Belakangan, para buruh
di berbagai daerah kerap menggelar demonstrasi. Dalam aksi tersebut, mereka
menuntut pemerintah untuk segera mencabut PP No. 78/2015 tentang Upah. Mereka
menilai bahwa selama ini, kerja buruh “dihargai” sangat murah.
Hal ini menggambarkan
bahwa ruang dan tata kota tidak mendukung eksistensi para buruh, terutama buruh
informal. Regulasi, kebijakan pemerintah, dan konstruksi sosial seolah
mengerdilkan peran orang-orang dengan skill
dan pendidikan yang rendah. Mereka yang disebut unskilled worker sebab miskin kapabilitas dan pengetahuan tersebut
selalu berupaya menyesuaikan diri dengan kehidupan urban yang serbakeras. Saat
proses involusi beragam sektor membuat lapangan kerja menyempit, sektor
informal adalah pilihan paling logis dan realistis.
Ironisnya, banyak oknum
justru memanfaatkan keadaan. Akibat godaan konsumerisme materialistis dan
rasionalisme sekularistis, mereka rela mempekerjakan orang-orang dengan upah
yang sangat rendah, bahkan tidak manusiawi. Sistem kapitalistik telah membuka
ruang yang demikian lebar, sehingga manusia dianggap aset dan komoditas empuk.
Barang tentu persepsi seperti ini berpotensi mereduksi hak manusia. Segala
macam bentuk diskriminasi dihalalkan, asal mendatangkan keuntungan politis,
sosial, serta finansial.
Ini menunjukkan bahwa
pemerintah belum mampu menciptakan mekanisme pengamanan dalam rangka menjamin buruh
informal supaya terbebas dari berbagai bentuk kezaliman. Seiring
ketidakberdayaan menghentikan berbagai perilaku yang merusak mental dan masa
depan anak bangsa, pemerintah justru memperkeruh suasana dengan menerbitkan
peraturan perundang-undangan yang merugikan buruh informal.
Padahal, berdasarkan
konsep demokrasi, pemerintah dituntut berperan aktif dalam menjaga ruang publik
yang sehat dengan menghormati hak buruh informal dan tidak membiarkan mereka
terombang-ambing dalam permainan politik identitas.
Klasifikasi Hart
Munculnya pendekatan
dualistik terhadap profesi manusia merupakan prakarsa Keith Hart pada permulaan
tahun 1970-an yang menjadi dasar teoritis sebagian besar literatur. Dalam
analisa liberal dan neo-klasik ekonomi dunia ketiga, terminologi sektor formal
dan informal berhasil dilembagakan.
Sektor formal menampung
seluruh kegiatan perekonomian yang terorganisir, terdaftar, dan terlindungi
oleh hukum. Adapun yang tidak memenuhi kriteria ini termasuk sektor informal. Batasan
ini memunculkan penafsiran bahwa pegawai, PNS, TNI, dan Polisi berada di sektor
formal. Sedangkan pedagang kaki lima (PKL), penarik becak, tukang parkir,
pengamen, pedagang pasar, tukang ojek, buruh tani, buruh bangunan, dan pelacur
dapat masukkan dalam sektor informal.
Distingsi di atas turut
menentukan prasyarat bekerja di kota-kota besar. Ijazah dan gelar akademik
menjadi kunci kesuksesan seseorang. Di luar sistem formal sekolah, profesi
bergengsi dan menjanjikan tidak mungkin terjangkau. Akibatnya, kota menutup
akses bagi orang-orang kecil.
Kota merepresentasikan logika
sepihak yang mengukuhkan stigma berdasarkan latar belakang akademis, sosial,
dan kultural. Di lingkungan perkotaan, interaksi sosial terjalin dalam konsep
opisisi biner: kekalahan dan kemenangan, sehingga basis sosial masyarakat
menjadi rapuh.
Selama ini, kota
menunjukkan minimnya kondisi kerja yang adil dan memuaskan bagi dua-pertiga
tenaga kerja di Indonesia yang bekerja di sektor informal. Dengan cakupan skema
jaminan sosial yang sangat terbatas, kota kurang mampu menjanjikan kenyamanan
bagi mereka dalam berburu rupiah.
Para buruh informal
bagaikan “sepah pembangunan”. Di balik megahnya kota-kota besar, sumbangsih
mereka sering kali dikesampingkan. Pekerjaan mereka diganjar dengan upah
rendah, berubah-ubah, dan ilegal (tidak sah). Majikan kerap menghindari
keterikatan, baik personal, emosional, maupun profesional, sehingga jaminan kerja
dan upah minimum bukan termasuk muatan perjanjian kedua belah pihak. Dengan
demikian, selain sosial, para buruh informal juga mengalami penderitaan psikologis
serta finansial.
Padahal, tidak
selamanya stereotip negatif melekat pada diri mereka. Pembangunan perkotaan
ditopang oleh bekerjanya masyarakat kelas bawah, sehingga problem pengangguran
di perkotaan bisa diminimalisir. Barang tentu realitas ini memperlihatkan
anomali. Di satu sisi, peran dan fungsi mereka tidak bisa diabaikan. Namun di
sisi lain, keberadaan mereka hanya dipandang sebelah mata.
Sebenarnya apa yang
dilakukan Hart telah melahirkan anggapan bahwa mereka yang bekerja di sektor
informal tidak memiliki masa depan dan identik dengan “urban poor”. Klasifikasi Hart terlalu simplistis, seolah sektor
formal dan informal terpisah dan mandiri. Padahal dalam realitasnya, terjadi
interaksi yang intens antara keduanya, di mana salah satu bagian dalam sebuah
sektor tercipta dan tumbuh dari sektor lain.
Oleh karena itu,
daripada menerbitkan PP yang cenderung berpotensi “mengebiri” hak buruh
informal, lebih baik pemerintah mengembangkan logika kreatif. Problem-problem
sosial yang melilit mereka dapat diurai dengan memperluas peluang kerja, memberikan
perlindungan serta meningkatkan kesejahteraan.
Guna memformulasikan
langkah strategis, taktis, dan kontekstual dalam menghadapi dinamika sosial
masyarakat, kota perlu mendapat redefinisi dan reinterpretasi. Bagaimana pun
juga, kota merupakan jejaring logika simbolis yang memuat identitas sosial,
kultural, juga politis. Hal ini dilakukan sebagai penegasan bahwa sektor formal
dan informal saling mengisi dan melengkapi.
Yogyakarta, 2017
Harian waktu, itu koran daerah mana?
BalasHapusKl buruh aku liatny, mreka sering demo, tp knapa masih betah bkerja d situ. Aplg d kota besar/industri, sbgn buruh pdatang, knapa mreka nggak pulkam aja. Trus organisasi buruh yg banyak itu, buruh yg ikut jg bayar iuaran, pluang uang ny ini gede. Jk buruh bsatu jg kekuatan yg besar, knapa mreka sptny blm