Bagi generasi masa kini, menghayati
primbon tak ubahnya berburu risiko. Di balik gemerlapnya dunia, suatu
masyarakat yang mengamini primbon terbebani dengan julukan tradisional,
konservatif, dan terbelakang. Modernitas seakan membelakangi segala hal yang berbau
takhayul dan irasional. Maka, daripada mengantongi julukan “kampungan”, lebih
baik mereka menjauhinya.
Padahal, dulu kala, primbon bak
primadona. Ia memiliki tempat di hati masyarakat, sebab berfungsi sebagai
pedoman perhitungan waktu baik maupun buruk dalam melaksanakan perhelatan serta
upacara. Bahkan, masyarakat tradisional menaruh keyakinan bahwa di dalamnya
terdapat power yang mampu
menggalakkan perlawanan kepada kolonialisme. Buku primbon menyimpan energi
besar yang sanggup menggerus kaum penjajah. Apa yang ditawarkannya mengandung
ikhtiar dalam memaksa Wong Londo
untuk hengkang dari bumi pertiwi.
Catatan sejarah menyebutkan,
pemerintah kolonial pernah melakukan sensor ketat terhadap bacaan penduduk
desa. Buku primbon yang disembunyikan para petani, terutama yang berisi
kumpulan ramalan, jampi dan rajah, harus diserahkan kepada
pemerintah kolonial untuk diteliti. Jika terbukti memuat ramalan tentang
datangnya Ratu Adil atau Imam Mahdi, barang tentu buku tersebut disita dan
dilenyapkan. Dianggap berbahaya, buku jenis ini rentan mewariskan sikap
subversif kalangan pribumi.
Pada abad ke-19, wilayah perdesaan
masih kental dengan sejumlah ideologi tradisional, seperti Ratu Adilisme
(mesianisme), milenarisme, nativisme, revivalisme, dan lain sebagainya. Dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas
Pembaratan, Denys Lombard (1996) mensinyalir bahwa ideologi-ideologi
tersebut sangat potensial menjiwai petani dalam melancarkan aksi protes melawan
modernisasi serta dampak penetrasi rezim kolonial Belanda.
Kekhawatiran pihak kolonial
terhadap ideologi-ideologi di atas memang beralasan. Berkobarnya Perang Jawa
yang memakan korban 200.000 jiwa, misalnya, memperoleh dorongan kuat dari mitos
Ratu Adil yang melebur dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Betapa mesianisme
mampu mengobarkan semangat juang kaum pribumi untuk segera mengakhiri
pendudukan kolonial.
Dwi Eriska Agustin (2009), dalam
penelitiannya berjudul Pengaruh Mitos
Ratu Adil dalam Perang Jawa
(1825-1830), menyebutkan bahwa Mayarakat Jawa kerap mengaitkan mitos Ratu
Adil dengan ramalan Prabu Jayabaya. Dalam karya-karyanya, sastrawan Jawa
tersebut menganggap bahwa penderitaan yang dialami rakyat, semisal beratnya
beban pajak, merosotnya hasil bumi, timpangnya hukum, tidak berjalannya syariat
Tuhan, berkuasanya orang zalim, buruknya pemerintahan, terjadinya bencana alam,
serta menjamurnya krisis sosial, akan hilang dengan datangnya Ratu Adil. Mitos
Ratu Adil terwujud dalam tampilnya seorang pemimpin yang menyelesaikan berbagai
permasalahan atau krisis yang melanda.
Lebih lanjut, Dwi mengatakan,
perubahan zaman meniscayakan suatu gerakan yang ditopang oleh kekuatan seorang
pemimpin sebagai Ratu Adil. Dalam konteks Perang Jawa, mitos Ratu Adil dapat
dilihat dari munculnya tokoh karismatik yaitu Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Sosok yang dianggap sebagai “wali Tuhan” ini dipercaya mampu menangkap seluruh
penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Melalui wibawanya, ia memosisikan diri
sebagai pemikat massa, katalisator keluhan rakyat, penampung ide-ide komunal,
serta pemupuk harapan terciptanya kehidupan yang adil dan sejahtera.
Boleh dibilang, materialisme,
pragmatisme, dan hedonisme yang menjadi dasar pijakan bercokolnya imperialisme
Belanda di bumi Nusantara ternyata takluk hanya oleh buku primbon. Kesombongan
dan kecongkakan kolonial ditertawakan oleh primbon. Martabat dan rasa bangga
selaku kaum penjajah tumbang. Kepercayaan diri sebagai bangsa pemenang goyah.
Dalam taraf tertentu, ternyata, buku primbon sanggup membuat nyali penguasa
menciut.
“Teror” yang dihunjamkan semakin
lengkap, dikarenakan selain rongrongan psikis, primbon juga menebar ancaman
fisik. Beberapa buku primbon mengajarkan pembaca tentang resep-resep kekebalan
tubuh, cara memperoleh kekuatan, serta kiat meningkatkan kesaktian. Buku jenis
ini menularkan pengetahuan mengenai cara menghadapi musuh secara ragawi.
Tak heran jika dalam kacamata
kolonial, buku primbon dicurigai dapat membangkitkan huru-hara yang sukar
diredam. Pemberontakan besar bisa lahir dari sebuah buku primbon. Oleh karena
itu, memberangusnya merupakan keniscayaan. Namun demikian, tampaknya mereka
mengalami kebingungan dalam membendung tersebarnya buku-buku primbon. Dalam
kebijakannya, pemerintah kolonial terkesan plinplan. Di satu sisi, mereka ingin
segala bentuk agitasi dan propaganda dihancurkan. Akan tetapi, di sisi lain,
mereka membiarkan “literasi primbon” tetap tumbuh dalam kehidupan masyarakat.
Asumsi ini berdasarkan fakta bahwa
pada waktu Belanda menjadi bahasa resmi pemerintah, bahasa-bahasa daerah masih
diperhatikan. Identitas kedaerahan dan kesukuan tetap dihormati.
Sekolah-sekolah di desa dibiarkan menggunakan bahasa daerah sebagai
pengantarnya. Bahkan, pada tanggal 14 September 1908, didirikan Commissie voor
de Volkslectuur (Balai Pustaka) dengan tujuan mengembangkan beberapa bahasa
daerah utama di Hindia Belanda (Jawa, Sunda, Melayu, dan Madura). Buku-buku
primbon berbahasa Jawa, seperti Betaljemur
Adammakna, Atassadhur Adammakna, serta Lukmanakim
Adammakna, terus diterbitkan, meski tentu saja “diselaraskan” dengan
kepentingan-kepentingan kolonial.
Problematis memang, di satu sisi
khazanah primbon menjadi ancaman bagi kaum kolonial tetapi di sisi lain juga
harus dirawat agar “tidak liar”.
Lepas dari tilikan sejarah
tersebut, seyogianya kini generasi kita tidak abai pada keberadaan buku-buku
primbon ini. Apalagi memandangnya kolot dan terbelakang, sebab bagaimanapun
sederhananya, semua khazanah lama itu merupakan bagian dari bangunan besar
bangsa ini.
Bro minta email/kontakmu dong.. HP / WA k reset, nomerny khapus
BalasHapusini bro: 085649773437
BalasHapus