Selasa, 14 Maret 2017

Anomali Buruh (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Waktu" edisi Selasa, 14 Maret 2017)




Belakangan, para buruh di berbagai daerah kerap menggelar demonstrasi. Dalam aksi tersebut, mereka menuntut pemerintah untuk segera mencabut PP No. 78/2015 tentang Upah. Mereka menilai bahwa selama ini, kerja buruh “dihargai” sangat murah.
Hal ini menggambarkan bahwa ruang dan tata kota tidak mendukung eksistensi para buruh, terutama buruh informal. Regulasi, kebijakan pemerintah, dan konstruksi sosial seolah mengerdilkan peran orang-orang dengan skill dan pendidikan yang rendah. Mereka yang disebut unskilled worker sebab miskin kapabilitas dan pengetahuan tersebut selalu berupaya menyesuaikan diri dengan kehidupan urban yang serbakeras. Saat proses involusi beragam sektor membuat lapangan kerja menyempit, sektor informal adalah pilihan paling logis dan realistis.
Ironisnya, banyak oknum justru memanfaatkan keadaan. Akibat godaan konsumerisme materialistis dan rasionalisme sekularistis, mereka rela mempekerjakan orang-orang dengan upah yang sangat rendah, bahkan tidak manusiawi. Sistem kapitalistik telah membuka ruang yang demikian lebar, sehingga manusia dianggap aset dan komoditas empuk. Barang tentu persepsi seperti ini berpotensi mereduksi hak manusia. Segala macam bentuk diskriminasi dihalalkan, asal mendatangkan keuntungan politis, sosial, serta finansial.
Ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu menciptakan mekanisme pengamanan dalam rangka menjamin buruh informal supaya terbebas dari berbagai bentuk kezaliman. Seiring ketidakberdayaan menghentikan berbagai perilaku yang merusak mental dan masa depan anak bangsa, pemerintah justru memperkeruh suasana dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang merugikan buruh informal.
Padahal, berdasarkan konsep demokrasi, pemerintah dituntut berperan aktif dalam menjaga ruang publik yang sehat dengan menghormati hak buruh informal dan tidak membiarkan mereka terombang-ambing dalam permainan politik identitas.

Klasifikasi Hart
Munculnya pendekatan dualistik terhadap profesi manusia merupakan prakarsa Keith Hart pada permulaan tahun 1970-an yang menjadi dasar teoritis sebagian besar literatur. Dalam analisa liberal dan neo-klasik ekonomi dunia ketiga, terminologi sektor formal dan informal berhasil dilembagakan. 
Sektor formal menampung seluruh kegiatan perekonomian yang terorganisir, terdaftar, dan terlindungi oleh hukum. Adapun yang tidak memenuhi kriteria ini termasuk sektor informal. Batasan ini memunculkan penafsiran bahwa pegawai, PNS, TNI, dan Polisi berada di sektor formal. Sedangkan pedagang kaki lima (PKL), penarik becak, tukang parkir, pengamen, pedagang pasar, tukang ojek, buruh tani, buruh bangunan, dan pelacur dapat masukkan dalam sektor informal.
Distingsi di atas turut menentukan prasyarat bekerja di kota-kota besar. Ijazah dan gelar akademik menjadi kunci kesuksesan seseorang. Di luar sistem formal sekolah, profesi bergengsi dan menjanjikan tidak mungkin terjangkau. Akibatnya, kota menutup akses bagi orang-orang kecil.
Kota merepresentasikan logika sepihak yang mengukuhkan stigma berdasarkan latar belakang akademis, sosial, dan kultural. Di lingkungan perkotaan, interaksi sosial terjalin dalam konsep opisisi biner: kekalahan dan kemenangan, sehingga basis sosial masyarakat menjadi rapuh.
Selama ini, kota menunjukkan minimnya kondisi kerja yang adil dan memuaskan bagi dua-pertiga tenaga kerja di Indonesia yang bekerja di sektor informal. Dengan cakupan skema jaminan sosial yang sangat terbatas, kota kurang mampu menjanjikan kenyamanan bagi mereka dalam berburu rupiah.
Para buruh informal bagaikan “sepah pembangunan”. Di balik megahnya kota-kota besar, sumbangsih mereka sering kali dikesampingkan. Pekerjaan mereka diganjar dengan upah rendah, berubah-ubah, dan ilegal (tidak sah). Majikan kerap menghindari keterikatan, baik personal, emosional, maupun profesional, sehingga jaminan kerja dan upah minimum bukan termasuk muatan perjanjian kedua belah pihak. Dengan demikian, selain sosial, para buruh informal juga mengalami penderitaan psikologis serta finansial.
Padahal, tidak selamanya stereotip negatif melekat pada diri mereka. Pembangunan perkotaan ditopang oleh bekerjanya masyarakat kelas bawah, sehingga problem pengangguran di perkotaan bisa diminimalisir. Barang tentu realitas ini memperlihatkan anomali. Di satu sisi, peran dan fungsi mereka tidak bisa diabaikan. Namun di sisi lain, keberadaan mereka hanya dipandang sebelah mata.
Sebenarnya apa yang dilakukan Hart telah melahirkan anggapan bahwa mereka yang bekerja di sektor informal tidak memiliki masa depan dan identik dengan “urban poor”. Klasifikasi Hart terlalu simplistis, seolah sektor formal dan informal terpisah dan mandiri. Padahal dalam realitasnya, terjadi interaksi yang intens antara keduanya, di mana salah satu bagian dalam sebuah sektor tercipta dan tumbuh dari sektor lain.
Oleh karena itu, daripada menerbitkan PP yang cenderung berpotensi “mengebiri” hak buruh informal, lebih baik pemerintah mengembangkan logika kreatif. Problem-problem sosial yang melilit mereka dapat diurai dengan memperluas peluang kerja, memberikan perlindungan serta meningkatkan kesejahteraan.
Guna memformulasikan langkah strategis, taktis, dan kontekstual dalam menghadapi dinamika sosial masyarakat, kota perlu mendapat redefinisi dan reinterpretasi. Bagaimana pun juga, kota merupakan jejaring logika simbolis yang memuat identitas sosial, kultural, juga politis. Hal ini dilakukan sebagai penegasan bahwa sektor formal dan informal saling mengisi dan melengkapi.

Yogyakarta, 2017

1 komentar:

  1. Harian waktu, itu koran daerah mana?
    Kl buruh aku liatny, mreka sering demo, tp knapa masih betah bkerja d situ. Aplg d kota besar/industri, sbgn buruh pdatang, knapa mreka nggak pulkam aja. Trus organisasi buruh yg banyak itu, buruh yg ikut jg bayar iuaran, pluang uang ny ini gede. Jk buruh bsatu jg kekuatan yg besar, knapa mreka sptny blm

    BalasHapus