Judul:
Paradigma Profetik Islam; Epistemologi, Etos, dan Model
Penulis:
Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra
Penerbit:
UGM Press, Mei 2016
ISBN:
978-602-386-029-6
Tebal:
220 halaman
Apa yang ditulis oleh Ahimsa-Putra
dalam buku ini merupakan respons terhadap pemikiran Kuntowijoyo, Guru Besar
Sejarah Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Wafatnya Kuntowijoyo beberapa
tahun lalu tidak lantas mengubur dalam-dalam warisan keilmuannya. Ikhtiar
Kuntowijoyo dalam merintis, menggagas, dan memantapkan sebuah sistem pemikiran
mendapat sambutan hangat dari Ahimsa-Putra. Sang profesor turut menyemarakkan
dialektika ilmu pengetahuan yang syarat dengan muatan ilmiah dan akademis.
Dalam diri Ahimsa-Putra
terdapat kesadaran bahwa intensitas dan kontinuitas perdebatan di kalangan
cendekiawan tidak boleh mandek. Kesadaran itulah yang membuatnya getol meneguhkan
keyakinan serta pendiriannya. Eksistensi ilmu pengetahuan seolah tidak tergerus
oleh hijrahnya manusia dari alam kasat mata menuju alam transendental. Selama
masih ada generasi pemikir selanjutnya, hasil pemikiran yang genuine dan cemerlang akan tetap
dipertahankan bahkan dilestarikan. Barang tentu usaha pelestarian terhadap hasil
pemikiran tidak dilakukan dengan sekadar mendukungnya, melainkan juga
menyelipkan catatan kritis terhadapnya.
Sumbangan gagasan, prakarsa,
dan wacana Ahimsa-Putra telah mengokohkan keberlangsungan dinamika ilmu
pengetahuan dalam jagat intelektual. Perjuangannya patut menjadi inspirasi bagi
para akademikus dan ilmuwan dalam mengejawantahkan objektivitas dan universalitas.
Ia menciptakan kehangatan dan keintiman pemikir dengan teks-teks sebelumnya.
Betapa kecongkakan intelektual terhadap pemikiran usang berimbas pada pembedaan
ruang dan waktu. Padahal, antara satu dengan lainnya saling berkelindan,
sehingga tak mungkin dipisahkan.
Dalam pandangan
Kuntowijoyo, wahyu memiliki urgensi dalam membedakan epistemologi Islam dengan
epistemologi Barat. Rasionalisme dan empirisme yang menjadi sumber pengetahuan
Barat tampak begitu sederhana sebab hanya berpijak pada akal dan observasi.
Dalam epistemologi Islam, wahyu sebagai salah satu unsur transendental dapat
mengindikasikan pengetahuan apriori dan membentuk realitas. Dalam konteks
inilah, wahyu menjadi unsur konstitutif dalam paradigma Islam. (hal. 7)
Guna mewujudkan
angan-angan dan harapannya, strukturalisme dipilih oleh Kuntowijoyo sebagai
sarana untuk mendekati Al Quran. Diambilnya pilihan ini bertujuan menerapkan
ajaran-ajaran sosial dalam teks lama pada konteks sosial tanpa mengubah stuktur
yang ada. Kuntowijoyo mengunduh inspirasi dari antropolog Prancis, Claude
Levi-Strauss. Menurut Kuntowijoyo, strukturalisme Levi-Strauss memuat beberapa
konsep yang dapat dipinjam untuk membangun ilmu (sosial) profetik. Konsep innate structuring capacity, deep structure,
dan surface structure dapat
ditransformasikan ke dalam sistem Islam, sehingga memunculkan model tertentu.
(hal. 8-9).
Penempatan wahyu selaku
sumber pengetahuan berimplikasi pada pengakuan terhadap struktur transendental yang
menjadi referensi dalam menafsirkan realitas. Sayangnya, Ahimsa-Putra melihat
bahwa Kuntowijoyo kurang begitu jelas saat memaparkan pengertian strukturalisme
transendental. Uraiannya begitu membingungkan ketika membahas perlunya
perluasan muamalah dalam Islam. Padahal dalam pembahasannya tidak ditemukan hubungan
antara struktur yang transenden dan muamalah.
Kuntowijoyo menilai
bahwa ilmu sosial tengah mengalami kemandekan, sehingga diperlukan gerakan transformatif.
Tapi Ahimsa-Putra menganggap transformasi sosial yang didengungkan oleh
Kuntowijoyo bermakna kabur: “Apakah transformasi tersebut merupakan hasil kerja
ilmu sosial profetik yang bersifat transformatif? Ataukah transformasi tersebut
merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh ilmu sosial profetik, yang belum
tentu berhasil dicapai juga, meskipun ilmu sosial profetik sudah bisa dibangun?
Ataukah transformasi tersebut adalah semangat yang mendasari aktivitas ilmu
sosial profetik?” (hal. 17)
Ahimsa-Putra menilai
bahwa bangunan pemikiran Kuntowijoyo masih bercerai-berai. Antara satu tulisan
dan tulisan lainnya belum menunjukkan keselarasan, sehingga terdapat missing link. Alur dan logika
berpikirnya mengandung sejumlah “cacat ilmiah”. Kiprah Kuntowijoyo membangun
ilmu (sosial) profetik masih jauh dari sempurna lantaran meninggalkan beberapa
kekurangan. Meski demikian, usahanya perlu mendapat apresiasi dan simpati.
Dalam konteks inilah, Ahimsa-Putra mampu menempatkan diri. Sebagai “penerus”,
ia tidak lantas terjebak pada “pengultusan” sosok Kuntowijoyo. Ia mampu
bersikap kritis dan rasional dengan mengisi celah dan “menambal-sulam”
pemikiran pendahulunya tersebut.
Sebelum membongkar
kelemahan pemikiran Kuntowijoyo, Ahimsa-Putra sengaja mengulang apa yang
disampaikan oleh sejarawan sekaligus sastrawan tersebut. Dengan harapan,
ulasannya dapat diterima dengan jelas oleh publik. Tak mengherankan jika pada bab
pertama dan kedua khalayak pembaca dijejali dengan ringkasan pemikiran
Kuntowijoyo yang terkesan membosankan. Ini merupakan langkah logis supaya
pembaca dapat memahami akar permasalahan secara utuh. Bagaimanapun, pemahaman
setengah-setengah hanya akan membuat pembaca tersesat di belantara kata-kata.
Tampaknya, kritik
terbesar yang dilancarkan Ahimsa-Putra adalah miskinnya konsepsi paradigma selaku
kerangka berpikir. Akibatnya, bangunan pemikiran Kuntowijoyo terlihat rapuh dan
mudah goyah. Dalam konteks inilah, sebagai upaya melanjutkan pembentukan
paradigma profetik yang genap dirintis oleh Kuntowijoyo, Ahimsa-Putra
menawarkan ide dengan merombak unsur-unsur paradigma Thomas Kuhn dalam karya The Structure of Scientific Revolutions
(1970).
Ahimsa-Putra
berpendapat bahwa ada beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam rangka membangun
paradigma yang kokoh. Unsur-unsur yang dimaksud adalah asumsi dasar (basic assumption), etos/nilai (ethos/value), model, masalah yang
diteliti, konsep pokok (main concept),
metode penelitian (method of research),
metode analisis (method of analysis),
teori (theory), dan representasi.
Gagasan Ahimsa-Putra patut
dikritisi. Ia seolah menyebutkan bahwa asumsi dasar mendahului nilai. Padahal,
bila ditelisik lebih seksama, munculnya asumsi dasar dan nilai bersamaan.
Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa asumsi dasar lebih dahulu dibanding
nilai. Begitu pula sebaliknya. Pemisahan antara metode penelitian dan metode
analisis juga kurang relevan. Barang tentu di dalam metode penelitian tercakup
metode analisis. Penyebutan metode analisis sebagai salah satu unsur hanya
menambah “rentetan panjang” pembentukan paradigma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar