Selasa, 07 Februari 2017

Nasionalisme Orang Desa (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Selasa, 7 Februari 2017)


Orang desa begitu menghormati dan menjunjung tinggi harkat martabat negara. Loyalitas terhadap hukum dan pemerintah tercermin dalam idiom desa mawa cara negara mawa tata (desa berjalan dengan adat istiadat, negara diatur dengan undang-undang). Demi negara, apa pun mereka korbankan.
Meskipun secara material mereka kerap dirugikan, tetapi rela karena kagem negara (untuk negara). Mereka yakin, kesetiaan terhadap pemerintah atau pamong praja bakal mengundang berkah. Pemerintah dianggap lembaga yang mampu memelihara dan mewujudkan tatanan sosial gemah ripah loh jinawi karta raharja (HM Nasruddin Anshoriy Ch, 2008: 31).
Muncul kebanggan tak terkira ketika orang desa mampu menyumbang tenaga, pikiran, bahkan materi. Perasaan inilah yang membuat mereka berlomba-lomba berderma demi kepentingan bersama. Sebaliknya, jika tak sanggup menghormat, penyesalan seakan tak pernah hilang. Dalam taraf tertentu, cita-cita dan kehendak kolektif melampui kemampuan orang-orang pedalaman. Mereka tetap berupaya menunjukkan dedikasi, meski terbatas.
Saat wilayah perdesaan masih dikungkung prinsip-prinsip kolektivitas, kepuasan spiritual kerap mengalahkan hasrat individual, sehingga perilaku orang desa jauh dari pamrih dan jumawa. Setiap berbuat baik, mereka tak mengharap balasan. Pikirannya fokus demi negara. Dengan demikian, sumbangsih dan jerih payah orang desa lebih diarahkan untuk meraih kebahagiaan hakiki. Mereka lebih ingin memberi daripada menerima. Prioritas utama bukanlah hak, tapi kewajiban selaku warga negara. Sikap seperti ini senantiasa diwariskan lintas generasi.
Dalam lakon pewayangan Sumantri Ngenger digambarkan loyalitas orang desa ke negara. Lakon ini mengisahkan Sumantri, seorang anak desa, berhasrat mengabdikan diri pada Keraton Maespati di bawah pemerintahan Prabu Arjuna Sasrabahu. Dia menghadapi dilema saat harus memilih berkhidmat pada negara atau mengorbankan sang adik, Sukrosono. Dia memutuskan memilih Negara dan merelakan nyawa saudaranya. Sumantri Ngenger membawa pengaruh luar biasa bagi jalan pikiran sebagian besar orang desa. Urusan negara lebih penting dari keluarga (HM Nasruddin Anshoriy Ch, 2008: 32).
Sejak masa kerajaan, loyalitas orang desa terhadap negara tak diragukan. Mereka tidak pernah membangkang titah raja. Wujud berbakti sebagai rakyat ditunjukkan dengan cara mengindahkan instruksi keraton. Bagi orang desa, pemegang kekuasaan adalah pengayom dan pelindung. Dominasi kedudukan raja berimplikasi luas terhadap perkembangan pola berpikir masyarakat. Sikap mematuhi raja merupakan realisasi dari kewajiban utama yang harus selalu mereka perhatikan.
Memang di satu sisi, kepatuhan membabi-buta terbukti memperkokoh akar feodalisme. Akan tetapi, di sisi lain, sikap ini membuktikan orang desa memiliki kepedulian luar biasa good governance. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka berusaha menjunjung tinggi harmonisasi. Kepatuhan menggambarkan implementasi keinginan untuk menciptakan keteraturan dan menghindari chaos. Ketaatan juga membuktikan “balas jasa” kepada raja yang melindungi. Orang desa merasa aib bila tidak membalas kebaikan. Ini akan membebani secara sosial. Boleh dibilang, ketundukan terhadap beragam peraturan kerajaan sebagai wujud harmonisasi dan balas jasa.
Pada masa kolonial, nasionalisme orang desa pun sudah terlihat. Dengan segenap tenaga, mereka mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi. Mereka menyiapkan logistik para pejuang. Perempuan-perempuan desa menyiapkan hidangan pejuang.
Akhir-akhir ini, banyak kalangan pesimistis terhadap nasionalisme orang desa. Tingkat kecintaan mereka terhadap Tanah Air merosot drastis. Namun demikian, sikap ini lahir bukan tanpa sebab. Jika ditelusuri, apatisme orang desa terhadap hukum dan kebijakan pemerintah terutama munculnya benih-benih pragmatisme.
Kala modernisasi menyentuh perdesaan, warga cenderung apatis. Merosotnya kepedulian terhadap kepentingan publik antara lain karena budaya urban merecoki cara berpikir mereka. Akhirnya, kebersamaan tergerus prinsip hidup perkotaan yang cenderung individualistis. Prinsip hidup modern membuat beragam nilai dari luar masuk desa dan membentuk psikologi masyarakat.

Sosiologis
Lantaran mempunyai akar historis kokoh, etos nasionalisme tidak mungkin hilang dari desa. Prinsip-prinsip nasionalisme telah menancap erat. Hanya, mereka kerap dipusingkan dengan kebutuhan sehari-hari. Tak bisa dimungkiri, waktu mereka tersita untuk menyumpal perut. Realitas ini menimbulkan kesan menepikan tuntutan negara.
Padahal, tuduhan apatisme terhadap masa depan bangsa tak sepenuhnya benar. Dengan demikian, kurang pantas jika label tak acuh, masa bodoh, atau predikat negatif lain dilekatkan pada penduduk desa. Mereka tetap peduli pada problematika bangsa dan negara.
Dalam berbagai kesempatan, daya kritisnya muncul. Di sela-sela menggarap sawah atau bersantai di warung kopi, mereka membicarakan perilaku elite politik yang jauh dari norma dan etika. Harga cabai yang melonjak dengan leluasa. Pupuk yang susah didapat, kecuali bermodal kongkalikong dengan perangkat desa. Sensitivitas orang desa inilah yang semestinya disentuh.
Maka, dalam upaya mewujudkan kesadaran berbangsa, diperlukan pendekatan sosiologis. Apalagi terdapat tendensi kurang seimbangnya tuntutan dan harapan. Di satu sisi, negara gemar menuntut rakyat menaati hukum. Akan tetapi, kesejahteraan rakyat tak dipenuhi. Kesejahteraan hanya ada di lidah calon pemimpin.
Setelah mereka menyelonjorkan kaki di kursi kekuasaan, janji menguap dengan sendirinya. Tiada yang tersisa bagi rakyat, kecuali kekecewaan dan penderitaan. Padahal, apabila pemerintah ingin warga mendukung, kesejahteraan haraus diprioritaskan. Negara tegak karena warga mendukung dan hormat terhadap hukum serta kebijakan pemerintah.
Di samping itu, konsep nasionalisme juga harus dirombak. Bagi orang desa, bentuk kecintaan terhadap negara bisa diwujudkan dengan bermukim dan bersiaga di tanah kelahiran. Laju urbanisasi semestinya ditekan demi mempertahankan figur-figur potensial. Mengingat, pada tahun 2035, diperkirakan hanya 35 persen penduduk desa.
Sebagai wujud pembentukan kader bela negara, semestinya pemuda desa senantiasa dibekali wawasan kebangsaan agar militan dan siap melindungi negara dari segala ancaman. Apalagi, kasus-kasus kekerasan di berbagai daerah menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya paham mengenai konsep, prinsip, dan nilai-nilai nasionalisme sehingga mudah terpancing aksi provokator yang bernafsu memecah belah persatuan.
Dalam rangka merevitalisasi patriotisme, generasi muda dapat diberdayakan untuk senantiasa menyukseskan program bela negara di kawasan pinggiran. Mereka dibekali pengertian bahwa pengorbanan merupakan wujud rasa cinta terhadap Tanah Air. Sebagai orang yang bermukim di suatu wilayah, mereka berkewajiban memuliakan tanah kelahiran.
Pemuda desa merupakan ujung tombak perjuangan rakyat. Urgensi mereka dalam mengukuhkan fondasi kewibawaan dan kedaulatan negara harus ditonjolkan. Perangkat desa harus mampu memberdayakan potensinya dalam bidang pertahanan dan keamanan. Dengan political will yang kuat, niscaya “nasionalisme perdesaan” tumbuh kembali.

Yogyakarta, 1 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar