Kentongan merupakan alat
komunikasi yang digunakan masyarakat tradisional di banyak daerah di Indonesia.
Berbahan kayu panjang dengan lubang di tengahnya, alat ini biasanya berfungsi
sebagai alat penyampai informasi atau kabar bagi warga tentang
peristiwa-peristiwa penting di tempat tinggal mereka.
Termasuk di antaranya
memberitahukan terjadinya peristiwa genting, seperti kebakaran, pencurian,
kematian, banjir, dan bencana alam lainnya. Dalam momen-momen ini, manfaat
kentongan menjadi sentral (Hery Nuryanto, 2012).
Bertempat di gardu,
balai desa, alun-alun, atau lokasi publik lainnya, kentongan juga didaulat oleh
penguasa lokal sebagai sarana mengundang warga. Setelah menerima kode tertentu,
mereka berbondong-bondong berkumpul di suatu tempat. Sebagai medium efektif
pengikat komunitas, kentongan menyatukan siapa saja, baik berstatus sosial
tinggi maupun rendah. Dalam taraf tertentu, ia membantu mewujudkan masyarakat
”tanpa kasta”.
Ikatan kekeluargaan,
jalinan kekerabatan, dan hubungan kerja pun dapat dikukuhkan dengan kentongan
sehingga gejala-gejala permusuhan dan perpecahan dapat diredam. Di sini lah
kentongan berperan mengondisikan khalayak untuk menciptakan kebersamaan dalam
pelbagai perbedaan: karakter, profesi, ataupun latar belakang pendidikan.
Karena itu, banyak masa
dan ruang di mana kehidupan desa tak bisa lepas dari peran kentongan. Harmoni
kehidupan, toleransi, dan gotong-royong tercipta karena adanya kentongan. Dalam
derajat atau pengertian tertentu, demokrasi lokal dan interaksi sosial mesti
berutang budi pada kentongan. Kentongan pun menjadi semacam pengetuk hati dan
pikiran semua anggota masyarakat untuk mengedepankan rasa persaudaraan pada
warga lainnya ketimbang kehendak atau kepentingan pribadinya.
Dentang masa depan
Dalam pandangan di
atas, sebenarnya kentongan memiliki peran lebih dalam sebagai jaminan
terciptanya bukan saja harmoni atau order
(ketertiban), melainkan juga masa depan yang lebih baik. Masa yang dirancang,
diproses, dan terbentuk karena terjaganya order dan kerja sama kreatif serta
produktif saat kentongan bertalu.
Para pemimpin dan elite
desa dapat menjalankan fungsi secara optimal. Rakyat pun bekerja dengan
kesungguhan dan kegembiraan yang penuh inovasi.
Kentongan kini bukan
sebilah kayu atau bambu mati belaka, melainkan seperti bunyi mendentang dari
masa datang. Dengan ukuran, bentuk, serta beratnya yang ringan dan sederhana,
para peronda atau penggunanya dengan mudah membawanya saat bertugas. Dengan
berjalan kaki, mereka berbekal kentongan guna memastikan apakah desa dalam
kondisi aman atau darurat.
Ritme, suara, dan
jumlah pukulan yang timbul dari kentongan menunjukkan alasan dan tujuan mengapa
kentongan dibunyikan. Di dalamnya terkandung pesan yang mesti diketahui semua
warga desa.
Karena itu, demi
menghindari kesalahpahaman, warga dituntut peka terhadap berapa kali kentongan
berbunyi, seberapa keras ia dipukul, bagaimana irama, bahkan nada musikal yang
dihasilkan.
Saat malam begitu
larut, suara kentongan yang lembut seperti menganugerahi rasa aman dan nyaman.
Inilah sumbangan tidak kecil kentongan dalam menciptakan rasa ”bahagia”
masyarakat penggunanya.
Bunyinya yang lumayan
nyaring dapat menjangkau tempat yang agak jauh tanpa bantuan pelantang.
Termasuk kepada mereka yang siang hari disibukkan pelbagai tugas, kerja, atau
tanggung jawab.
Desa pun secara mandiri
menjadi siaga karena ia menjadi penanda paling awal jika terjadi musibah, baik
alam maupun sosial-budaya. Satu bunyi yang membuat semua pihak siaga dan cepat
mengantisipasi keadaan sehingga timbulnya korban bisa dihindari dan bencana pun
dapat segera diatasi.
Di Bali, kentongan tak
hanya berfungsi sebagai pertanda siaga, bahaya, ataupun musibah. Ia juga
menjadi pertanda kebahagiaan ketika dibunyikan pada acara pernikahan. Bagi
orang Bali, pernikahan begitu sakral sehingga ia patut, bahkan wajib,
disaksikan dan diikuti sebanyak mungkin warga.
Ketika kehidupan
manusia masih dilingkupi mitos dan takhayul, hadirnya kentongan merupakan
capaian luar biasa. Ia menampilkan ”teknologi purba” yang menampung kreativitas
dan daya cipta manusia. Sayangnya, seiring perubahan zaman, fungsi kentongan
pun mulai bergeser. Kini, kentongan semakin ditinggalkan.
Di sejumlah desa, ia
kian jarang ditemukan. Alat komunikasi modern semisal gawai mengambil posisi
dan perannya. Ia justru beralih fungsi sebagai simbol kekuasaan lokal. Beberapa
rumah kepala desa dilengkapi kentongan. Rumah berhias kentongan memuat makna
bahwa seseorang yang berada di dalamnya dibekali mandat untuk mengatur desa.
Warga desa wajib mematuhi apa yang ”dititahkan” si pemilik kentongan.
Bagi sebagian orang,
kentongan adalah aksesori rumah yang menjanjikan kenangan dan romantisisme. Di
dalamnya tersimpan ingatan tentang indahnya kehidupan masa lampau. Ia mencatat
bahwa sejarah manusia bermula dari kesederhanaan, termasuk dalam penggunaan
alat komunikasi yang bermakna.
Bojonegoro, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar