Maraknya gerakan literasi dalam dekade-dekade
terakhir didukung oleh keteduhan, kenyamanan, dan kedamaian desa. Tak heran
jika selama ini banyak pengarang melampiaskan “hasratnya” dengan bermukim di
desa. Ditemani hijau pohon dan kicau burung, sejumlah buku berhasil ditulis. Bagi
mereka, inspirasi bersemi di tanah perdesaan. Motivasi berkarya tumbuh bersama
padi dan rumput ilalang.
Buku sebagai produk pemikiran
manusia tidak terlepas dari tempat di mana pengarang berproses. Bagaimanapun,
lingkungan menyumbang andil atas lahirnya sebuah buku. Lingkungan sebagai unsur
ekstrinsik karya secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau struktur
tulisan. Hal ini dikarenakan, otak bawah sadar pengarang senantiasa terpaut
dengan apa yang ada di sekelilingnya. Maka, dalam menganalisa sebuah karya,
selain subjektivitas, keyakinan, pandangan hidup, dan psikologi pengarang,
lingkungan juga tak bisa dinihilkan. Para kritikus sastra menilai, urgensi
unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik dalam karya mempunyai kadar serupa.
Barang tentu suasana desa yang
guyub menyumbang corak dan warna buku. Boleh dibilang, terdapat perbedaan
antara buku yang ditulis dalam iklim perkotaan dan buku yang digarap di wilayah
perdesaan. Buku yang dirampungkan dalam situasi bising memiliki karakter
berbeda dibanding yang diselesaikan dalam kondisi tenang. Suatu kewajaran jika
khalayak pembaca yang peka mampu memilah “buku urban” dan “buku rural”. Sebab
mengenali “aroma” tulisan, mereka dapat menemukan baik ciri khas maupun
distingsi keduanya.
Para pembaca yang kritis sanggup menerka,
andai Linus Suryadi Agustinus lahir di tengah kota, boleh jadi tokoh fiktifnya dalam
Pengakuan Pariyem bukan perempuan dari desa dengan deretan pegunungan tandus
di sekitarnya. Jika keluarganya bukan petani Jawa, bisa dipastikan ia kesulitan
mengeksplorasi dunia batin perempuan Jawa dalam novelnya. Mereka juga bisa
menyimpulkan, lantaran sastrawan legendaris itu
menghabiskan masa kecil di desa Jawa, maka mitologi, prinsip,
dan keyakinan orang Jawa genap membekas pada proses kreatifnya.
Dalam Sastra, Psikologi, dan Masyarakat,
Darmanto Yt (1985) menyebutkan bahwa ragam penciptaan tidak hanya bersumber
pada personalitas para seniman, namun juga lingkungan serta dinamika proses
diri manusia dengan lingkungan tersebut. Ia menegaskan, “Integritas dan
identitas seorang seniman yang menjadi sumber keunikannya ditentukan oleh
proses-proses sejarah yang menyangkut interaksi antara struktur dalam dengan
struktur lingkungannya.”
Visualisasi Desa
Dalam kadar tertentu, buku memuat
gambaran dan rekaan tentang desa. Di dalamnya terkandung ikhtiar pengarang menuturkan
karakteristik perdesaan. Pengarang berusaha menciptakan suatu ikon demi
merefleksikan kehidupan di desa. Hal ini penting, mengingat setiap pembaca menangkap
makna melalui tanda-tanda. Dengan menyajikan kosakata tertentu, pengarang seintens
mungkin berkomunikasi dengan pembaca.
Oleh beberapa pengarang, singkong
dipilih terutama dalam rangka menggambarkan keadaan fisik desa. Betapa imajinasi
singkong menghiasi sejumlah karya sastra. Singkong sebagai citra perdesaan dikekalkan Ahmad Tohari dalam masterpiece-nya. Kerapnya sastrawan penerima penghargaan
dari Radio Nederlands Wereldomroep itu menyebut singkong dalam Ronggeng Dukuh Paruk memang menunjukkan setting tempat cerita berada di pedalaman, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan.
Lihatlah ketika Rasus, tokoh
dalam ceritanya, sibuk berebut singkong dengan beberapa temannya setelah dijebol
ramai-ramai dengan bantuan air kencing. Simak juga saat orang-orang upahan Pak Sentika
mengangkut singkong dari Alaswangkal ke pangkalan di tepi jalan besar. Atau ketika
lelaki gunung bercawat yang bergerombol di dekat pikulan singkong, menikmati
kecantikan Srintil yang sedang memijat betisnya. Singkong yang mudah ditemukan
di tanah kelahiran Tohari, Banyumas, meneguhkan unsur lokalitas karyanya.
Lebih dari itu, singkong
juga merupakan representasi penderitaan sekaligus perjuangan orang desa. Kesenjangan
sosial di negeri ini disimbolkan dengan singkong. Dalam “Sajak Transmigran”, F.
Rahardi berteriak lantang: sepuluh tahun
masih makan singkong/ duapuluh tahun makin singkong/ dan limapuluh tahun
kemudian/ transmigran beruban/ sakit-sakitan/ mati/ lalu dikubur di ladang
singkong//.
Walaupun identik dengan
imaji perdesaan, singkong diposisikan Rahardi selaku medium penyampai pesan. Singkong
sebagai manifestasi kebebasan berekspresi dituangkan penyair, cerpenis
sekaligus novelis yang drop out SMA itu dalam buku bertajuk Kentrung Itelile: Kumpulan Cerpen Manusia
Singkong (1993).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar