Pemerintah Desa
(Pemdes) Buko, Wedung, Demak, sibuk menertibkan tanah bondo deso. Di samping menghindari sengketa, sertifikasi 25 bidang tanah
milik desa juga dimaksudkan sebagai sarana tertib administrasi. Mereka ingin
mendukung upaya Pemkab Demak dalam meraih status wajar tanpa pengecualian (WTP)
pada tahun 2017.
Langkah ini ditempuh
setelah pamong melihat kenyataan bahwa banyak pihak kurang memiliki kepedulian
terhadap status tanah bondo deso. Setelah
pamong melelang dan melepaskannya ke masyarakat, seringkali luas tanah desa
tersebut berubah, bahkan menyusut. Terjadi kecerobohan penggarap saat melakukan
proses pengolahan.
Fakta di atas menandakan
munculnya kesadaran pamong untuk melindungi aset desa. Mereka berharap pemasukan
yang mengalir ke desa berjalan sebagaimana mestinya agar pembangunan senantiasa
terlaksana. Bagaimanapun, kesejahteraan orang desa salah satunya ditopang oleh
terpeliharanya tanah bondo deso.
Rupiah yang dihasilkan darinya bisa dimanfaatkan untuk mengolah sumber daya
alam, mengembangkan potensi lokal, serta memberdayakan masyarakat perdesaan.
Globalisasi menuntut
orang-orang desa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Mereka dihadapkan
pada realitas dengan ciri dan karakteristik yang berbeda dengan masa silam. Apabila
tetap terkungkung dalam alam tradisional, tentu mereka akan dilindas oleh roda
waktu. Saat arus modenitas tak mampu dibendung, sertifikasi tanah bondo deso merupakan keniscayaan.
Konvensi dalam
masyarakat perdesaan tidak selamanya didasarkan pada kepercayaan, melainkan
juga mekanisme “hitam di atas putih”. Dalam beberapa aspek, pemikiran
masyarakat mulai bergeser. Pola pikir lapuk ditinggalkan dan tergantikan oleh
pemikiran progresif. Futurisme membimbing mereka dalam bersikap, berperilaku,
serta mengambil keputusan. Mereka tidak lagi terikat pada kondisi lampau,
tetapi mulai mengarahkan perhatian pada kehidupan masa depan. Tak heran jika
akhir-akhir ini terdapat kecenderungan bahwa mereka menghendaki kepastian hukum,
terutama menyangkut kepentingan publik.
Secuplik
Sejarah
Keberadaan tanah bondo deso tidak terlepas dari eksistensi
tanah komunal. Berdasarkan catatan D.H. Burger, pada tahun 1929, pamong desa
mulai kepala desa, carik, kamitua, kebayan, kepetengan, hingga modin memperoleh
tanah komunal. Pada tahun-tahun berikutnya, sawah komunal yang kurang terurus berubah
bentuk menjadi sawah bondo deso,
suatu lembaga modern yang setiap tahun disewakan bagi keuntungan kas desa
(S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 2008: 108).
Di wilayah perdesaan, hak
garap atas tanah komunal mengacu pada dua sumber, yaitu pemberian dan
pelelangan. Tanah komunal yang diberikan kepada warga biasanya disebut norowito, gogolan, pekulen, playangan,
kesikepan, dan sejenisnya. Sedangkan tanah-tanah yang memperoleh hak garap
berdasarkan pelelangan umumnya dinamakan titisara,
bondo deso atau kas desa.
Para warga yang berhak
menerima hak garap berdasarkan pemberian (redistribusi) adalah orang-orang yang
memenuhi persyaratan berikut: telah berumah tangga, mempunyai rumah dan pekarangan,
serta mengikuti kerja wajib desa. Terhadap tanah titisara, bondo deso, dan kas
desa, setiap warga mengantongi peluang untuk mendapatkan hak garapnya
melalui suatu pelelangan. Pemegang hak garap wajib membayar sejumlah uang yang
akan dimanfaatkan bagi keperluan pemeliharaan desa, semisal perbaikan jembatan,
pelebaran jalan, renovasi masjid, dan sebagainya (Ilyas Ismail, 2011: 143).
Kepemilikan
Aset
Sertifikasi tanah bondo deso di Buko, Wedung, menjadi
contoh sekaligus pilot project bagi
desa-desa lainnya. Hal ini dikarenakan, di beberapa tempat, masih banyak aset
desa yang terbengkalai sehingga rentan memancing konflik dan problematika
sosial. Dalam taraf tertentu, situasi demikian kerap merugikan desa.
Merosotnya kekayaan
desa antara lain disebabkan berkurangnya aset. Hak desa digerogoti oleh pihak
tak bertanggung jawab yang memaksakan kepentingan pribadi. Tergerusnya
nilai-nilai komunal oleh nilai-nilai individual menjadikan sebagian orang mudah
mengorbankan kepentingan bersama. Belum lagi para pemodal yang ingin
mengembangkan investasi sekaligus melancarkan kapitalisasi. Industrialisasi genap
membuat tanah-tanah di desa menyempit. Lahan-lahan kosong telah dikapling
sedemikian rupa oleh kaum urban yang bernafsu mengeruk keuntungan hingga
wilayah pedalaman. Akibatnya, kaum petani merutuki penderitaan lantaran sawah mereka
beralih fungsi menjadi mall dan pusat
perbelanjaan. Mereka terperosok dalam kubangan pengangguran dan terbelit oleh
beban utang. Ketiadaan modal membuat mereka seolah terusir dari tanah
kelahiran.
Atas dasar inilah, para
kepala desa beserta jajarannya dapat bersinergi dalam upaya mengamankan
kekayaan desa. Dewasa ini, status tanah bondo
deso beserta batas-batasnya tidak bisa lagi didasarkan pada kesaksian
sesepuh desa. Mereka tak mungkin mengandalkan ingatan orang-orang tua yang
seringkali dimanipulasi oleh oknum-oknum tertentu. Dalam konteks inilah, sertifikat
tanah menjadi bukti atas kekayaan desa yang harus senantiasa dijaga. Bagaimanapun,
kepemilikan aset merupakan modal terwujudnya prinsip-prinsip good governance di tingkat lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar