-macam kegunaannya.
Atas instruksi Lohas, sembilan
belas kuda membentuk lingkaran. Lidah mereka menjulur-julur layaknya binatang
buas bersigap melalap mangsa. Cerhula gelagapan. Sebenarnya, jika sayapnya di kibaskan
seper sekian detik saja, maka binatang-binatang itu akan lari ketakutan. Namun,
Cerhula tetaplah Cerhula. Bertarung dengan kuda merupakan tindakan bodoh yang segan
ditunaikan ksatria seperti dirinya.
Memergoki kepasrahan
Cerhula, Lohas mendengus lirih.
“Matilah kau, Ksatria!”
***
Dengan firasatnya, Gondares
mampu mencium di mana keberadaan Jaine. Ya, Boma. Di sana pula Cerhula dikepung
sembilan belas kuda liar yang siap melumatnya.
Ia melesat segesit
kilat. Sesampai di kota gersang itu, Gondares berteriak, hingga membangunkan
lelap udara. “Keluarlah, wahai Jaine!”
Jaine adalah kuda yang
patuh. Kepatuhan itulah yang memaksa agar ia terbebas dari cengkraman Lohas. Dengan
sisa-sisa kekuatan, ia kepakkan sayap tujuh kali, hingga mampu meloloskan diri
dari kendi Lohas.
Cerhula menyungging
senang. Perpisahan selama sepekan dengan kuda hebatnya itu membuat ia menahan
rindu yang mendalam. Pun dengan Jaine.
“Tolonglah majikanmu
yang baru, Jaine!” Seloroh Gondares.
Dengan cekatan, moncong
Jaine menyemburkan api raksasa dari delapan arah mata angin. Api yang bukan
merah, hijau, atau kuning. Api yang saking panasnya hingga berwarna hitam legam.
Sehitam hati Lohas.
Sembilan belas kuda itu
tergeletak lemas. Daging dan tulang mereka melecur. Kulit serta bulu mereka terpanggang.
Mereka mati mengenaskan. Sungguh, mereka cuma kuda dengan kadar kekuatan di
bawah Jaine.
Lohas terjepit. Selain
kelicikan, ia tak lagi mengantongi apa-apa. Tapi, dasar Lohas! Dalam situasi sesempit
apa pun ia masih berkilah. Benar. Menggelar sandiwara di hadapan Cerhula, Gondares,
juga Jaine. Itulah yang ia lakukan.
“Maaf, Ksatria dari
negeri Dunsa.” Lohas mulai menebar tipu daya. “Ini… Ini semua salah sangka. Kita
harus mengakhiri pertempuran ini. Mengumpulkan dua puluh kuda sakti adalah
salah satu usahaku supaya ayahmu hidup kembali. Aku adalah adik dari ayahmu,
Cerhula. Adik dari lain ibu. Inilah yang selama ini belum sempat diceritakan
oleh keluargamu. Ibuku, Hermi, adalah wanita serakah. Itulah mengapa ibumu
beserta ke delapan saudaranya urung mengakuinya.”
Dahi Cerhula menerbitkan
gelombang-gelombang kecil. Tatapan kosong menyembul dari lubang netranya. Antara
percaya dan tidak, ia melempar kesempatan bagi Lohas untuk melanjutkan buah
tuturnya.
“Dengar, Keponakanku. Dengar!
Selaku paman, tugasku menyampaikan kebenaran ini kepadamu. Kepercayaan atau keingkaranmu
bukanlah tujuanku. Barangkali kau bertanya, kenapa sembilan belas kuda
kuperintahkan menyerangmu. Kau tahu, Cerhula? Aku dibelit kekhawatiran. Kekhawatiran
jika kendi ini kau hancurkan guna menyelamatkan Jaine. Perlu kau pahami,
Cerhula. Kehancuran kendi ini, berarti kebebasan buat mereka. Mereka bisa
dikurung dengan kucuran mantra, asal kendi ini utuh. Apabila kendi ini retak,
maka gugurlah harapan kita untuk menghidupkan kembali Jolus, ayahmu.”
Layaknya prajurit menyimak
petuah tetua, Gondares pun terkecoh dengan lidah Lohas.
Sedang Jaine, ia
hanyalah binatang yang bebal akan logika manusia. Tugasnya mengindahkan instruksi.
Itu saja.
“Jangan bimbang,
Cerhula. Alangkah baiknya jika segera kau suruh Jaine menghidupkan ke sembilan belas
kuda itu.Lalu kita bersama pergi ke Hades, tanah yang menyembunyikan mayat
ayahmu.”
Cerhula dan Gondares
bertukar pandang. Lalu keduanya……
Yogyakarta, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar