Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi akhir-akhir ini getol memberikan akses
bantuan hukum kepada orang-orang desa melalui pembentukan kelompok masyarakat
desa sadar hukum. Komitmen ini ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal
Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Dirjen PPMD) Ahmad Erani Yustika.
Bersama Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), ia siap melakukan
pembinaan, pelatihan, serta penyuluhan paralegal di kawasan perdesaan.
Harapannya, tercipta keluarga sadar hukum menuju masyarakat desa sadar hukum.
Dalam penjelasannya, Erani
menyatakan bahwa paralegal di desa merupakan aspek penting dalam mewujudkan
desa sadar hukum secara berkelanjutan. Paralegal didesain untuk dapat memberikan
pendampingan (advokasi) dan membekali pemahaman kepada masyarakat desa tentang fungsi
hukum. Saking pentingnya, tak heran jika kebijakan ini diklaim termasuk daftar
prioritas perubahan Rencana Kerja tahun anggaran 2016 sampai 2019.
Barang tentu langkah di atas layak
mendapat dukungan dari semua pihak. Saat hukum seolah berada di titik nadir,
gebrakan ini patut diapresiasi. Namun, bukankah terbitnya kebijakan tanpa
pertimbangan yang memadai hanya akan menuai kegagalan? Pemerintah tampaknya
abai terhadap realitas yang terjadi. Bagi orang desa, khususnya orang-orang
kecil, hukum bukanlah “sesuatu” yang berhak dihargai, meskipun sewajarnya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum senantiasa dijunjung
tinggi.
Apatisme Orang Desa
Tingginya apatisme dan pesimisme
orang desa terhadap hukum disebabkan terutama oleh beberapa faktor. Pertama,
para penegak hukum sangat rentan suap. Begitu mudah keadilan ditukar dengan
sejumput uang. Dalam kondisi seperti ini, kaum konglomerat diuntungkan,
sedangkan kaum papa merasa disingkirkan.
Akhirnya, desa menjadi ajang
pembuktian bagi mereka yang kuat dan lemah (dari sisi finansial). Hukum rimba
yang menetapkan bahwa the have (pemilik uang) sebagai pemenang menjadi
pegangan dan tolok ukur persaingan di mata hukum. Apa yang digaungkan filusuf
Inggris Thomas Hobbes dalam karyanya De Cive (1651) “homo homini lupus”
(manusia adalah serigala bagi sesamanya) tak dapat disangkal.
Kedua, para anggota
legislatif terlibat dalam kasus korupsi. Maka, bagaimana mungkin pemerintah
menyadarkan orang desa terhadap hukum, jika mereka yang dipercaya mengemban
amanat rakyat justru menciderai hukum?
Ketiga, keengganan
bermasalah. Guna mengatasi dua pihak yang bersengketa, masyarakat desa sengaja
menghindari pengadilan dan memilih jalan musyawarah. Sebab, kehadiran hakim dan
jaksa hanya bakal menambah pengeluaran dan membikin runyam permasalahan.
Ditinjau dari sisi sosiologisnya, orang desa selalu berusaha menjauhkan diri
dari masalah. Betapa harmonisme dan keselarasan mendapat tempat terhormat dalam
kehidupan desa.
Keempat, tumbuhnya
benih-benih pragmatisme. Dalam persepsi sebagian orang desa, mematuhi hukum
tidak mengubah kehidupan mereka sedikit pun. Bahkan, dalam kadar tertentu,
hukum menjadi beban bagi orang-orang kecil.
Antara tuntutan dengan harapan
kurang seimbang. Di satu sisi, negara gemar menuntut rakyat untuk menaati
hukum. Akan tetapi, di sisi lain, kesejahteraan rakyat kurang terpenuhi.
Kesejahteraan rakyat hanya ada di lidah calon pemimpin. Setelah mereka
menyelonjorkan kaki di kursi kekuasaan, janji yang dilontarkan menguap dengan
sendirinya. Tiada yang tersisa bagi rakyat, kecuali kekecewaan dan penderitaan.
Membangun Kepercayaan
Kesadaran hukum orang desa belum
bisa terbentuk, jika selama ini, tingkat kepercayaan mereka terhadap penegak
hukum masih rendah. Oleh karena itu, kepercayaan inilah yang harus dibangun.
Para penegak hukum dan anggota legislatif yang kontraproduktif dengan misi
pemerintah mesti ditindak tegas. Dipertahankannya jabatan segaris dengan
kesanggupan mereka menjadi teladan bagi masyarakat. Pengadilan juga harus dapat
memberikan upaya solutif bagi setiap permasalahan, bukannya menjadi “ladang
bisnis”.
Tak bisa dimungkiri, waktu orang
desa lebih banyak tersita untuk mengejar kebutuhan hidup. Daripada memenuhi
tuntutan negara, mereka lebih disibukkan dengan aktifitas berburu rizki. Perlu
dicatat bahwa fakta ini tidak lantas menempelkan label “acuh tak acuh” bagi
orang desa. Mereka sebenarnya memiliki tingkat kekritisan yang tinggi terhadap
problematika bangsa dan negara. Di sela-sela menggarap sawah atau bersantai di
warung kopi, mereka membicarakan perilaku politikus Senayan yang jauh dari
norma dan etika, harga cabai yang melonjak dengan leluasa, serta pupuk yang
susah didapat kecuali bermodal kongkalikong dengan para perangkat desa.
Sensitivitas orang desa inilah yang
semestinya disentuh. Dalam mewujudkan desa sadar hukum, diperlukan pendekatan
sosiologis. Apabila pemerintah ingin seluruh warga mengindahkan misinya, maka
tentu saja kesejahteraan rakyat layak menjadi prioritas utama. Tegaknya suatu
negara terutama disokong oleh penghormatan warganya terhadap hukum. Jika negara
memuliakan orang desa, niscaya mereka juga akan menghargai hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar