Ini kali para mustamik
akan kami suguhi sepenggal hikayat dua orang cacat netra; sama-sama buta. Ah,
bukan. Tepatnya yang satu benar-benar buta. Yang lain pura-pura buta. Ialah Pak
Karmiji, seseorang yang selusin tahun silam kehilangan mata gara-gara dicongkel
adiknya ketika teler. Juga Pak Sadik, bujang lapuk yang tak pernah mencium bau
sekolah, pengangguran, dan suka membikin sesetel indra penglihatannya
seolah-olah buta.
Guna merengkuh efek
cerita, orang pertama kami sebut Si Buta, sedang orang kedua kami panggil Si
Pura-pura Buta.
Bukan segelintir
kebetulan jika pilihan jatuh pada kisah, yang sebetulnya sudah mangkrak berbulan-bulan
dan nyaris jamuran. Berdasar banyak pertimbangan, cerita ini akhirnya kami sajikan.
Tentu dengan harapan lekas memberikan pencerahan atau sesuap hiburan bagi
manusia yang bernafas di jaman serba runyam. Jaman yang mesra dengan dusta,
kelicikan, serta kemunafikan. Jaman yang bisa jadi pas dan tepat digambarkan dengan
tema yang kami angkat.
Aih, aih, aih. Mohon
maaf, sekiranya hadirin keberatan dengan pernyataan kami, sehingga menerka
bahwa apa yang menyembul dari katup mulut kami hanyalah sebutir alibi, apologi
atau bahkan promosi. Mengingat bahwa Grup Pencerita ini tergolong masih hijau.
Hijau yang meski berarti amatiran, akan tetapi senantiasa meniupkan ruh kesuburan
bagi kehidupan yang kian gersang dan penuh kerontang.
Kurang pantas apabila
kami memperpanjang kalam. Langsung saja. Mewakili Grup Pencerita, kami ucapkan:
Selamat menikmati!
***
Selembar pagi yang
usang, Si Buta keluar rumah dengan membagul beberapa biji sapu. Seperti biasa, hendak
ia tawarkan perkakas-perkakas kebersihan itu kepada sesiapa yang membutuhkan. Sungguhpun
disergap keterbatasan, tetap ia berteguh usaha demi melacak nafkah buat bini
dan empat anaknya. Berbekal bimbingan tongkat, ia mengayunkan langkah; berharap
keberuntungan berpihak pada nasibnya.
Itu hari Si Buta berangkat
lebih awal; sebelum embun melesat ke angkasa dan surya kelihatan tanduknya. Bersandar
pada pesan Mbok Mirah, sang bunda, ia berkeyakinan bahwa bekerja pagi buta
ringan mendatangkan rejeki. Ia begitu percaya dengan kemampuannya, walau kerap
para tetangga serta kerabat lebih memercayai kelemahannya.
“Sapu. Sapu. Sapu.
Sapu, Mbak?”
Ucapan itulah yang ia teriakkan
tiap melewati perkampungan. Sebab tak mengerti situasi sekitar, sering ia merapal
mantra pengundang pembeli itu secara lantang. Padahal di sekelilingnya sedang sepi
orang. Apa yang terjadi kemudian? Hal tersebut rupanya mengantar orang-orang menaruh
iba. Namun, celakanya, lebih banyak lagi yang justru tertawa, menikmati
ulahnya. Tak heran, ketika rehat di kolong pohon beringin besar dekat kediaman
Pak Sugiya, anak-anak kecil yang pulang dari sekolah iseng mengerjainya.
***
Si Pura-pura Buta tertatih-tatih
karena kejaran anjing. Nafasnya ngos-ngosan. Dadanya berdentum tidak beraturan.
Raut mukanya acak-acakan. Mulutnya mengatup-menganga, tanda ia kehabisan
tenaga. Terpaksa ia berlari sekencang mungkin, layaknya orang yang sehat mata. Enyah
dengan kondisi selingkarnya. Barangkali orang-orang yang melihat aksinya—yang
mirip adegan Jackie Chan saat shooting
di film laga—berkecek dingin, “kalau lagi buntung, matanya bisa kembali pulih.
Dasar wong edan!”
“Asu! Masa binatang bodoh itu tahu kalau aku
buta bohong-bohongan.”
Meneruskan perjalanan,
ia mengumpat habis-habisan sambil melanting kutukan agar anjing yang mengubernya
masuk neraka lebih dini, mengungguli kaum penggandrung korupsi. Kendati gemar
mengganyang uang negara, menurutnya, koruptor tidak pernah menyusahkannya.
Apalagi membuatnya terengah-engah, hampir meregang nyawa. Berbeda halnya dengan
Doberman Pinschers. Menggonggong lantam, satwa yang termasuk anjing paling
galak di dunia itu mengancam keamanan raga, jiwa, serta martabatnya. Ia
berjanji, tidak akan pernah lagi melintasi rumah Michael, bule Australia yang jangkap
bertahun-tahun tinggal di Indonesia.
Setiba di depan sebuah mall,
wajahnya memelas. Langkahnya tergagap, mengekor arahan tongkat. Berbaju
compang-camping dengan celana jebol belakang nyatanya sanggup menyulut
perhatian.
“Berhasil”. Hatinya
memekik riang.
Di hadapan seseorang berjas
abu-abu yang baru turun dari mobil Aston Martin One-77, Si Pura-pura Buta menjulurkan
tangan; berhajat menjemput belas kasihan. Insting pengemisnya mampu membedakan
mana makhluk bertampang kaya, mana pula makhluk yang kaya tampang belaka.
Si konglomerat
terpancing. Enggan mengantongi julukan kikir, lelaki berambut klimis itu mengulurkan
sekoin kuning lusuh dan berujar lirih, “bapak doakan semoga saya makin sukses,
ya!”
Si Pura-pura Buta mengangguk,
seakan mengiyakan apa yang dituturkan oleh sang korban. Padahal, batinnya meradang,
“mana ada orang ingin sukses sedekahnya cuma lima ratus perak.”
***
Si Buta meneguk air
dalam botol yang ia bawa dari rumah. Hari beranjak siang. Barang dagangan belum
satu pun terlego. Warung nasi di seberang jalan melambaikan tangan. Perutnya
menggeleng. Syukurlah. Nasi sisa kemarin yang dilahap sehabis subuh tadi agaknya
cukup mengganjal rasa lapar dan mengakibatkan lambungnya kebal.
Diberondong panas luar
biasa, ia lelang kembali sapu-sapunya, “Sapu. Sapu. Sapu. Sapu, Mbak?”
Tiada isyarat seseorang
tertarik dengan sapunya.
“Sapu. Sapu. Sapu.
Sapu, Mbak?” Tanpa mengeluh dan putus asa, Si Buta lagi-lagi membocorkan moncongnya.
“Pak. Sini, Pak.” Suara
perempuan paruh baya terdengar memanggilnya.
Hatinya bungah. Bunga
harapannya terlihat merekah.
“Harganya berapa, Pak?”
“Lima belas ribu, Bu.”
“Kok mahal banget. Tujuh
ribu, ya.”
“Segitu belum dapat, Bu. Ambilnya saja sepuluh ribu.”
“Kalau boleh tujuh
ribu, saya ambil dua. Bagaimana, Pak?”
“Maaf, Bu. Benar, belum
bisa. Sebelas ribu, bagaimana? Saya cuma untung seribu.”
“Kalau gitu, gak jadi beli, deh.”
Si Buta menarik nafas
dalam-dalam. Sekonyong-konyong merembes buih peluh dari lubang-lubang tubuh. Di
kepalanya muncul sosok bini yang menunggu kedatangannya membawa sejumput
rupiah, supaya dapur segera mengepul.
***
Si Pura-pura Buta mengayuh
kaki, mendekati warung hijau di sebelah toko buku. Denyut semangatnya
meningkat. Senyum tipisnya mengembang. Mengemis di loka pemicu kenyang
merupakan babak paling diidolakan oleh lelaki yang rajin nongkrong di terminal itu. Mengapa? Karena ketika asyik makan, seseorang
urung kabur, jikalau kebetulan dipergoki pengemis menagih recehan. Sayang, bila
hanya demi menghindari pengemis, makanan yang didapat dengan mengeluarkan uang
harus ditinggalkan begitu saja lalu segesit kilat menghadap ke penjual guna
melunasi tanggungan. Atau malah mengacir lintang-pukang sebelum membayar apa
yang terlanjur ditelan. Bisa-bisa diburu orang sekampung dan diteriaki maling. Wah,
pastilah urusan tambah kusut.
Sesampai di lokasi, Si
Pura-pura Buta terperanjat. Dua alisnya mengait, kala mengetahui bahwa di tempat
penyedia berbagai lauk dan sayuran itu tersua segerombolan pengemis menggelar makan
siang bersama. Alangkah nyaman dan lezatnya. Mereka menyantap hidangan sambil mengangkat
kaki ke punggung kursi. Menunya menu istimewa. Takah-takahnya mereka tengah merayakan
penderitaan. Penderitaan selaku manusia yang selalu mengalah, berada di bawah juga
berstatus sosial rendah.
Mengulum ujung jakun,
Si Pura-pura Buta membatalkan hasrat. Malas ia meminta-minta kepada kaum
senasib seperjuangan. Dalam kamus hidupnya, meronta-ronta kepada mereka sama saja
dengan menginjak harga diri sendiri. Waktu badannya berbalik, tiba-tiba lengan
kanannya ditarik dari belakang. Lantas seorang pemuda kerempyeng menampakkan
gigi dan mendermakan uang.
Antara ragu dan
bimbang, Si Pura-pura Buta menerima pemberian. Hampir saja ia menolak, bila
mana otak warasnya membiarkan. Penolakan adalah penghinaan. Ungkapan itulah
yang bertukas-tukas membuntang dari pikiran.
Usai berterima kasih,
ia langsung lunglai. Ia sangat terpukul dengan peristiwa memalukan tersebut. Rasanya,
baru kali itu kehormatannya dicabik-cabik oleh sesama pengemis.
Di atas trotoar sempit,
ia membuka telapak tangan yang masih mengepal. Di dalamnya bercokol rupiah yang
turut serta menurunkan derajatnya sebagai pengemis. Ia terperangah, sebab kertas
bernilai yang digenggam adalah uang dua puluh ribu rupiah.
Ia tidak habis pikir, kenapa
kini dunia amat sukar ditebak. Jutaan pengalaman mengemis yang ditenggak Si
Pura-pura Buta ternyata bukanlah jaminan untuk leluasa menggali profil korban. Di
balik kejadian janggal itu, ia memetik banyak hikmah dan pelajaran. Di
antaranya yaitu: “jangan menilai orang
dari fisiknya!”
***
Si Buta dan Si
Pura-pura Buta menggelesot santai di serambi masjid Bait al-Qohhar. Sial! Si
Pura-pura Buta begitu benci dengan situasi demikian. Situasi serupa dengan
beberapa minggu sebelumnya. Situasi di mana ada dua orang buta dalam satu masa.
Masa yang menunjukkan orang buta satu kelelahan sehabis kerja, sedang orang
buta lainnya capai setelah meminta-minta. Dalam situasi tersebut, niscaya orang
paling gila pun bakal menanam simpati pada yang pertama.
Benar. Tanpa meminta, beberapa
orang yang hendak shalat Ashar mengulurkan rupiah kepada Si Buta. Dalam waktu
relatif singkat, kantong Si Buta disesaki uang. Adapun Si Pura-pura Buta hanya
memandangi saingannya itu. Lalu-lalang orang sama sekali tidak memperhatikan
keberadaannya.
Usai shalat berjamaah, Si
Buta tertidur di barisan belakang. Kesempatan langka yang amat baik untuk
dimanfaatkan. Waktu paling telak guna melampiaskan dendam. Si Pura-pura Buta merogoh
dompet Si Buta yang berlimpah uang. Dan, klek! Dompet hitam sudah beralih ke
tangan.
Genap melancarkan niat,
Si Pura-pura Buta turun dari masjid lalu berjalan gontai. Merasa aman, ia melucuti
hasil curian. Matanya memicing saat mendapati foto kusam keluarga Si Buta: wanita
renta dengan empat anak mengapitnya. Hatinya bergetar. Ia membayangkan, keringat
Si Buta tengah dinanti-nanti untuk sekadar ditukar nasi.
Angin berkesiur. Ubun-ubun
Senja mulai tampak di cakrawala. Si Pura-pura Buta terjerat gamang: dompet dikembalikan
ataukah berpuluh lembar uang bakal diketam.
Yogyakarta, 2012
Cerpen yg mngandung hikmah nih, peristiwany jg dekat dg khidupan shari2. Itu bagian plng akhirny mgantung kyk blm slese / bsambung.
BalasHapusiya, endingnya sengaja dibuat 'terbuka'. memberi kesempatan bagi pembaca utk melanjutkannya sesuai imajinasi, hehe...
BalasHapus