Dalam beberapa
dasawarsa terakhir, fenomena menjamurnya tukang ojek menjadi penanda bahwa sektor
usaha lokal sering kali terbengkalai. Jaringan pemasaran dan modal raksasa yang
mendominasi pola produksi dari hulu ke hilir terbukti telah menutup akses
orang-orang kecil. Melebarnya ketimpangan dalam hampir semua lini kehidupan menjadi
muara dari fenomena ini.
Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC) berikut hak octroi-nya
seolah hadir kembali sejak ekonomi nasional diintegrasikan dalam sistem ekonomi
global. Ratifikasi dan harmonisasi UU ke dalam paket aturan World Trade
Organization (WTO) menyebabkan hegemoni modal menyetir konfigurasi praktik
bisnis dan keuangan.
Dampaknya serius. Rakyat
kehilangan pembela, sebab negara tidak pernah (pura-pura) hadir dalam
penderitaan mereka. Rendahnya kualitas pendidikan, carut-marutnya transformasi
struktur ekonomi, dan membludaknya jumlah petani gurem dan tak berlahan menyebabkan
ledakan tenaga kerja informal (Suwidi Tono, 2014).
Paradoks
Sukarnya memperoleh
penghasilan juga menyebabkan para petani banting setir menjadi pengojek. Realitas
ini membuktikan bahwa sebagai negara agraris, Indonesia tidak sanggup
menyejahterakan petani. Jangankan membeli sembako. Untuk memenuhi pupuk saja,
mereka harus meminjam ke rentenir.
Berdasarkan sejumlah
survei, latar belakang banyaknya petani meninggalkan sawah yaitu hasil
pertanian yang tak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi mereka, beralih
ke bidang lain yang lebih menjanjikan merupakan pilihan paling realistis.
Oleh karena jasa ojek lebih
menguntungkan, alternatif ini dipilih oleh sejumlah petani. Tanpa perlu
memusingkan surat izin mengemudi dan izin usaha, mereka mangkal di pusat
keramaian seperti pusat perbelanjaan, terminal, stasiun, pertigaan, atau
perempatan. Mengenai tarif, mereka bisa mengadakan kesepakatan dengan calon penumpang.
Profesi tukang ojek merupakan jawaban dan harapan atas berbagai kesulitan yang
selama ini mereka hadapi.
Namun demikian, ulah
tukang ojek menjadikan jalanan sebagai sarana menambal sulam kebutuhan hidup
ternyata mengundang beragam respon negatif. Tukang ojek kerap mengunyah penghinaan
dan makian. Masyarakat melontarkan sinisme, lantaran mereka gemar melanggar
aturan, mengesampingkan keselamatan penumpang, menyalahgunakan ruang publik,
menegasikan kepentingan orang lain, mengambil alih jalur pedestrian, serta
mengokupasi ‘tanah tak bertuan’ sebagai pangkalan ojek.
Pengojek semakin
tersudut saat terbit larangan pemanfaatan sepeda motor sebagai ‘mesin penghasil
rupiah’. Ditambah lagi, razia ojek pada 1979 oleh pihak kepolisian yang menilai
bahwa perkembangan ojek yang semakin tak terkendali dan tanpa izin harus
ditertibkan. Ojek dianggap ancaman yang mesti diredam dengan kekuatan represif.
Tidak hanya itu. Stereotip
negatif juga melekat pada sepeda motor. Sejarah berceloteh, Ali Sadikin (1927–2008)
menilai penggunaan sepeda motor sebagai sarana transportasi bertentangan dengan
peraturan lalu lintas. Seseorang yang sangat berjasa dalam menyulap Jakarta
menjadi kota metropolitan yang modern tersebut menganggap rendah sepeda motor.
Baginya, angkutan massal Jakarta hanya berupa bus, kereta api, taksi, dan minicar
(bajaj, bemo, dan helicak).
Ibu
Kota
Jakarta, dengan beragam
hiruk-pikuknya, ternyata tidak terlepas dari fenomena ojek. Mengutip Panji Masyarakat 15 Februari 1980 (dalam
Hendaru Tri H, 2015), “ojek menurut cerita sementara orang berasal dari kata
‘objek’ yang kemudian dijadikan kata kerja dengan logat Jawa menjadi ‘ngobjek’.” Berkembangnya ojek sepeda sejak
1969 di pedesaan berlatar belakang rusaknya kondisi jalan desa. Keadaan ini
memantik inisiatif sejumlah orang menawarkan sepeda kepada mereka yang
membutuhkan.
Pada 1970, ojek sepeda
muncul di Pelabuhan Tanjung Priok yang kemudian menyebar ke Ancol, Kota, dan
Harmoni. Waktu itu, hampir 500 orang menjadi pengojek sepeda. Bagi sebagian
orang, dibanding transportasi lain, ojek sepeda menawarkan kelebihan
tersendiri. Di samping relatif lebih murah, hanya perlu waktu singkat untuk menempuh
jarak dekat.
Ketika ojek sepeda mulai
dikenal warga kota Jakarta, penduduk desa berinovasi. Demi memanjakan
penumpang, mereka beralih menggunakan sepeda motor buatan Jepang bermesin 90 cc.
Lambat laun, ojek sepeda motor juga menjangkiti ibu kota dan segera mendapat
tempat di hati masyarakat. Berkembangnya sarana transportasi yang semakin modern
tidak lantas menghapus ojek. Ada saja yang menaruh minat terhadap jasa
pengojek.
Dalam buku Tiada Ojek di Paris: Obrolan Urban (Mizan,
2015), Seno Gumira Ajidarma (SGA) menyajikan imaji mengenai eksistensi ojek di
sebuah kota metropolitan. Manusia Jakarta (Homo
Jakartensis) yang nyata lewat aksi, gaya, tindak, watak, dan kebiasaan yang
membentuk kehidupan kota adalah manusia yang menghabiskan waktu di mobil.
Untuk urusan kantor dan
lainnya, SGA mengandaikan rata-rata manusia Jakarta menghabiskan sekitar empat
jam dalam mobil. Hal ini merupakan konsekuensi masyarakat urban dari kemacetan
yang tak bisa ditawar. Itulah mengapa, setelah rumah dan tempat kerja, mobil diposisikan
sebagai dunia ketiga. Bahkan, fungsinya lebih prestisius ketimbang rumah sebagai
tempat tinggal.
Uniknya, di tengah-tengah
kemacetan tersebut, terselip pemandangan mencengangkan. Tukang ojek berderet di
tengah-tengah gedung pencakar langit dan kawasan elite Sudirman. Mereka siap mengantar
penumpang lebih cepat dibanding mobil yang merayap di jalanan macet. Pun, hanya
di Jakarta, bisa ditemukan eksekutif muda berdasi naik ojek yang mengejar meeting.
Maraknya ojek di ibu
kota merupakan fenomena campuran: simbol orang-orang kalah yang menjunjung
tinggi kesederhanaan serta representasi kaum The Have, dengan pola pikir materialistis-hedonistis, yang mengumbar
segala bentuk kemewahan.
Bojonegoro, 2015
Cara Bermain Casino In Between Ayo Daftar Sekarang Juga Dan Dapatkan Bonus Berlimpah !!!
BalasHapus