Akhir-akhir
ini, banyak desa disibukkan dengan hajatan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Dilaksanakannya
Pilkades serentak menyusul penerbitan Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 yang
mengatur tentang prosedur, mekanisme dan rambu-rambu aturan Pilkades.
Di negeri
ini, hingar-bingar panggung politik lokal tak jauh berbeda dengan dinamika
politik nasional. Demi meraih kesuksesan dan memenangkan
rivalitas, beberapa cara ditempuh calon kepala desa. Sayangnya, beberapa di
antara mereka menerapkan “strategi busuk”. Mereka berusaha mendongkrak
elektabilitas dan meraup banyak suara dengan bermodal uang.
Money Politic
Money politic merupakan strategi yang dilegalkan oleh mereka yang ingin memperoleh
jabatan. Uang memberi
jalan bagi siapa saja yang ingin melenggang dalam jagat politik. Orang-orang
yang dibekali modal finansial dapat dengan mudah menggerakkan arus politik
lokal. Dinamika politik seolah disetir oleh mereka yang berdompet. Momentum
pemilihan kepala desa begitu dinantikan oleh orang-orang kecil terutama saat
paceklik. Geliat demokrasi lokal disambut oleh mereka yang berada dalam kondisi
ekonomi terjepit. Meroketnya prosentase rakyat miskin mencoblos berimbas pada
suksesnya penyelenggaraan Pilkades. Boleh dibilang, terdapat hubungan timbal
balik antara keduanya.
Dengan getolnya persaingan calon
kepala desa dalam membagikan uang, tentu mereka merasa diuntungkan. Sebab, hanya
dengan berdiam di rumah, seseorang memperoleh uang tanpa perlu bekerja dan
memeras keringat. Dorongan sosiologis dan ekonomis melatarbelakangi kesediaan
orang-orang pergi ke tempat pemungutan suara (TPS). Keterlibatan mereka dalam
hingar-bingar pesta demokrasi tidak didorong oleh keinginan mencari pemimpin
yang ideal, melainkan kecenderungan mencari rupiah. Di sinilah terjadi
pergeseran pelembagaan demokrasi ke ikhtiar pemerolehan materi. Pembelajaran
politik bagi masyarakat yang menjadi tujuan penyelenggaraan Pilkades hanya
pepesan kosong. Kemandirian dan kedewasaan berpikir rakyat diabaikan. Sistem
pengangkatan pemimpin lokal dirusak oleh ulah para pemodal dan kaum kapital.
Namun demikian, tidak selamanya
pemberi uang terbesar memperoleh kemenangan. Fakta ini menunjukkan bahwa
masyarakat semakin cerdas dan kritis. Pola pikir masyarakat bergeser dari
tradisional ke modern. Cara berpikir rasional membimbing mereka dalam mengambil
keputusan. Uang rupanya tidak dapat mengubah keteguhan hati dalam menjatuhkan pilihan.
Meski telah menerima uang dari seorang calon, bisa jadi mereka enggan memilih
calon tersebut atau bahkan sengaja abstain. Maka, di sejumlah desa, golput
memperoleh pengikutnya. Sebagian masyarakat terlanjur beranggapan, nasib mereka
tidak pernah berubah dengan bergantinya pemimpin. Pilkades seolah
merepresentasikan rutinitas tanpa meninggalkan bekas.
Ada juga dermawan-dermawan dadakan
yang turut menyokong keberhasilan calon kepala desa. Tanpa diminta mereka ikut
mensukseskan kampanye. Mereka memberikan uang dan beragam keperluan rumah
tangga kepada masyarakat demi terpilihnya seorang calon kepala desa. Mereka
terutama berasal dari pihak yang tidak menyukai kepemimpinan kepala desa lama
dan menghendaki perombakan struktur pemerintah desa. Akan tetapi, ada juga yang
menggelontorkan uang dan sembako demi mengeruk keuntungan. Setelah mengeluarkan
modal politik, mereka meminta seorang calon kepala desa untuk mengganti ongkos
yang telah dikeluarkan.
Kepada yang terakhir, sering kali
calon kepala desa merasa dirugikan. Pilkades seolah momentum untuk menjebak
calon kepala desa dengan banyak utang dan problematika ekonomi. Sayangnya,
menghadapi oknum semacam ini, calon kepala desa seakan tak berdaya. Ia
menghadapi dilema. Mengganti semua modal politik yang dipinjamkan “dermawan
gadungan” merupakan problematika baru sebab membutuhkan banyak uang. Akan
tetapi, mengabaikan tuntutan mereka sama saja menodai kewibawaan diri sendiri.
Ia tentu dianggap “kurang modal”, sehingga untuk mengganti ongkos politik lokal
saja merasa keberatan atau bahkan tidak mampu. Sejumlah kasus menunjukkan calon
kepala desa menyerah dengan mengikuti alur permainan mereka. Sedangkan kasus
lain menggambarkan perlawanan calon kepala desa dengan mengatakan bahwa tanpa
meminta bantuan, tanggung jawab mengganti apa yang genap dikeluarkan tidak
berada di pundaknya.
Identitas
Bangsa
Orang rela kehilangan uang, sawah,
tanah, atau rumah sekalipun demi menduduki kursi kekuasaan desa yang memuat prestise.
Sejarah mencatat bahwa selama ratusan tahun kepala desa mempunyai strata sosial yang tinggi. Tersebar
asumsi publik bahwa kepala desa memerankan sosok pengayom dan pelindung. Abdur
Rozaki (2005: 181) menilai, anggapan ini menjadi faktor utama mengapa kehidupan
desa berjalan secara timpang. Relasi sosial-politik terhambat oleh budaya ‘ewuh pakewuh’ dan patron-client.
Padahal, ketika seseorang kalah
bersaing, ia mengalami tekanan batin yang luar biasa. Mentalitas dan
kepercayaan diri bisa merosot sedemikian rupa. Selain malu kepada tetangga dan
sanak famili, ia juga mengalami kerugian material yang tidak bisa dipandang
sebelah mata. Parahnya, kekalahan ini kadang ditebus dengan kondisi kesehatan
dan perekomian yang kian menurun. Beberapa dari mereka memilih transmigrasi,
melakukan tindakan kriminal yang berujung bui, bahkan nekat bunuh diri.
Guna mencegah maraknya money
politic, pemerintah, akademisi,
serta NGO bekerja sama dalam membangun identitas bangsa. Masyarakat senantiasa
dijauhkan dari pola pikir materialistis dan pragmatis. Rasionalitas selayaknya membimbing mereka dalam menentukan sikap dan
perilaku. Sejak dini, mereka diajarkan untuk tidak bergantung pada dermawan dan
politisi busuk. Keberangkatan mereka menuju TPS bukan berdasarkan pamrih namun
atas panggilan nurani.
Masyarakat
diberikan pemahaman bahwa panggung politik lokal harus dijauhkan dari gejala money politic. Pilkades sebagai sarana
memilih pemimpin harus bersih dari uang. Arus politik seharusnya bersifat bottom-up. Masyarakat mengumpulkan donasi bagi siapa saja
yang maju dalam Pilkades. Dengan demikian, dinamika politik lokal tidak
digerakkan dari atas melainkan dari bawah. Masyarakat
berperan sebagai aktor politik daripada objek politik.