Jumat, 03 Maret 2017

Primbon yang Subversif (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di jurnal "Basabasi" edisi Kamis, 2 Maret 2017)

Bagi generasi masa kini, menghayati primbon tak ubahnya berburu risiko. Di balik gemerlapnya dunia, suatu masyarakat yang mengamini primbon terbebani dengan julukan tradisional, konservatif, dan terbelakang. Modernitas seakan membelakangi segala hal yang berbau takhayul dan irasional. Maka, daripada mengantongi julukan “kampungan”, lebih baik mereka menjauhinya.
Padahal, dulu kala, primbon bak primadona. Ia memiliki tempat di hati masyarakat, sebab berfungsi sebagai pedoman perhitungan waktu baik maupun buruk dalam melaksanakan perhelatan serta upacara. Bahkan, masyarakat tradisional menaruh keyakinan bahwa di dalamnya terdapat power yang mampu menggalakkan perlawanan kepada kolonialisme. Buku primbon menyimpan energi besar yang sanggup menggerus kaum penjajah. Apa yang ditawarkannya mengandung ikhtiar dalam memaksa Wong Londo untuk hengkang dari bumi pertiwi.
Catatan sejarah menyebutkan, pemerintah kolonial pernah melakukan sensor ketat terhadap bacaan penduduk desa. Buku primbon yang disembunyikan para petani, terutama yang berisi kumpulan ramalan, jampi dan rajah, harus diserahkan kepada pemerintah kolonial untuk diteliti. Jika terbukti memuat ramalan tentang datangnya Ratu Adil atau Imam Mahdi, barang tentu buku tersebut disita dan dilenyapkan. Dianggap berbahaya, buku jenis ini rentan mewariskan sikap subversif kalangan pribumi.
Pada abad ke-19, wilayah perdesaan masih kental dengan sejumlah ideologi tradisional, seperti Ratu Adilisme (mesianisme), milenarisme, nativisme, revivalisme, dan lain sebagainya. Dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan, Denys Lombard (1996) mensinyalir bahwa ideologi-ideologi tersebut sangat potensial menjiwai petani dalam melancarkan aksi protes melawan modernisasi serta dampak penetrasi rezim kolonial Belanda.
Kekhawatiran pihak kolonial terhadap ideologi-ideologi di atas memang beralasan. Berkobarnya Perang Jawa yang memakan korban 200.000 jiwa, misalnya, memperoleh dorongan kuat dari mitos Ratu Adil yang melebur dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Betapa mesianisme mampu mengobarkan semangat juang kaum pribumi untuk segera mengakhiri pendudukan kolonial.
Dwi Eriska Agustin (2009), dalam penelitiannya berjudul Pengaruh Mitos Ratu Adil dalam Perang Jawa (1825-1830), menyebutkan bahwa Mayarakat Jawa kerap mengaitkan mitos Ratu Adil dengan ramalan Prabu Jayabaya. Dalam karya-karyanya, sastrawan Jawa tersebut menganggap bahwa penderitaan yang dialami rakyat, semisal beratnya beban pajak, merosotnya hasil bumi, timpangnya hukum, tidak berjalannya syariat Tuhan, berkuasanya orang zalim, buruknya pemerintahan, terjadinya bencana alam, serta menjamurnya krisis sosial, akan hilang dengan datangnya Ratu Adil. Mitos Ratu Adil terwujud dalam tampilnya seorang pemimpin yang menyelesaikan berbagai permasalahan atau krisis yang melanda.
Lebih lanjut, Dwi mengatakan, perubahan zaman meniscayakan suatu gerakan yang ditopang oleh kekuatan seorang pemimpin sebagai Ratu Adil. Dalam konteks Perang Jawa, mitos Ratu Adil dapat dilihat dari munculnya tokoh karismatik yaitu Pangeran Diponegoro (1785-1855). Sosok yang dianggap sebagai “wali Tuhan” ini dipercaya mampu menangkap seluruh penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Melalui wibawanya, ia memosisikan diri sebagai pemikat massa, katalisator keluhan rakyat, penampung ide-ide komunal, serta pemupuk harapan terciptanya kehidupan yang adil dan sejahtera.
Boleh dibilang, materialisme, pragmatisme, dan hedonisme yang menjadi dasar pijakan bercokolnya imperialisme Belanda di bumi Nusantara ternyata takluk hanya oleh buku primbon. Kesombongan dan kecongkakan kolonial ditertawakan oleh primbon. Martabat dan rasa bangga selaku kaum penjajah tumbang. Kepercayaan diri sebagai bangsa pemenang goyah. Dalam taraf tertentu, ternyata, buku primbon sanggup membuat nyali penguasa menciut.
“Teror” yang dihunjamkan semakin lengkap, dikarenakan selain rongrongan psikis, primbon juga menebar ancaman fisik. Beberapa buku primbon mengajarkan pembaca tentang resep-resep kekebalan tubuh, cara memperoleh kekuatan, serta kiat meningkatkan kesaktian. Buku jenis ini menularkan pengetahuan mengenai cara menghadapi musuh secara ragawi.
Tak heran jika dalam kacamata kolonial, buku primbon dicurigai dapat membangkitkan huru-hara yang sukar diredam. Pemberontakan besar bisa lahir dari sebuah buku primbon. Oleh karena itu, memberangusnya merupakan keniscayaan. Namun demikian, tampaknya mereka mengalami kebingungan dalam membendung tersebarnya buku-buku primbon. Dalam kebijakannya, pemerintah kolonial terkesan plinplan. Di satu sisi, mereka ingin segala bentuk agitasi dan propaganda dihancurkan. Akan tetapi, di sisi lain, mereka membiarkan “literasi primbon” tetap tumbuh dalam kehidupan masyarakat.
Asumsi ini berdasarkan fakta bahwa pada waktu Belanda menjadi bahasa resmi pemerintah, bahasa-bahasa daerah masih diperhatikan. Identitas kedaerahan dan kesukuan tetap dihormati. Sekolah-sekolah di desa dibiarkan menggunakan bahasa daerah sebagai pengantarnya. Bahkan, pada tanggal 14 September 1908, didirikan Commissie voor de Volkslectuur (Balai Pustaka) dengan tujuan mengembangkan beberapa bahasa daerah utama di Hindia Belanda (Jawa, Sunda, Melayu, dan Madura). Buku-buku primbon berbahasa Jawa, seperti Betaljemur Adammakna, Atassadhur Adammakna, serta Lukmanakim Adammakna, terus diterbitkan, meski tentu saja “diselaraskan” dengan kepentingan-kepentingan kolonial.
Problematis memang, di satu sisi khazanah primbon menjadi ancaman bagi kaum kolonial tetapi di sisi lain juga harus dirawat agar “tidak liar”.
Lepas dari tilikan sejarah tersebut, seyogianya kini generasi kita tidak abai pada keberadaan buku-buku primbon ini. Apalagi memandangnya kolot dan terbelakang, sebab bagaimanapun sederhananya, semua khazanah lama itu merupakan bagian dari bangunan besar bangsa ini.

Bojonegoro, 2016

2 komentar: