Orang desa begitu
menghormati dan menjunjung tinggi harkat martabat negara. Loyalitas terhadap
hukum dan pemerintah tercermin dalam idiom desa
mawa cara negara mawa tata (desa berjalan dengan adat istiadat, negara
diatur dengan undang-undang). Demi negara, apa pun mereka korbankan.
Meskipun secara
material mereka kerap dirugikan, tetapi rela karena kagem negara (untuk negara). Mereka yakin, kesetiaan terhadap
pemerintah atau pamong praja bakal mengundang berkah. Pemerintah dianggap
lembaga yang mampu memelihara dan mewujudkan tatanan sosial gemah ripah loh
jinawi karta raharja (HM Nasruddin Anshoriy Ch, 2008: 31).
Muncul kebanggan tak
terkira ketika orang desa mampu menyumbang tenaga, pikiran, bahkan materi.
Perasaan inilah yang membuat mereka berlomba-lomba berderma demi kepentingan
bersama. Sebaliknya, jika tak sanggup menghormat, penyesalan seakan tak pernah
hilang. Dalam taraf tertentu, cita-cita dan kehendak kolektif melampui
kemampuan orang-orang pedalaman. Mereka tetap berupaya menunjukkan dedikasi, meski
terbatas.
Saat wilayah perdesaan
masih dikungkung prinsip-prinsip kolektivitas, kepuasan spiritual kerap
mengalahkan hasrat individual, sehingga perilaku orang desa jauh dari pamrih
dan jumawa. Setiap berbuat baik, mereka tak mengharap balasan. Pikirannya fokus
demi negara. Dengan demikian, sumbangsih dan jerih payah orang desa lebih
diarahkan untuk meraih kebahagiaan hakiki. Mereka lebih ingin memberi daripada
menerima. Prioritas utama bukanlah hak, tapi kewajiban selaku warga negara.
Sikap seperti ini senantiasa diwariskan lintas generasi.
Dalam lakon pewayangan Sumantri Ngenger digambarkan loyalitas
orang desa ke negara. Lakon ini mengisahkan Sumantri, seorang anak desa,
berhasrat mengabdikan diri pada Keraton Maespati di bawah pemerintahan Prabu Arjuna
Sasrabahu. Dia menghadapi dilema saat harus memilih berkhidmat pada negara atau
mengorbankan sang adik, Sukrosono. Dia memutuskan memilih Negara dan merelakan
nyawa saudaranya. Sumantri Ngenger
membawa pengaruh luar biasa bagi jalan pikiran sebagian besar orang desa.
Urusan negara lebih penting dari keluarga (HM Nasruddin Anshoriy Ch, 2008: 32).
Sejak masa kerajaan,
loyalitas orang desa terhadap negara tak diragukan. Mereka tidak pernah
membangkang titah raja. Wujud berbakti sebagai rakyat ditunjukkan dengan cara
mengindahkan instruksi keraton. Bagi orang desa, pemegang kekuasaan adalah
pengayom dan pelindung. Dominasi kedudukan raja berimplikasi luas terhadap
perkembangan pola berpikir masyarakat. Sikap mematuhi raja merupakan realisasi
dari kewajiban utama yang harus selalu mereka perhatikan.
Memang di satu sisi,
kepatuhan membabi-buta terbukti memperkokoh akar feodalisme. Akan tetapi, di
sisi lain, sikap ini membuktikan orang desa memiliki kepedulian luar biasa good governance. Dalam kehidupan sehari-hari,
mereka berusaha menjunjung tinggi harmonisasi. Kepatuhan menggambarkan
implementasi keinginan untuk menciptakan keteraturan dan menghindari chaos. Ketaatan juga membuktikan “balas
jasa” kepada raja yang melindungi. Orang desa merasa aib bila tidak membalas
kebaikan. Ini akan membebani secara sosial. Boleh dibilang, ketundukan terhadap
beragam peraturan kerajaan sebagai wujud harmonisasi dan balas jasa.
Pada masa kolonial,
nasionalisme orang desa pun sudah terlihat. Dengan segenap tenaga, mereka mengusir
penjajah dari Bumi Pertiwi. Mereka menyiapkan logistik para pejuang.
Perempuan-perempuan desa menyiapkan hidangan pejuang.
Akhir-akhir ini, banyak
kalangan pesimistis terhadap nasionalisme orang desa. Tingkat kecintaan mereka
terhadap Tanah Air merosot drastis. Namun demikian, sikap ini lahir bukan tanpa
sebab. Jika ditelusuri, apatisme orang desa terhadap hukum dan kebijakan
pemerintah terutama munculnya benih-benih pragmatisme.
Kala modernisasi
menyentuh perdesaan, warga cenderung apatis. Merosotnya kepedulian terhadap
kepentingan publik antara lain karena budaya urban merecoki cara berpikir
mereka. Akhirnya, kebersamaan tergerus prinsip hidup perkotaan yang cenderung
individualistis. Prinsip hidup modern membuat beragam nilai dari luar masuk
desa dan membentuk psikologi masyarakat.
Sosiologis
Lantaran mempunyai akar
historis kokoh, etos nasionalisme tidak mungkin hilang dari desa.
Prinsip-prinsip nasionalisme telah menancap erat. Hanya, mereka kerap
dipusingkan dengan kebutuhan sehari-hari. Tak bisa dimungkiri, waktu mereka
tersita untuk menyumpal perut. Realitas ini menimbulkan kesan menepikan
tuntutan negara.
Padahal, tuduhan
apatisme terhadap masa depan bangsa tak sepenuhnya benar. Dengan demikian,
kurang pantas jika label tak acuh, masa bodoh, atau predikat negatif lain
dilekatkan pada penduduk desa. Mereka tetap peduli pada problematika bangsa dan
negara.
Dalam berbagai
kesempatan, daya kritisnya muncul. Di sela-sela menggarap sawah atau bersantai
di warung kopi, mereka membicarakan perilaku elite politik yang jauh dari norma
dan etika. Harga cabai yang melonjak dengan leluasa. Pupuk yang susah didapat,
kecuali bermodal kongkalikong dengan perangkat desa. Sensitivitas orang desa
inilah yang semestinya disentuh.
Maka, dalam upaya
mewujudkan kesadaran berbangsa, diperlukan pendekatan sosiologis. Apalagi
terdapat tendensi kurang seimbangnya tuntutan dan harapan. Di satu sisi, negara
gemar menuntut rakyat menaati hukum. Akan tetapi, kesejahteraan rakyat tak
dipenuhi. Kesejahteraan hanya ada di lidah calon pemimpin.
Setelah mereka
menyelonjorkan kaki di kursi kekuasaan, janji menguap dengan sendirinya. Tiada
yang tersisa bagi rakyat, kecuali kekecewaan dan penderitaan. Padahal, apabila
pemerintah ingin warga mendukung, kesejahteraan haraus diprioritaskan. Negara
tegak karena warga mendukung dan hormat terhadap hukum serta kebijakan
pemerintah.
Di samping itu, konsep
nasionalisme juga harus dirombak. Bagi orang desa, bentuk kecintaan terhadap
negara bisa diwujudkan dengan bermukim dan bersiaga di tanah kelahiran. Laju
urbanisasi semestinya ditekan demi mempertahankan figur-figur potensial.
Mengingat, pada tahun 2035, diperkirakan hanya 35 persen penduduk desa.
Sebagai wujud
pembentukan kader bela negara, semestinya pemuda desa senantiasa dibekali
wawasan kebangsaan agar militan dan siap melindungi negara dari segala ancaman.
Apalagi, kasus-kasus kekerasan di berbagai daerah menunjukkan bahwa masyarakat
belum sepenuhnya paham mengenai konsep, prinsip, dan nilai-nilai nasionalisme
sehingga mudah terpancing aksi provokator yang bernafsu memecah belah
persatuan.
Dalam rangka
merevitalisasi patriotisme, generasi muda dapat diberdayakan untuk senantiasa
menyukseskan program bela negara di kawasan pinggiran. Mereka dibekali
pengertian bahwa pengorbanan merupakan wujud rasa cinta terhadap Tanah Air.
Sebagai orang yang bermukim di suatu wilayah, mereka berkewajiban memuliakan
tanah kelahiran.
Pemuda desa merupakan
ujung tombak perjuangan rakyat. Urgensi mereka dalam mengukuhkan fondasi
kewibawaan dan kedaulatan negara harus ditonjolkan. Perangkat desa harus mampu
memberdayakan potensinya dalam bidang pertahanan dan keamanan. Dengan political will yang kuat, niscaya
“nasionalisme perdesaan” tumbuh kembali.
Yogyakarta, 1 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar