Selasa, 19 Desember 2017

Mengawal Pembangunan Jalan Tol (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Senin, 18 Desember 2017)


Pemerintah mengebut pengerjaan jalan tol se-Indonesia. Sesuai target Presiden Joko Widodo, sepanjang 1.850 kilometer (km) jalan tol diusahakan terbangun pada tahun 2018. Demi mengecek langsung proyek-proyek jalan tol tersebut, presiden sengaja blusukan. Selain proses pengerjaan bisa terpantau secara maksimal, hal ini juga dilakukan supaya pembangunan cepat terselesaikan.
Apa yang digencarkan oleh pemerintah di atas patut diapresiasi oleh semua pihak. Keberadaan jalan tol dipercaya dapat memperbaiki jalur transportasi, meningkatkan hasil produksi dalam negeri, serta membuat taraf hidup masyarakat lebih tinggi. Jalan tol berperan besar dalam upaya menciptakan civil society dan mewujudkan prinsip-prinsip good governance. Betapa berlangsungnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sangat terbantu oleh munculnya jalan-jalan tol di berbagai daerah.

Realitas Historis
Demi kelancaran proyek jalan tol, pembebasan lahan merupakan langkah konkrit yang dilakukan oleh pemerintah. Fenomena pembelian tanah untuk memaksimalkan jalannya program pembangunan sebenarnya sudah berlangsung sejak dahulu kala. Salah satunya melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh Raja-raja Mangkunegaran masa silam. Catatan sejarah menunjukkan,  meskipun tanah-tanah negara telah diserahkan secara tetap kepada desa, akan tetapi dalam hal-hal tertentu para penguasa Mangkunegaran boleh mengambil alih tanah tersebut. Pengambilan tanah bukanlah bentuk kezaliman dan kecongkakan penguasa. Dinilai legal karena dilindungi oleh hukum, tindakan demikian bermaksud agar negara bisa merealisasikan kepentingan publik dengan tetap memperhatikan asas demokrasi.
Dalam buku Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Wasino (2008: 165) menyebutkan bahwa pengambilan kembali tanah-tanah desa terjadi jika: (1) Pembebasan lahan diselenggarakan demi kepentingan umum (mundut bumi tumrap pahedahing akeh). Dalam bahasa sehari-hari, pengambilan tanah ini di Solo masyhur disebut dipijehake, istilah yang berakar dari kata dasar piji (sendiri) yang bermakna ‘tanah yang disisihkan’. Pemegang hak pakai yang diambil alih tanahnya untuk kepentingan umum berhak menerima ganti rugi atas bangunan atau tanaman yang terletak di atasnya. Sebuah komisi yang dibentuk oleh Mangkunegara bersama Residen Surakarta bertugas menaksir jumlah kerugian. (2) Pihak keraton memerlukan tanah desa yang akan dialokasikan untuk pengusaha perkebunan.
Adanya ketentuan di atas menunjukkan bahwa hukum selalu berubah mengikuti situasi dan kondisi. Berubahnya zaman menuntut hukum senantiasa memuat gejala-gejala ekonomi, politik, sosial, serta budaya yang berkembang dalam masyarakat. Hukum memberikan atensi dan simpati terhadap apa yang terjadi, baik di dalam maupun di luar manusia.

Utamakan Musyawarah
Bagaimanapun, agar upaya percepatan pengerjaan jalan tol dapat segera terwujud, pemerintah membutuhkan tanah desa yang menjadi faktor produksi terpenting bagi rakyat. Kebutuhan negara dalam memanfaatkan tanah desa menuntut adanya penghargaan terhadap orang-orang yang selama ini merawatnya. Pemerintah selayaknya menyadari bahwa dikerjakannya proyek jalan tol dengan mengambil sumber daya lokal meniscayakan dilestarikannya nilai-nilai keadilan dan kebersamaan. Dilaksanakannya berbagai kebijakan pemerintah mesti bertumpu pada ditegakkannya fondasi Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan berlandaskan sila-sila Pancasila, implementasi pembangunan seyogyanya menyerap aspirasi rakyat.
Dalam catatan Yudi Latif (2011: 387-388), adanya kepemilikan bersama berupa tanah menggariskan ketetapan bahwa setiap orang yang ingin memanfaatkannya harus mengantongi persetujuan kaum. Ketentuan demikian mendorong lahirnya tradisi gotong-royong dalam menggunakan tanah yang merembet pada hal-hal lainnya, termasuk urusan pribadi. Adat hidup tersebut menciptakan kebiasaan musyawarah menyangkut kepentingan umum yang diputuskan secara mufakat. Sebagaimana pepatah Minangkabau: “bulek aei dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” (bulat air karena pembuluh/bambu, bulat kata karena mufakat).
Semangat inilah yang selayaknya ditangkap oleh pemerintah. Besarnya jumlah ganti rugi tidak boleh ditetapkan secara kurang layak dan cenderung tidak manusiawi. Dicapainya kesepakatan bersama antara masyarakat dengan pemerintah merupakan wujud penghormatan terhadap mereka yang terkena dampak pengerjaan jalan tol yang sudah berkorban demi lancarnya pembangunan. Merupakan suatu tuntutan bahwa dalam menjalankan tugasnya, tim pengadaan lahan mengacu pada Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa. Di dalamnya antara lain tercantum persyaratan digunakannya tanah desa untuk kepentingan publik.


Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar