Jumat, 12 Mei 2017

Mewaspadai Ancaman Gafatar (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Jumat, 5 Mei 2017)


Pada persidangan terakhir di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, tiga mantan pemimpin organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dinyatakan bebas dari dakwaan makar. Namun demikian, ketiganya dinilai terbukti melakukan penodaan agama, sehingga majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara. Mahful Muis Tumanurung dan Ahmad Mussadeq divonis lima tahun penjara, sementara Andri Cahya mendapat vonis tiga tahun penjara.
Meski pada 13 Agustus 2015, Gafatar telah dibubarkan melalui kongres luar biasa, masyarakat harus senantiasa waspada terhadap bangkitnya kembali organisasi tersebut. Gerakan ini merupakan transformasi dari Al Qiyadah al Islamiyah pimpinan Ahmad Mussadeq yang dinyatakan sesat oleh MUI Pusat melalui fatwanya pada 4 Oktober 2007.
Mengutip Azyumardi Azra (2016), meski Gafatar berasas Pancasila, tetapi tujuan religio-politiknya adalah menciptakan Negara Kesatuan Tuhan Semesta Alam (NKSA). Ini berarti, Gafatar bukan sekadar organisasi dengan berbagai aksi sosial. Lebih dari itu, ia memiliki tujuan akhir penciptaan sebuah negara. Sebagaimana kelompok lain yang mempunyai misi serupa, sebelum membentuk sebuah negara baru, terlebih dahulu ia merumuskan doktrin teologis, menggalang dana, serta memberlakukan hijrah bagi setiap calon anggota.

Modal Sosial
Desa menjadi lokasi persembunyian para anggota Gafatar. Desa Tangkehan, Kalimantan Tengah, merupakan satu di antara sekian lokasi yang pernah dijadikan sebagai sarang Gafatar. Di desa tersebut pernah ditemukan 60 kepala keluarga (KK) merupakan eks anggota Gafatar.
Hiruk-pikuk perkotaan menjadikan desa sebagai pilihan logis. Sambil berburu ketenangan dan keamanan, aktor Gafatar dapat dengan leluasa mengatur strategi dan menyusun kekuatan. Siasat yang cerdas boleh jadi lahir dalam suasana yang guyub, damai, dan jauh dari segala kegaduhan. Desa merupakan arena gerilya yang memuat aksi “bawah tanah”. Disergapnya beberapa anggota Gafatar di sejumlah desa menunjukkan bahwa desa menempati posisi istimewa dalam gerakan mereka. Aktor Gafatar menaruh perhatian besar terhadap desa. Kultur saling menghormati dan menghargai di desa merupakan celah bagi mereka untuk bergerak tanpa dicurigai.
Tingginya angka pengangguran dan rendahnya kesejahteraan masyarakat perdesaan sangat rentan dipolitisir. Belum tergapainya kedamaian hidup yang dicita-citakan oleh warga, terutama dalam ekonomi, dibaca oleh para aktor Gafatar untuk menjaring mereka. “Cuci otak” ditempuh dengan cara menanamkan pengertian bahwa ketidakadilan dan ketidakhadiran negara semestinya ditanggapi dengan mendirikan negara baru.
Fakta di atas menuntut pemerintah desa untuk segera bertindak. Sudah selayaknya aparatur-aparatur desa hingga RT/RW memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang Gafatar. Sejak dini, mereka dibekali pengertian bahwa eksistensi Gafatar telah mengganggu tegaknya pondasi Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI). Tiang demokrasi yang telah dibangun berabad-abad silam rapuh lantaran perilaku orang-orang yang terlibat di dalamnya. Bhinneka Tuggal Ika tergerus oleh gejala-gejala egosentrisme yang kian marak.
Pemerintah desa menegaskan bahwa sikap dan tindakan mereka yang mengarah pada misi Gafatar harus dilaporkan. Bagaimana pun juga, semua warga desa harus dihindarkan dari paham dan gerakan yang berusaha menciptakan tatanan negara baru. Aksi sepihak dan sikap menganggap kelompok sendiri paling benar yang ditunjukkan oleh Gafatar dapat merusak hubungan kekeluargaan dan kekerabatan antar warga. Dalam perjalanannya, sikap ini rentan menghancurkan kolektivitas warga desa. Akhirnya, kolektivisme dibabat habis oleh individualisme yang menciderai nilai-nilai humanisme universal.
Yang tidak kalah penting, modal sosial seperti kebersamaan, keharmonisan, gotong-royong, dan musyawaroh selayaknya dijunjung tinggi. Dengan modal sosial inilah, apatisme terhadap negara dapat dihapuskan. Kepercayaan masyarakat terhadap negara senantiasa dipupuk. Individualisme, egoisme, dan egosentrisme dihilangkan.
Instruksi Panglima TNI kepada Bintara Pembina Desa (Babinsa) sangat dinanti sebagai bagian dari ikhtiar mengawal masyarakat perdesaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai langkah taktis, ribuan Babinsa di seluruh penjuru tanah air bisa dikerahkan untuk melindungi rakyat dari pengaruh Gafatar yang terbukti menyebarkan ideologi penangkis NKRI. Babinsa berperan urgen dalam upaya membentengi masyarakat dari paham-paham yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar