Menjelang pelaksanaan
pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak yang pertama kali bakal diselenggarakan di Kabupaten
Purworejo, tercatat ada 217 calon kepala
desa (Kades) dari 82 desa. Mereka berasal dari beragam latar
belakang pendidikan, mulai SLTP hingga S3. Fenomena ini menunjukkan bahwa selalu terjadi persaingan
dalam upaya merebutkan kursi Kades. Oleh masyarakat perdesaan, jabatan pemimpin
di tingkat lokal tersebut senantiasa dianggap bergengsi dan berwibawa.
Dalam
dasawarsa terakhir, meski simbol kekayaan tidak lagi melekat pada Kades, akan
tetapi posisi orang nomor satu di level desa tersebut tetap
menjanjikan keuntungan. Para calon Kades sadar
bahwa bengkok dan tunjangan yang diterima kelak tidak sebanding dengan modal yang
dikeluarkan baik sebelum maupun setelah digelarnya Pilkades. Namun demikian, mereka memahami bahwa Kades merupakan aktor lokal dengan banyak akses. Relasi ke pengusaha,
pemodal, bahkan ke pemerintahan supra desa dapat diperoleh dengan mudah apabila
Kades mampu membaca peluang. Tak heran jika Kades kerap terlibat dalam proyek-proyek
pembangunan sekaligus mengantongi banyak profit.
Dengan demikian, berapa
pun besarnya, rupiah yang digelontorkan demi meraup sebanyak mungkin suara pada
waktu coblosan akan kembali. Di
sinilah perlunya perhitungan yang jitu untuk menimbang kekuatan individu,
dukungan publik, dan ongkos politik. Orang-orang yang mencalonkan diri selaku Kades dituntut mempunyai seni yang
tinggi dalam melihat situasi. Kegagalan dalam hal ini rentan mengakibatkan
kerugian material, hancurnya motivasi, serta merosotnya harga diri.
Perilaku
Individu
Di
zaman yang serban instan, masyarakat menilai apa yang
dilakukan oleh para calon Kades,
meski sebatas masa kampanye, benar-benar
mencerminkan kepribadiannya. Ketika seorang calon Kades berhasil
‘mencuri hati’ masyarakat
dengan membangun berbagai sarana publik, misalnya, dukungan akan mengalir deras kepadanya. Sepak terjangnya selalu
dinilai positif apabila disertai
dengan uang serta hal-hal yang bersifat kebendaan.
‘Ringan
tangan’ sebagai tolok ukur kesuksesan di panggung publik juga berlaku ketika
seseorang berhasil menduduki jabatan Kades. Salah satu Kades di daerah
Jawa Timur nekat menguras
kantong pribadi ketika sebagian warganya tidak menerima ‘sumbangan’ dari Pemda
lantaran kesalahan pendataan. Ia mengaku tidak ingin desanya gaduh gara-gara
ada sebagian kecil siswa yang tak menikmati bantuan pendidikan. Masyarakat menaruh simpati kepadanya, setelah ia mampu menghindarkan
munculnya desas-desus yang tak diinginkan.
Penilaian masyarakat terhadap efektivitas
pemerintahan desa cenderung diarahkan pada kedermawanan Kades. Kepedulian sang pemimpin dimaknai
sebagai keikhlasannya menyumbangkan uang bagi kegiatan-kegiatan seremonial,
peringatan hari besar serta perayaan tahunan. Kebaikan hati sang pemimpin
diartikan sebagai kerelaannya mengeluarkan uang pribadi bagi kepentingan
publik. Hal ini antara lain ditandai dengan dicairkannya beragam proposal yang
disodorkan kepadanya.
Meskipun tidak
sepenuhnya salah, namun penilaian demikian menunjukkan minimnya pengetahuan
masyarakat mengenai tugas, fungsi, dan peran Kades yang genap diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Oleh masyarakat, kinerja
pemerintah desa sekadar ditinjau
dari
perilaku individunya. Kesan positif cenderung lahir lantaran sikapnya yang
rendah hati kepada semua orang. Perhatiannya terhadap berbagai lapisan
masyarakat tercermin dari kesediaan menghadiri acara dan hajatan yang
diselenggarakan seluruh warga tanpa membedakan status sosial. Akibatnya,
evaluasi penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal terjebak pada penokohan
Kades.
Keteladanan
Ketimbang mengandalkan
siasat ‘kedermawanan sesaat’ lebih baik para calon Kades mempertimbangkan
keteladanan sebagai unsur terpenting yang harus dimiliki oleh pemimpin. Ada
pelajaran berharga dari pengalaman pahit seorang calon Kades yang bertarung
dalam ajang Pilkades di suatu desa di Bojonegoro. Ia gagal meraih kemenangan
lantaran terjerat kasus perselingkuhan. Masyarakat setempat sengaja memberikan
sanksi kepada orang
yang nekat menerjang salah satu norma yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat, yaitu norma kesusilaan.
Bagaimanapun,
diterjangnya suatu norma berimplikasi buruk bagi pelanggarnya. Ini berarti,
masyarakat tidak selalu berada dalam kondisi ‘terjepit’. Bagi mereka, terdapat
banyak pilihan dan alternatif dalam menentukan siapa yang berhak menjadi
pemimpin. Mereka tidak rela apabila dipimpin oleh orang dengan perilaku buruk
dan integritas rendah.
Meski money politic dalam sejarahnya telah
menghancurkan dinamika suksesi pemimpin lokal, namun di berbagai tempat,
ternyata keteladanan masih menjadi alasan utama terpilihnya Kades. Dengan demikian, sebelum terdaftar
sebagai calon Kades,
seseorang dituntut mampu menilai dirinya sendiri: apakah ia dikenal gemar berbuat terpuji atau justru terbiasa menistakan harga diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar