Rabu, 13 Desember 2017

Penokohan Individu dalam Pilkades (Aspirasi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Harian Jogja" edisi Jumat, 17 November 2017)


Menjelang pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak yang pertama kali bakal diselenggarakan di Kabupaten Purworejo, tercatat ada 217 calon kepala desa (Kades) dari 82 desa. Mereka berasal dari beragam latar belakang pendidikan, mulai SLTP hingga S3. Fenomena ini menunjukkan bahwa selalu terjadi persaingan dalam upaya merebutkan kursi Kades. Oleh masyarakat perdesaan, jabatan pemimpin di tingkat lokal tersebut senantiasa dianggap bergengsi dan berwibawa.
Dalam dasawarsa terakhir, meski simbol kekayaan tidak lagi melekat pada Kades, akan tetapi posisi orang nomor satu di level desa tersebut tetap menjanjikan keuntungan. Para calon Kades sadar bahwa bengkok dan tunjangan yang diterima kelak tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan baik sebelum maupun setelah digelarnya Pilkades. Namun demikian, mereka memahami bahwa Kades merupakan aktor lokal dengan banyak akses. Relasi ke pengusaha, pemodal, bahkan ke pemerintahan supra desa dapat diperoleh dengan mudah apabila Kades mampu membaca peluang. Tak heran jika Kades kerap terlibat dalam proyek-proyek pembangunan sekaligus mengantongi banyak profit.
Dengan demikian, berapa pun besarnya, rupiah yang digelontorkan demi meraup sebanyak mungkin suara pada waktu coblosan akan kembali. Di sinilah perlunya perhitungan yang jitu untuk menimbang kekuatan individu, dukungan publik, dan ongkos politik. Orang-orang yang mencalonkan diri selaku Kades dituntut mempunyai seni yang tinggi dalam melihat situasi. Kegagalan dalam hal ini rentan mengakibatkan kerugian material, hancurnya motivasi, serta merosotnya harga diri.

Perilaku Individu
Di zaman yang serban instan, masyarakat menilai apa yang dilakukan oleh para calon Kades, meski sebatas masa kampanye, benar-benar mencerminkan kepribadiannya. Ketika seorang calon Kades berhasil ‘mencuri hati’ masyarakat dengan membangun berbagai sarana publik, misalnya, dukungan akan mengalir deras kepadanya. Sepak terjangnya selalu dinilai positif apabila disertai dengan uang serta hal-hal yang bersifat kebendaan.
‘Ringan tangan’ sebagai tolok ukur kesuksesan di panggung publik juga berlaku ketika seseorang berhasil menduduki jabatan Kades. Salah satu Kades di daerah Jawa Timur nekat menguras kantong pribadi ketika sebagian warganya tidak menerima ‘sumbangan’ dari Pemda lantaran kesalahan pendataan. Ia mengaku tidak ingin desanya gaduh gara-gara ada sebagian kecil siswa yang tak menikmati bantuan pendidikan. Masyarakat menaruh simpati kepadanya, setelah ia mampu menghindarkan munculnya desas-desus yang tak diinginkan.
Penilaian masyarakat terhadap efektivitas pemerintahan desa cenderung diarahkan pada kedermawanan Kades. Kepedulian sang pemimpin dimaknai sebagai keikhlasannya menyumbangkan uang bagi kegiatan-kegiatan seremonial, peringatan hari besar serta perayaan tahunan. Kebaikan hati sang pemimpin diartikan sebagai kerelaannya mengeluarkan uang pribadi bagi kepentingan publik. Hal ini antara lain ditandai dengan dicairkannya beragam proposal yang disodorkan kepadanya.
Meskipun tidak sepenuhnya salah, namun penilaian demikian menunjukkan minimnya pengetahuan masyarakat mengenai tugas, fungsi, dan peran Kades yang genap diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Oleh masyarakat, kinerja pemerintah desa sekadar ditinjau dari perilaku individunya. Kesan positif cenderung lahir lantaran sikapnya yang rendah hati kepada semua orang. Perhatiannya terhadap berbagai lapisan masyarakat tercermin dari kesediaan menghadiri acara dan hajatan yang diselenggarakan seluruh warga tanpa membedakan status sosial. Akibatnya, evaluasi penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal terjebak pada penokohan Kades.

Keteladanan
Ketimbang mengandalkan siasat ‘kedermawanan sesaat’ lebih baik para calon Kades mempertimbangkan keteladanan sebagai unsur terpenting yang harus dimiliki oleh pemimpin. Ada pelajaran berharga dari pengalaman pahit seorang calon Kades yang bertarung dalam ajang Pilkades di suatu desa di Bojonegoro. Ia gagal meraih kemenangan lantaran terjerat kasus perselingkuhan. Masyarakat setempat sengaja memberikan sanksi kepada orang yang nekat menerjang salah satu norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu norma kesusilaan.
Bagaimanapun, diterjangnya suatu norma berimplikasi buruk bagi pelanggarnya. Ini berarti, masyarakat tidak selalu berada dalam kondisi ‘terjepit’. Bagi mereka, terdapat banyak pilihan dan alternatif dalam menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin. Mereka tidak rela apabila dipimpin oleh orang dengan perilaku buruk dan integritas rendah.
Meski money politic dalam sejarahnya telah menghancurkan dinamika suksesi pemimpin lokal, namun di berbagai tempat, ternyata keteladanan masih menjadi alasan utama terpilihnya Kades. Dengan demikian, sebelum terdaftar sebagai calon Kades, seseorang dituntut mampu menilai dirinya sendiri: apakah ia dikenal gemar berbuat terpuji atau justru terbiasa menistakan harga diri.  

Bojonegoro, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar