Kementerian
Ketenagakerjaan tengah mencanangkan Program Desa Migran Produktif (Desmigratif)
pada Juni 2017. Diluncurkannya program ini merupakan bentuk komitmen pemerintah
untuk menekan angka tenaga kerja Indonesia (TKI). Dengan menyediakan berbagai
infrastruktur, pemerintah bermaksud memberikan dukungan kepada rakyat kecil agar
mereka betah berada di desa dan enggan merantau ke luar negeri.
Pada tahun ini, pemerintah
memasang target 120 desa migran produktif. Desa-desa tersebut akan dibangun di
wilayah kabupaten/kota kantong TKI yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat, Banten, Lampung, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat,
dan Nusa Tenggara Timur. Program ini merupakan terobosan Kementerian
Ketenagakerjaan dalam rangka memberdayakan serta meningkatkan skill orang-orang desa.
Motivasi merantau
Fenomena orang-orang
desa yang pergi meninggalkan tanah kelahiran antara lain dilatarbelakangi oleh
minimnya peluang kerja. Sektor formal yang terlalu birokratis cenderung
menyingkirkan mereka dari ajang persaingan. Adapun sektor informal tidak lagi
menampung jumlah pencari kerja yang setiap hari semakin membludak. Dari tahun
ke tahun, pertambahan penduduk kerap tidak diimbangi dengan tersedianya lahan
pekerjaan. Hal ini membuat orang-orang desa nekat mencari sumber penghidupan ke
kota maupun luar negeri.
Orang Jawa mulai
meragukan falsafah “mangan ora mangan
sing penting kumpul” (makan tidak makan yang penting kumpul) yang dianggap terlalu
basi dan layak ditinggalkan. Kini, mereka sanggup membedakan prinsip hidup yang
dipegang dan nilai-nilai usang yang mesti dibuang. Kurikulum pendidikan, perkembangan
teknologi, dan perubahan kondisi sosial menyebabkan arus modernitas menelusup
ke dalam diri mereka. Sehingga, dalam berpikir, bersikap, dan bertindak, mereka
mempertimbangkan faktor untung-rugi. Betapa rasionalitas selalu membimbing
mereka dalam mengambil keputusan.
Aktivitas merantau juga
didukung oleh ketidakberdayaan desa memaksimalkan potensi warganya. Fakta bahwa
banyak pemuda (berumur 15 tahun sampai dengan 34 tahun) belakangan memilih
menjadi buruh di daerah perkotaan, pinggiran kota, dan sentra pengembangan
industri menyebabkan desa tidak lagi produktif karena hanya digarap oleh orang berusia
tua. Fenomena ini diperparah dengan asumsi para remaja bahwa perbaikan status
sosial-ekonomi tidak mungkin diraih dengan menetap di wilayah pedalaman.
Dalam taraf tertentu, ekonomi
memang bersifat rasional. Ia senantiasa berpihak pada kawasan yang lebih menjanjikan.
Itulah mengapa, negara-negara industri dan kota-kota besar merupakan kawasan
yang lebih produktif daripada desa, terutama dalam mengelola kegiatan ekonomi secara
profesional dan modern. Dengan demikian, minat para investor pada
kawasan-kawasan penarik tenaga kerja tersebut lebih besar dibanding wilayah
perdesaan. Bagaimanapun, berspekulasi menanam investasi di kawasan terakhir dianggap
kurang menguntungkan dan memiliki risiko yang sangat tinggi.
Disguised unemployment
Lantaran ingin mengatrol
kapasitas desa serta orang-orang yang bermukim di dalamnya, Program Desmigratif
selayaknya didukung oleh semua pihak. Namun demikian, persiapan pemerintah dalam
pembentukan desa migran produktif di sejumlah daerah harus benar-benar optimal.
Demi menuai kesuksesan, upaya pengurangan angka pengangguran dan pemberantasan
kemiskinan patut menjadi prioritas utama.
Menurut
T. Gilarso (2004: 209), pengangguran di wilayah perdesaan sering disebut dengan
pengangguran tersembunyi atau tak kentara (disguised
unemployment). Orang-orang desa kerap disibukkan dengan pekerjaan, meski
kurang bernilai ekonomis. Padahal, jika dibiarkan secara terus-menerus, fenomena
ini rentan melahirkan kasus kerusuhan dan kriminalitas yang tentu mengganggu
harmoni desa.
Pemberantasan
kemiskinan dengan mengutamakan posisi strategis sektor pertanian dan perdesaan terkait
erat dengan penyediaan lapangan kerja serta pengurangan disparitas pendapatan dan
aliran tenaga kerja dari bidang agraris ke bidang ekonomi lainnya. Atas dasar
inilah, upaya pengentasan kemiskinan meniscayakan pemberdayaan lapisan masyarakat
terbawah, pengembangan usaha ekonomi produktif, serta pengalokasian akses pasar
yang cukup memadai.
Dibutuhkan beragam strategi
yang bisa diterapkan untuk beberapa lapisan masyarakat sekaligus. Hal ini
dikarenakan, karakter kewirausahaan tidak mungkin tercipta dengan mudah. Dengan
kata lain, perlu pemilahan program yang tegas antara misi sosial pengentasan
kemiskinan dari misi ekonomi produktif dan pemberdayaan skala komersial menuju
pengembangan akses pasar, sistem insentif, serta informasi harga yang berguna
bagi segenap lapisan masyarakat (Bustanul Arifin, 2005: 32).