Digitalisasi dan
virtualisasi membuat informasi bertebaran ke berbagai penjuru. Perangkat dunia
maya menjanjikan kemudahan dalam mengakses informasi, baik dari dalam maupun
luar negeri. Kini, manusia tidak lagi dihadapkan dengan kompleksitas dan
kerumitan dalam berburu berita. Dengan “sekali klik”, dalam hitungan detik, ribuan
bahkan jutaan informasi terpapar di depan mata.
Kejayaan era digital
didukung dengan menjamurnya media sosial (medsos) yang lahir sebagai respons
atas bergairahnya pasar virtual akhir-akhir ini. Keaktifan dan keterlibatan di
medsos antara lain ditandai dengan seberapa sering mereka mengunggah suatu
berita. Dengan atau tanpa pretensi, mereka seolah mengantongi kepercayaan untuk
menyebarkan informasi tersebut kepada orang lain. Mereka begitu bangga setelah
menyampaikan “amanah virtual”. Dengan demikian, eksistensi manusia modern dimaknai
sebatas pada pencitraan pegiat virtual yang genap mengakses informasi,
membacanya, kemudian melemparnya ke ruang publik.
Sayangnya, acapkali
mereka melakukannya tanpa meneliti kadar kesahihannya. Akhirnya, kualitas isi
berita diragukan dan dipertanyakan. Pada saat inilah tercipta ketimpangan
antara cara pemerolehan informasi dengan usaha membumikannya. Padahal, guna
memperoleh data yang akurat, diperlukan pencermatan, pengendapan, serta
kontemplasi. Warta yang menyeruak ke permukaan tidak boleh diterima begitu
saja, melainkan harus melewati seleksi dan filter yang ketat.
Paradoks
Saat dunia menapaki era
borderless society, pemilahan antara
kaum urban dengan wong ndesa,
terutama dalam arus teknologi informasi, kurang lagi relevan. Digitalisasi dan
virtualisasi menyerang siapa saja yang tergiur oleh gegap gempita teknologi. Warung-warung
kopi di pelosok desa yang awalnya hanya menyajikan jajanan tradisional, kini
mulai menyediakan layanan wifi. Sehingga, tidak hanya orang kota, orang desa
pun menikmati membludaknya informasi dari beragam sumber. Asalkan gadget dan laptop tersambung dengan
jaringan internet, mereka dapat mengunduh apa pun yang termuat pada laman
virtual.
Tersebarnya wifi di
wilayah pedalaman menimbulkan anomali dan paradoks. Di satu sisi, berpredikat “melek
tenologi”, orang desa leluasa memasarkan produk dan hasil kreativitasnya ke berbagai
tempat. Batas geografi dan teritorial tidak lagi menghalangi siapa saja untuk mendatangkan
pemasukan dari luar. Kala modernisasi dan globalisasi semakin tak terbendung, mereka
juga dapat memosisikan diri dalam memaknai perubahan zaman.
Di sisi lain, orang menjadi
rentan terjebak pada pemberitaan abal-abal (hoax).
Jika kurang berhati-hati, apa yang di-share
oleh pengguna medsos bakal berbuntut panjang. Dalam konteks inilah, demokrasi
digerogoti oleh aksi pegiat virtual yang sekadar ingin menjaring like serta komentar. Demokrasi dibajak
oleh penyebar hoax yang bernafsu
merekrut follower sebanyak mungkin.
Kontrol
Sosial
Pada dasarnya, Pasal 28
Konstitusi melindungi hak setiap warga negara dalam melontarkan pikiran. Dengan
terbitnya aturan ini, sebagian orang mengartikan kebebasan berpendapat boleh
dilakukan, meski tanpa dibekali kapasitas dan kredibilitas. Mereka menyamakan suara
profesor dengan orang yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Akibat
persepsi tersebut, belakangan muncul problematika bangsa yang akut. Berjibunnya
kicauan ngawur lewat medsos memantik
perselisihan antarumat. Mereka lihai memanfaatkan perangkat teknologi, namun
gagap ketika mencerna konten informasi. Padahal, supaya demokrasi berjalan pada
relnya, harus ada kearifan, kesadaran, serta mawas diri.
Selama ratusan tahun, harmoni
terutama di pedesaan tercipta antara lain karena adanya rerasan. Mekanisme ini melindungi warga dari segala anasir hoax. Di samping menjadi alat kontrol
sosial yang mengekang setiap individu dari pelanggaran norma, rerasan juga berfungsi menepis berita sesat.
Lantaran dilakukan secara berkelompok, rerasan
selalu diuji validitas dan keabsahannya. Apalagi, dekatnya objek pemberitaan memudahkan
masyarakat untuk memeriksa ketepatan muatan berita.
Demi membentuk generasi
virtual yang cerdas, penggunaan rerasan
dalam “bungkus” lama memang kurang relevan. Akan tetapi, rerasan dapat dihidupkan kembali dengan format baru dan ideal. Kontrol
sosial dalam dunia maya, khususnya medsos, dapat dijalankan dengan menampilkan rerasan virtual. Sebelum menyebarkan
berita, pengguna medsos dituntut untuk meninjau terlebih dahulu kebenarannya lewat
sumber-sumber terpercaya. Ketika berdebat tentang tema-tema yang butuh
pendalaman, lebih baik mereka menggandeng para pakar. Jika wacana ini terwujud,
niscaya semua orang bisa berteriak lantang: “Selamat tinggal hoax!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar