Akhir-akhir ini, selain
isu penistaan agama, pikiran dan energi bangsa ini juga dikuras habis oleh
menjamurnya isu komunisme. Sebagaimana yang terjadi di sejumlah desa di
berbagai penjuru Indonesia, munculnya gambar palu-arit menandakan gencarnya
provokasi oleh oknum tak bertanggung jawab.
Desa merupakan lokasi
di mana isu komunisme rentan dipermainkan sedemikian rupa. Pihak yang
berkepentingan sengaja memanfaatkan setiap hal yang berkaitan dengannya demi
mengeruk keuntungan temporer. Fenomena ini berangkat dari fakta bahwa
eksistensi komunisme di negeri ini tak terlepas dari desa. Sejak dahulu kala,
desa memperoleh tempat di lubuk hati orang-orang komunis. Berkembangnya
komunisme berutang budi pada desa sebagai lokasi bertunasnya ideologi tersebut.
Selama beberapa dasawarsa, desa menjadi pijakan bagi kaum komunis dalam
memantapkan misi dan aksi. Namun demikian, pertumbuhan komunisme di aras lokal
terkait erat dengan suasana politik nasional.
Iklim Politik
Ketika Orde Lama
berkuasa, komunisme dapat bernafas dengan lega. Pada masa ini, desa identik
dengan kader-kader komunis. Betapa dalam lingkungan yang damai dengan udara
yang sejuk tersimpan potensi besar bagi suburnya komunisme. Itulah mengapa,
gagalnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada 18
September 1948 masih menyisakan harapan.
Harry A. Poeze (2014:
319) melihat bahwa Partai Murba harus berjor-joran langsung dengan sisa-sisa
laskar komunis dalam upaya merebut kekuasaan lokal. Calon-calon komunis sengaja
dipilih untuk menduduki posisi lurah. Langkah ini digenapi dengan janji
membagikan tanah dan keperluan sehari-hari kepada rakyat. Tak lupa, beragam
propaganda disebarkan guna membentuk “desa-desa percontohan”.
Meyakini desa sebagai
basis berkecambahnya paham yang menekankan kepemilikan bersama atas alat-alat
produksi (tanah, tenaga kerja, serta modal), pada tahun 1964, D.N. Aidit
menerbitkan Kaum Tani Mengganyang
Setan-setan Desa. Buku ini berisi laporan singkat hasil riset tentang
keadaan kaum tani dan gerakannya di Jawa Barat. Melalui buku tersebut,
orang-orang desa, terutama petani, dibekali pengetahuan mengenai ideologi
berlambang palu-arit serta upaya memperjuangkannya.
Setelah meletusnya G 30
S/PKI, iklim politik berubah drastis. Rezim Orde Baru tidak mengantongi alasan
untuk membiarkan PKI beserta anasirnya “berlenggang kangkung”. Pembunuhan terhadap
siapa saja yang mempunyai hubungan khusus dengan PKI berlangsung dalam kerangka
organisasi-organisasi komunitas tradisional, semisal banjar di Bali. Militer dengan
leluasa menyerahkan daftar simpatisan PKI kepada kepala desa atau kepala dusun
untuk dilenyapkan. Banyak pula tahanan pendukung PKI yang dikirim kembali ke
desa-desa untuk dihabisi oleh sesama warga.
Pola umum lainnya yaitu
penyerangan warga desa tetangga terhadap seluruh penghuni desa atau dusun yang
menyokong PKI. Hughes (1968) dan Sutton (1967) mencatat bahwa pembunuhan
dilakukan terhadap mereka yang kurang beruntung, termasuk perempuan dan
anak-anak. Setelah tindakan brutal tersebut puas dilampiaskan, desa tempat
mereka menetap dibakar (M.C. Ricklefs, 2013: 200).
Ann Dunham (2009)
mengabadikan pengalaman seorang kepala desa saat mengenang bagaimana sersan
Angkatan Darat dan para aktivis Ansor berkali-kali datang ke Desa Kajar. Ia
diminta menyerahkan nama-nama warga Komunis untuk segera ditahan dan dibunuh.
Akan tetapi, mereka pada akhirnya berhasil diyakinkan bahwa tidak ada anggota
PKI di desa tersebut, sehingga nyawa yang hilang sia-sia relatif sedikit.
Kesadaran Historis
Boleh jadi, salah satu
tujuan provokasi dengan lambang PKI yaitu memproduksi kerisauan di kalangan
masyarakat. Dalam tindakan tersebut terkandung usaha memancing amarah warga perdesaan.
Dalam rangka
menetralisir isu komunisme, rasionalitas mesti diutamakan melebihi emosi. Semua
orang dituntut bersikap bijak dan santun demi menghindari hal-hal yang tak
diinginkan. Dalam taraf tertentu, ulah provokator memberi peluang bagi setiap
orang untuk melampiaskan dendam, “main hakim” sendiri, serta mengambinghitamkan
siapa saja yang dibenci.
Selain itu, pemerintah
semestinya membekali generasi muda dengan sejarah “terpercaya” agar mereka mempunyai pola
pikir historis (berkesadaran sejarah). Selama ini, ruang bagi
warga negara untuk mengeksplorasi sejarah komunisme seolah tertutup. Akhirnya,
pemahaman masyarakat tentang komunisme sangat dangkal.
Langkah ini penting ditempuh demi
menjauhkan mereka dari penyakit “buta sejarah”, di mana sejarah
diandaikan sekadar bagian dari masa lalu (a thing of the past) yang terpisah dengan kehidupan saat ini. Dengan
“melek sejarah”, niscaya karakter kebangsaan warga negara semakin kuat. Sehingga,
peluang ditegakkannya fondasi negara-bangsa (nation-state) terbuka
lebar. Bangsa yang besar, mengutip Endang Suryadinata (2013), senantiasa memberikan
apresiasi terhadap warisan sejarahnya. Kesadaran sejarah bangsa terbentuk dari ruang
dan waktu, di mana pemahaman hakiki tentang masa lalu berkontribusi membangun
masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar