Lantaran tidak mempunyai
jaringan seluler, warga Desa Lewoawan, Ile Bura, Flores Timur, Nusa Tenggara
Timur merakit tower tradisional. Sebuah tiang kayu setinggi kurang lebih satu
meter yang menancap di atas tanah menjadi penopangnya. Tempurung kelapa yang
terpasang di ujungnya berfungsi untuk menampung beberapa telepon seluler milik
warga. Berbekal tower tersebut, mereka akhirnya nekat meluncurkan website desa.
Atas kerja keras dan capaian prestasi inilah, Lewoawan ditetapkan sebagai desa
pertama (bersama Desa Birawan) di Kabupaten Flores Timur yang berhasil menggunakan
jaringan internet dalam Sistem Informasi Desa dan Sistem Administrasi Desa.
Berbekal bahan-bahan
sederhana, warga Desa Lewoawan mampu mengejar ketertinggalan dan secara
perlahan berusaha mencapai kemajuan. Fakta ini menggambarkan bahwa produk teknologi
ternyata tidak selamanya identik dengan tersedianya sejumlah materi dengan
harga selangit. Asalkan bahan-bahan di sekeliling manusia dapat dimodifikasi dengan
sentuhan kreativitas, beragam inovasi tentu bisa tercipta.
Perubahan dan tuntutan
zaman memaksa orang desa untuk menyesuaikan diri. Atas dasar itulah, mereka dituntut
secara aktif terlibat dalam “logika modernisasi” tanpa harus mengorbankan jatidiri.
Globalisasi yang oleh sejumlah pihak seringkali dimaknai sebagai kiat meredupkan
lokalitas sekaligus upaya menggerus identitas suku bangsa, justru dianggap
menjadi proses tak terelakkan kehidupan manusia.
Dalam konteks inilah, orang
desa melakukan reinterpretasi terhadap semangat zaman dengan melepaskan ikatan-ikatan
lama yang genap membelenggu pikiran dan membatasi kebebasan berekspresi. Mereka
tidak ingin terjebak pada konsensus-konsensus kuno yang lebih bernuansa
nostalgia ketimbang ideologis. Mereka tidak serta merta mengungkung diri dengan
pola pikir primitif, melainkan membuka wawasan dan mengapresiasi perkembangan
ilmu pengetahuan. Bagi mereka, memelihara warisan pemikiran dan ajaran para
pendahulu tidak perlu diwujudkan secara kaku, rigit dan ekslusif, namun dengan
adaptif, dinamis dan inklusif.
Hak
Kelola Rakyat
Orang desa mampu
memanfaatkan sekaligus memaksimalkan apa yang ada di sekitarnya secara efektif.
Di balik keterbatasan, tersimpan inspirasi dan imajinasi yang melimpah. Itulah
mengapa, dari tangan mereka lahir beberapa produk istimewa dengan karakter yang
unik dan khas. Lebih dari itu, dalam menghasilkan beraneka kreasi, mereka selalu
menjunjung tinggi kearifan lokal (local
genius). Dengan senantiasa memegang teguh etos, nilai serta prinsip leluhur,
mereka terhindar dari perilaku eksploitasi dan perusakan lingkungan.
Dalam taraf tertentu, aspek
kehidupan lokal berimplikasi positif terhadap pelestarian alam. Dengan kata
lain, pemanfaatan lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat
perdesaan tidak selalu berakibat merugikan. Apa yang dilakukan oleh orang desa justru
kerap membawa berkah bagi terpeliharanya ekosistem. Bagaimanapun, terdapat aspek-aspek
tertentu yang bersifat menguntungkan sebagai hasil teknologi tradisional dan
ikhtiar pemberdayaan sumber daya alam. Kenyataan inilah yang semestinya
memperoleh perhatian publik dan pemerintah.
Nasruddin Anshoriy Ch
dalam buku Dekonstruksi Kekuasaan:
Konsolidasi Semangat Kebangsaan (2008: 64) memandang bahwa wilayah kelola
rakyat adalah wilayah belajar kembali dalam mengelola sumber daya alam dan
sumber daya lain demi terbentuknya sustainable
livelihood bagi masyarakat perdesaan dan masyarakat desa-kota. Penyediaan, pengakuan
serta perlindungan ruang kehidupan yang utuh bagi masyarakat Indonesia yang
secara turun-temurun genap melakukan kegiatan produksi dan reproduksi sosial
secara mandiri merupakan tujuan kontruksi hak kelola rakyat.
Perlunya
Harmonisasi
Meskipun sebenarnya orang
desa mampu mengadaptasi segala hal yang berasal dari luar, namun tetap ada
batasan yang mesti diperhatikan. Dalam kondisi bagaimana pun, serta dengan
alasan apa pun, tradisi lokal tidak boleh dikesampingkan atau bahkan
dikorbankan. Siapa saja yang datang ke wilayah perdesaan dengan membawa hal-hal
baru diwajibkan untuk mengindahkan “rambu-rambu” ini.
Penghormatan terhadap
tradisi lokal menjadi bagian integral peneguhan hak-hak masyarakat perdesaan
yang sejak dahulu kala menjadi unsur terbangunnya fondasi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan realitas historis tersebut, Undang-Undang
Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dibekali semangat utama “memberikan penghargaan
terhadap asal-usul dan hak tradisional desa”. Sehingga, rekognisi dan subsidiaritas
menjadi asas utama undang-undang tersebut. Kehadiran kedua asas inilah yang
membedakannya dengan sejumlah peraturan perundang-undangan tentang desa yang pernah
terbit sebelumnya.
Sayangnya, konsep-konsep
baru di bidang teknologi dengan mudahnya diselundupkan ke desa tanpa
memperhatikan terlebih dahulu tradisi yang ada. Padahal, apa yang diintrodusikan
kepada orang desa seringkali terbilang “sama sekali baru” dan tidak mempunyai
kaitan dengan sesuatu yang mereka miliki, termasuk kearifan lokal (local genius) yang telah lama terkubur. Imbasnya,
konsep-konsep baru itu mirip “benda asing”, sehingga sulit diterima oleh publik.
Padahal, pembaharuan selayaknya tetap bersifat endogen (Benny H. Hoed, 2001: 28-29).
Di sinilah perlunya harmonisasi.
Ikhtiar mengenalkan masyarakat pedalaman dengan berbagai bentuk “keramaian” seyogyanya
ditempuh secara bijak. Tradisi lokal menjadi landasan utama diberlakukannya hal-hal
baru. Dengan demikian, orang desa tetap mampu meneguhkan diri dalam kepungan
jutaan informasi.
Yogyakarta, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar