Pada persidangan terakhir di
Pengadilan Negeri Jakarta Timur, tiga mantan pemimpin organisasi Gerakan Fajar
Nusantara (Gafatar) dinyatakan bebas dari dakwaan makar. Namun demikian, ketiganya
dinilai terbukti melakukan penodaan agama, sehingga majelis hakim menjatuhkan
vonis hukuman penjara. Mahful Muis Tumanurung dan Ahmad Mussadeq divonis lima
tahun penjara, sementara Andri Cahya mendapat vonis tiga tahun penjara.
Meski pada 13 Agustus 2015, Gafatar
telah dibubarkan melalui kongres luar biasa, masyarakat harus senantiasa
waspada terhadap bangkitnya kembali organisasi tersebut. Gerakan ini merupakan transformasi
dari Al Qiyadah al Islamiyah pimpinan Ahmad Mussadeq yang dinyatakan
sesat oleh MUI Pusat melalui fatwanya pada 4 Oktober 2007.
Mengutip Azyumardi Azra (2016), meski
Gafatar berasas Pancasila, tetapi tujuan religio-politiknya adalah menciptakan Negara
Kesatuan Tuhan Semesta Alam (NKSA). Ini berarti, Gafatar bukan sekadar
organisasi dengan berbagai aksi sosial. Lebih dari itu, ia memiliki tujuan
akhir penciptaan sebuah negara. Sebagaimana kelompok lain yang mempunyai misi
serupa, sebelum membentuk sebuah negara baru, terlebih dahulu ia merumuskan
doktrin teologis, menggalang dana, serta memberlakukan hijrah bagi setiap calon
anggota.
Modal Sosial
Desa menjadi lokasi persembunyian
para anggota Gafatar. Desa Tangkehan, Kalimantan Tengah, merupakan satu di
antara sekian lokasi yang pernah dijadikan sebagai sarang Gafatar. Di desa
tersebut pernah ditemukan 60 kepala keluarga (KK) merupakan eks anggota Gafatar.
Hiruk-pikuk perkotaan menjadikan
desa sebagai pilihan logis. Sambil berburu ketenangan dan keamanan, aktor
Gafatar dapat dengan leluasa mengatur strategi dan menyusun kekuatan. Siasat
yang cerdas boleh jadi lahir dalam suasana yang guyub, damai, dan jauh dari segala
kegaduhan. Desa merupakan arena gerilya yang memuat aksi “bawah tanah”.
Disergapnya beberapa anggota Gafatar di sejumlah desa menunjukkan bahwa desa
menempati posisi istimewa dalam gerakan mereka. Aktor Gafatar menaruh perhatian
besar terhadap desa. Kultur saling menghormati dan menghargai di desa merupakan
celah bagi mereka untuk bergerak tanpa dicurigai.
Tingginya angka pengangguran dan
rendahnya kesejahteraan masyarakat perdesaan sangat rentan dipolitisir. Belum
tergapainya kedamaian hidup yang dicita-citakan oleh warga, terutama dalam
ekonomi, dibaca oleh para aktor Gafatar untuk menjaring mereka. “Cuci otak”
ditempuh dengan cara menanamkan pengertian bahwa ketidakadilan dan
ketidakhadiran negara semestinya ditanggapi dengan mendirikan negara baru.
Fakta di atas menuntut pemerintah
desa untuk segera bertindak. Sudah selayaknya aparatur-aparatur desa hingga
RT/RW memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang Gafatar. Sejak dini,
mereka dibekali pengertian bahwa eksistensi Gafatar telah mengganggu tegaknya
pondasi Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI). Tiang demokrasi yang telah
dibangun berabad-abad silam rapuh lantaran perilaku orang-orang yang terlibat
di dalamnya. Bhinneka Tuggal Ika tergerus oleh gejala-gejala egosentrisme yang
kian marak.
Pemerintah desa menegaskan bahwa
sikap dan tindakan mereka yang mengarah pada misi Gafatar harus dilaporkan.
Bagaimana pun juga, semua warga desa harus dihindarkan dari paham dan gerakan
yang berusaha menciptakan tatanan negara baru. Aksi sepihak dan sikap menganggap
kelompok sendiri paling benar yang ditunjukkan oleh Gafatar dapat merusak
hubungan kekeluargaan dan kekerabatan antar warga. Dalam perjalanannya, sikap
ini rentan menghancurkan kolektivitas warga desa. Akhirnya, kolektivisme
dibabat habis oleh individualisme yang menciderai nilai-nilai humanisme
universal.
Yang tidak kalah penting, modal
sosial seperti kebersamaan, keharmonisan, gotong-royong, dan musyawaroh
selayaknya dijunjung tinggi. Dengan modal sosial inilah, apatisme terhadap
negara dapat dihapuskan. Kepercayaan masyarakat terhadap negara senantiasa
dipupuk. Individualisme, egoisme, dan egosentrisme dihilangkan.
Instruksi Panglima TNI kepada
Bintara Pembina Desa (Babinsa) sangat dinanti sebagai bagian dari ikhtiar
mengawal masyarakat perdesaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai
langkah taktis, ribuan Babinsa di seluruh penjuru tanah air bisa dikerahkan
untuk melindungi rakyat dari pengaruh Gafatar yang terbukti menyebarkan
ideologi penangkis NKRI. Babinsa berperan urgen dalam upaya membentengi
masyarakat dari paham-paham yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Yogyakarta,
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar