Dalam kunjungan
kerjanya di suatu desa, Presiden Joko Widodo berjanji akan melipatgandakan
anggaran dana desa pada tahun 2018. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2017,
dana desa genap dialokasikan sebesar 60 triliun rupiah. Oleh pemerintah, dana yang
bersumber dari APBN tersebut dianggap mampu memberikan efek berantai terhadap
pertumbuhan perekonomian masyarakat desa.
Besarnya dana desa
menunjukkan kuatnya arus pembangunan desa, yang tentu patut disambut gembira. Namun
demikian, banyak pihak mengkhawatirkan bahkan merasa pesimistis jika
pengarusutamaan desa bisa berjalan mulus. Mengutip Farouk Muhammad (2015), kekhawatiran
ini terutama bersumber dari politik kebijakan pemerintah yang mementingkan
pencapaian target dana desa (money
oriented), bukan mengutamakan kemampuan desa dalam mengelola pemerintahan
dan melaksanakan pembangunan (capacity
oriented).
Kepastian adanya dana
desa membuat desa bertabur uang. Berbeda jauh dengan kondisi masa silam di mana
desa selalu miskin. Untuk sekadar membangun fasilitas, masyarakat terpaksa
mengadakan iuran, mengharapkan sumbangan, dan menunggu bantuan dari pemerintah yang
lebih tinggi. Kekompakan orang desa serta kebaikan hati para dermawan dan
negara menjadi modal pembangunan.
Padahal, di samping Sumber Daya
Manusia (SDM), sumber daya material menjadi penopang kokohnya pemerintahan
desa. Kesuksesan program-program desa sering kali bergantung pada seberapa
besar pendapatan yang diperoleh. Kemajuan sejumlah desa dilatarbelakangi oleh
besarnya dana desa.
Dalam tesisnya, Hermawan (2002)
menyatakan bahwa kemandirian pemerintahan desa tercermin pada kemampuan sumber
daya material internalnya dalam membiayai kegiatan yang dilaksanakan. Kebijakan
pemerintah desa bisa terealisir lantaran adanya sumber daya ini. Boleh
dibilang, terdapat keterkaitan antara ketersediaan sumber daya dengan
kemandirian desa.
Di sinilah arti penting
dana desa. Dalam upaya mewujudkan tranformasi di wilayah perdesaan, dana desa
menempati posisi urgen. Guna memanfaatkannya, kepala desa beserta jajarannya
dapat menggulirkan program pemberdayaan masyarakat. Program ini dimulai dengan
identifikasi permasalahan yang meliputi kapasitas desa, prioritas pemerintah
desa, mental masyarakat, dan sumber daya. Setelah dapat meraba problematika
yang ada, pemerintah desa meningkatkan kapasitas masyarakat dengan memperbaiki
prasarana desa, membangun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), membuka Balai
Latihan Kerja (BLK), serta mengembangkan jaringan.
Namun demikian, apabila
tidak dimanfaatkan secara bijak, dana desa rentan melahirkan kasus korupsi. Tak
heran jika akhir-akhir ini, akibat penyalahgunaan dana desa, banyak kepala desa
yang meringkuk di bui. Malpraktik kebijakan pemerintah desa hanya akan
melembagakan praktik korupsi di desa, di mana akarnya ditemukan sejak abad
ke-17.
Dalam catatan sejarawan
Ong Hok Ham, raja menitahkan kepala desa untuk menggalang rakyat dalam mengolah
lahan. Hasil panen menjadi upeti yang dipersembahkan kepada raja, adapun
kelebihannya halal dikuasai kepala desa. Dengan tingginya keuntungan, kepala
desa piawai mengapitalisasi kedudukan. Interpretasi kehalalan runtuh sejak Daendels
menerapkan gaji bulanan birokrasi pada 1808. Mengambil kelebihan hasil bumi di
luar gaji merupakan larangan dan dianggap sebagai kasus korupsi (Ivanovich Agusta, 2016).
Kritik
dan Kontrol
Tidak selamanya mereka yang dipercaya
menjadi pamong menjalankan kewajibannya dengan jujur. Ada yang justru
memanfaatkan peluang dan menganggap bahwa posisinya dalam pemerintahan desa
merupakan aji mumpung. Di beberapa tempat, kinerja pamong kurang
transparan dan cenderung tertutup. Dana pemberdayaan yang
diterima pemerintah desa sering kali akuntabel di atas kertas, tetapi tidak
banyak dirasakan masyarakat. Sehingga, rakyat sebagai pemilik demokrasi
kehilangan akses dan kontrol.
Pemerintahan desa berjalan sesuai
kehendak para pemangkunya. Tanpa evaluasi dari pihak luar, mereka yang duduk
dalam jajaran perangkat desa tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan. Dalam
konteks inilah, kritik menjadi “senjata” dalam mengawasi jalannya pemerintahan
desa, terutama dalam pemanfaatan dana desa. Sayangnya, dalam masyarakat desa,
mekanisme kritik dilakukan dengan cukup halus dan samar. Selain jauh dari kesan
agresif, kritik lebih mengutamakan kesantunan.
Oleh karena itu, demi
terlaksananya prinsip-prinsip good
governance di desa, kritik saja tidak cukup. Harus ada pengawasan dari
pihak yang berwenang, di antaranya Pendamping Desa (PD) dan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). Supaya kekuasaan
pemerintah desa tidak rentan disalahgunakan, keduanya dituntut mampu
menjalankan tugas dengan maksimal. Baik Pendamping Desa (PD) maupun Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) diberi
wewenang untuk mengadakan kontrol terhadap pemerintahan desa, agar kinerja
kepala desa beserta jajarannya bisa terarah. Keduanya berperan besar dalam terwujudnya
demokrasi desa. Ruang kontrol dan keseimbangan kekuasaan di desa jadi lebih
terbuka.
Dengan
adanya kontrol, di
samping pemerintah
desa dapat mengelola dana desa secara akuntabel dan transparan, diharapkan dana
desa yang dicairkan ke setiap desa juga tersalurkan secara optimal. Bagaimanapun,
digelontorkannya dana desa terutama dalam rangka memperbaiki infrastruktur desa. Jangan sampai pemanfaatan dana desa terbukti menyalahi prosedur. Rupiah
yang digelontorkan oleh pemerintah tidak boleh menjadi “bancakan” dan ajang
pemuasan nafsu duniawi para elite lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar