Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) belum lama kembali menenggelamkan kapal pencuri ikan. Kali
ini, ada 81 kapal yang ditenggelamkan di Bali, Pontianak, Aceh, Tarempa,
Sorong, Merauke, Belawan, Tarakan, Natuna, Bitung, Ambon, dan Ternate. Dari
Oktober 2014, sudah ada 317 kapal yang ditenggelamkan. Kapal maling tersebut
milik Tiongkok satu, Belize satu, Papua Nugini dua, Indonesia 21, dan Thailand
21. Kemudian, dari Malaysia 49, Filipina 76, Vietnam 142, dan tanpa bendera
empat kapal. Upaya untuk memerangi illegal
fishing serta melindungi sumber daya maritim.
Secara historis, dulu
Nusantara merupakan negara maritim tangguh di tataran global. Salah satu tanda
kebesaran Nusantara sebagai “bangsa laut” ditemukannya sejumlah pelabuhan
masyur, di antaranya Banten dan Gresik (Jawa Timur). Perubahan suatu wilayah
menjadi pelabuhan memerlukan proses, waktu, serta sejumlah faktor pendukung.
Bila ditelisik secara mendalam, pelabuhan-pelabuhan tersohor ternyata berawal
dari desa kecil yang kurang berarti, tapi berkembang menjadi cikal-bakal
pelabuhan prestisius.
Transformasi Banten
menjadi “pelabuhan perdagangan” tercapai dalam beberapa dasawarsa. Mula-mula
pelabuhan ini merupakan desa nelayan kecil di bawah kekuasaan pengikut Sultan
Demak tahun 1527. Setelah ikatan dengan kekuasaan tertinggi melemah, perlahan
Banten menancapkan hegemoninya atas Jawa bagian barat dan segera melampaui
Sunda Kelapa, selaku pusat perniagaan. Lantaran berdekatan dengan Selat Sunda,
Banten menjadi pantai barter yang menyenangkan bagi para pedagang musiman dari
Samudra Hindia dan Laut Tiongkok Selatan (Léonard Blussé, 2004: 71).
Pengukuhan Gresik selaku
pelabuhan strategis dalam lalu lintas perdagangan dunia tidak bisa terlepas
dari asal-muasalnya. Menurut cerita Tiongkok, karangan Ma Huan (1433), Gresik
merupakan sebuah “desa baru” yang dalam bahasa Mandarin dinamakan Ko-erh-his,
timur Tuban yang dulu merupakan daerah pantai berpasir. Antara tahun 1350 dan
1400, pendatang dari Tiongkok Tengah membangunnya menjadi sebuah desa baru. Kemudian,
pada tahun 1400, Gresik maju signifikan. Saat Ma Huan datang, Gresik telah
mendaulat diri sebagai kota pelabuhan terbaik dan terpenting (Endjat
Djaenuderadjat, 2013: 207).
Keberadaan dua
pelabuhan tadi membuktikan negeri ini pernah menjadi perhatian internasional
dalam jagat maritim. Pelabuhan tidak hanya menunjukkan tempat transit kapal,
lokasi keberangkatan-kepulangan penumpang, serta sarana menawarkan barang
dagangan, tetapi juga menandakan tingginya skill orang-orang Nusantara dalam
bidang kelautan. Keperkasaan mereka terlihat dari cukup seringnya hidup dan
bekerja di laut.
Dalam berbagai situasi,
mereka begitu teguh menghadapi ganasnya ombak. Mereka menyadari mesti tegar.
Mentalitas inilah yang membuat mereka sangat kuat dalam mengatasi berbagai
problematika kehidupan. Para pendahulu bangsa mengukuhkan diri sebagai pelaut
andal.
Peninggalan budaya
maritim Nusantara seolah tidak berbekas, kecuali mitologi-mitologi kuno yang
masih dapat diselamatkan. Upaya pelestarian mitologi oleh masyarakat berhasrat
mengungkapkan betapa laut adalah entitas penuh makna bagi kehidupan. Sayang,
mitologi tersebut bukannya mewariskan mentalitas pelaut pada generasi masa
kini, melainkan sekadar merepresentasikan simbol dan hajatan seremonial.
Masyarakat Desa Kundi
sekitar Pulau Bangka memegang teguh kepercayaan upacara adat ceriak laut. Selain menyelamatkan sampan
atau perahu yang melewati Tanjung Tadah, upacara ini untuk menghalau setan dan
hantu seberang yang ingin merusak ladang perkebunan. Setelah dukun laut
memastikan bulan dan hari tepat, masyarakat mempersembahkan nasi kuning, ketan
hitam, dan ayam panggang kepada roh-roh halus nenek moyang serta keturunan leluhur
dukun laut (Djoko Pramono, 2005: 147).
Mitologi yang berkaitan
dengan laut juga ditemukan pada masyarakat nelayan di Desa Brondong, Lamongan.
Bagi mereka, ritual serbamagis mesti mengiringi aktivitas mencari ikan. Sejak
lama, mereka mempunyai kebiasaan memuja roh terkait penangkapan ikan. Ritual
tersebut dinamakan tutup layang
(menggulung layar). Di lepas pantai, sesaji sengaja dipersembahkan bagi Kiai
Anjir yang diyakini sebagai roh penunggu lautan.
Tenggelam
Budaya maritim semakin
tenggelam lantaran banyak suku mengabaikan eksistensi laut, pantai, serta
pesisir. Mereka cenderung mengutamakan wilayah pedalaman dan pegunungan.
Orang-orang Indonesia menyimpan semacam “rasa tidak suka” yang berhubungan
dengan air.
Hal ini antara lain
ditandai dengan kebiasaan membangun desa di puncak gunung, bukan dekat
perairan. Bahkan, pulau-pulau kecil yang pernah memainkan fungsi maritim masa
silam kerap mengagungkan tradisi membangun desa di tempat tinggi.
Sebenarnya, budaya laut
sangat dekat dengan orang-orang pesisir. Mereka inilah yang senantiasa
memanfaatkan perairan sebagai lokasi mencari nafkah. Sayang, laut tidak
selamanya menjanjikan kesejahteraan dan kenyamanan hidup. Pada masa kerajaan,
mereka berjuang melawan kekejaman penjahat yang gemar merampas harta milik.
Bahkan, tak jarang
perompak dan bajak laut menangkap mereka untuk dijadikan budak yang dapat
diperjualbelikan. Guna melindungi diri dan keluarga, sebagian memilih mengungsi
dan meninggalkan desa. Masa Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, kekayaan dan
sumber daya laut tidak dimaksimalkan penduduk lokal. Maka, nasib masyarakat
desa pesisir tak kunjung membaik.
Di beberapat tempat,
para pemuda pesisir lebih suka mabuk daripada membekali diri dengan berbagai
keterampilan. Lantaran mengonsumsi minuman keras (miras), mereka kerap terlibat
kekerasan dan perkelahian. Fenomena inilah yang memunculkan asumsi, menenggak
miras merupakan tradisi dari generasi ke generasi. Bagi sebagian masyarakat
nelayan, mabuk-mabukan merupakan upaya menjaga kesehatan. Meski membawa efek
negatif, mereka percaya bahwa miras mampu menjauhkan tubuh dari penyakit mag
dan kencing batu.
Laut juga kurang
berpihak pada kaum tani di pesisir. Derasnya air laut membuat mereka kerap
merugi dan gagal panen. Persoalan kekeringan dan rusaknya lahan-lahan produktif
antara lain karena intrusi air laut. Fakta ini berdampak pada meningkatnya
kasus pengangguran di perdesaan dan meroketnya urbanisasi.
Atas dasar itulah,
revitalisasi budaya maritim meniscayakan pemberdayaan masyarakat desa pesisir,
selaku aktor utama. Sejak dini, mereka mestinya memperoleh perhatian
pemerintah. Taraf kesejahteraan “orang pesisir” mesti ditingkatkan. Selama ini,
mereka dinilai sebagai masyarakat tradisional dengan kondisi strata sosial
ekonomi “di bawah standar.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar