November 1945 menjadi salah satu
tonggak bersejarah dalam riwayat sebuah bangsa. Berbagai peristiwa gigantik,
monumental, dan “penuh darah” yang terjadi sebelumnya merupakan kristalisasi
motivasi, antusiasme, dan harapan orang desa dalam menggariskan cita-cita kebangsaan.
Mereka berhasrat mengusir kaum kolonial dari bumi pertiwi untuk segera meraih
kehidupan bebas, mandiri, dan penuh harga diri.
Saat Belanda memegang
tampuk kekuasaan, nasionalisme orang desa dibuktikan dengan loyalitas dalam
agenda perjuangan. Dapur umum digunakan untuk menyediakan logistik para
pejuang. Perempuan-perempuan desa menyiapkan hidangan bagi mereka yang akan
bertempur melawan bengisnya penjajah.
Saat tongkat estafet
penjajahan beralih ke tangan Jepang, pemuda desa direkrut menjadi pasukan
pembendung Perang Asia Timur Raya. Dibekali pendidikan militer agar
kedisiplinan, semangat juang, dan jiwa ksatria terpupuk dalam diri mereka.
Akibatnya, desa menjadi tulang punggung seinendan.
Di samping itu, dibentuk keibodan,
organisasi beranggotakan para pemuda bersenjata bedil kayu dan bambu runcing
dengan misi utama menjaga keselamatan desa (Muljana, 2008: 12).
Celakanya, siasat yang
digencarkan oleh Jepang menjadi bumerang. Alih-alih menjadikan pemuda desa
sebagai alat propaganda, Jepang justru terkena getahnya. Pemuda desa yang genap
memperoleh latihan militer menjadi kekuatan yang merongrong kedudukan Jepang di
Indonesia. Itulah mengapa, di samping iklim politik yang kurang mendukung,
hengkangnya Jepang dari negeri ini juga lantaran garangnya pemuda desa dalam
melancarkan serangan terhadap kaum kolonial.
Apatisme
Belakangan ini,
nasionalisme orang desa tampak diragukan. Ketika materialisme dan hedonisme
menjangkiti orang desa, tersebar asumsi bahwa rasa cinta tanah air mereka mulai
luntur. Perhatian mereka terhadap keadaan bangsa juga mulai pudar. Hal ini
diperparah dengan kenyataan bahwa dalam situasi tertentu sebagian orang desa
menunjukkan sikap egoistis. Merosotnya prinsip komunal sekaligus menguatnya
dasar-dasar individual antara lain disebabkan oleh urbanisme sebagai pola dan
cara hidup orang kota serta perkembangan daerah perkotaan yang mempengaruhi
kosmologi orang desa.
Betapa “hasrat urban”
membujuk pemuda desa untuk merantau, menimba pengalaman, serta berburu rupiah
ke kota. Munculnya berbagai alternatif membuat kerja-kerja tradisional semakin
ditinggalkan. Dengan menjadi buruh atau “pegawai kantoran”, misalnya, mereka
ingin menyaksikan kemajuan kota-kota besar berikut eksesnya. Pada waktu mereka
bekerja, nilai-nilai desa dan kota saling bertukar. Asimilasi inilah yang dibawa
untuk dibagi dengan warga desa lainnya Saat mereka kembali ke kampung halaman.
Gejala merembesnya
nilai-nilai urban pada lingkungan perdesaan semakin dikokohkan oleh pendidikan.
Abdul Munir Mulkhan (2009: 94) mensinyalir bahwa melalui pendidikan, modernisasi
menelusup pada relung kehidupan orang desa. Banyak anak desa yang menempuh
jenjang pendidikan modern di kota-kota besar, sehingga mereka mulai
bersinggungan dengan prinsip hidup orang kota. Tarik menarik antara kepribadian
rural di satu sisi dan kepribadian urban di sisi lainnya menyebabkan orang desa
diderap kegamangan. Mereka merasa gagap dalam menggali sekaligus memaknai
identitas kultural. Pendidikan yang semestinya mampu menabalkan jati diri
justru mengaburkannya.
Selama ini, orientasi pendidikan
seolah diarahkan pada pembentukan manusia egoistis. Kultur urban yang terselip
melalui kurikulum pendidikan cenderung melahirkan kepribadian kasar, menang
sendiri, serta sukar diatur. Hal ini berimbas pada meredupnya etos kerja dengan
motif komunalisme sekaligus menanjaknya corak individualisme. Padahal, selama
komunalisme masih diperhatikan oleh orang desa, kepedulian terhadap nasib
bangsa akan tetap terpelihara. Sebaliknya, bila individualisme yang mendominasi
corak pandang masyarakat, segala bentuk perhatian akan terpusat pada diri
sendiri. Dalam perspektif terakhir inilah, mereka menganggap bahwa nasib tak kunjung
berubah hanya dengan mengutamakan kepentingan bangsa.
Kearifan Lokal
Ketika tidak lagi berada pada jalurnya, pendidikan hanya akan memasung
kreativitas manusia. Potensi anak desa akan terkubur seiring dengan semakin
cepatnya arus globalisasi. Kearifan lokal sebagai penanda masyarakat adat bakal
hilang tergantikan oleh ilmu pengetahuan yang serba rasional. Jika ini yang
terjadi, maka kolonialisme genap berubah bentuk. Penjajahan berhasil melakukan
transformasi bahkan evolusi dengan memanfaatkan celah-celah yang ada dalam
sistem pendidikan. Kemerdekaan yang berhasil diraih seakan sirna jika
pendidikan kurang mampu membebaskan, melainkan justru mengekang daya cipta
manusia.
Upaya merawat kemerdekaan bisa diwujudkan dengan menempatkan pendidikan
sesuai “kodrat”nya. Dalam konteks ini, pemerintah perlu menapaki jejak seorang
petani bernama Sabur yang berusaha memadukan kurikulum nasional dengan kearifan
lokal. Setelah menjual sebidang kebun kelapa sawit untuk pendirian sekolah
tingkat SLTP, warga Desa Aur Cina, Bengkulu, tersebut menyusun silabus pendidikan
lingkungan hidup dengan menitikberatkan pada kehidupan siswa saat
berada di rumah maupun di sekolah. Sejak dini, siswa didorong untuk memahami
kerusakan lingkungan sekaligus imbasnya. Capaian ini telah mengantongi
apresiasi dari berbagai pihak, sehingga beberapa sekolah di Provinsi Bengkulu
menjadikan silabusnya sebagai referensi.
Dengan mengombinasikan materi
pelajaran formal dengan kearifan para leluhur, tentu pemerintah memberikan
rekognisi sekaligus apresiasi terhadap beragam pengetahuan masyarakat adat. Bukan hanya memberdayakan sumber daya lokal, langkah
ini tentu juga dapat membangkitkan kembali nasionalisme perdesaan. Selain itu,
gejala urbanisme yang dalam beberapa dekade terakhir begitu mencolok juga
menurun akibat bertunasnya kepercayaan diri orang desa. Bagaimanapun, geliat
modernisme tak selamanya diwujudkan dengan menghapus karakter “orang udik”,
melainkan justru meneguhkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar