Lantaran diduga melakukan
penyimpangan terhadap dana desa dan alokasi dana desa, Kepala Desa (Kades) Doyong,
Miri, Sragen, ditahan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Sragen. Penahanan terhadap
pemimpin lokal tersebut dilakukan setelah ia dinilai genap menyebabkan kerugian
negara sebesar Rp 70 juta. Ia rupanya ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan aduan
tokoh masyarakat setempat.
Fenomena di atas
menggambarkan bahwa sebagian pamong desa bersifat pragmatis dan oportunis.
Individualisme membimbing mereka dalam menjalankan fungsinya. Tak heran apabila
mereka cenderung mementingkan diri sendiri ketimbang memperhatikan urusan
publik. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat yang diusung oleh
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Aji Mumpung
Tidak selalu orang-orang yang
didapuk menjadi perangkat desa menjalankan perannya dengan baik. Ada yang
justru menangkap peluang dengan menganggap bahwa posisinya dalam jejaring
kekuasaan lokal merupakan aji mumpung. Di salah satu desa Bojonegoro,
Jawa Timur, seorang modin memposisikan diri selaku makelar bagi warga yang
ingin mendapat pelayanan. Ia menawarkan jasa membuat Kartu Tanda Pengenal
(KTP), Kartu Keluarga (KK), dan sebagainya dengan harga yang telah dipatok.
Celakanya, setelah menerima “komisi”, ia menikmati hasil tanpa mau memenuhi
janji. Akhirnya, warga merasa dikhianati.
Carik di desa tersebut juga
terbiasa memanfaatkan kedudukan guna mengelabui warga. Berdalih meringankan
beban siapa saja yang membutuhkan, ia justru meminta upah dari apa yang telah
diperbuat. Ketika mengulurkan pertolongan kepada warga, ia dikenal memiliki
pamrih dan menyimpan maksud tersembunyi. Misalnya saat ia bermaksud membantu
seseorang mengurus surat tanah. Di luar dugaan, surat yang dijanjikan ternyata
tidak pernah diserahkan ke pemiliknya, meskipun ia genap menerima imbalan yang
besar.
Track record-nya yang
negatif diketahui oleh sebagian warga dan menyebabkan kewibawaannya merosot
drastis. Tentu hal ini berimbas pada citra pamong desa lainnya yang meskipun
jujur, tetapi dianggap suka menipu. Keberadaan orang-orang “bermasalah” dalam
jajaran perangkat desa rentan menjadikan kinerja pemerintah di level lokal
kurang maksimal. Tanpa mengantongi kepercayaan masyarakat, pemerintah desa
kesulitan melaksanakan setiap program, terutama yang berhubungan dengan layanan
publik. Padahal, dukungan semua stakeholder
diperlukan agar setiap kebijakan di level lokal dapat terwujud.
Dalam taraf tertentu, muncul
kecenderungan bahwa kinerja perangkat desa kurang transparan dan akuntabel.
Terutama mengenai pemasukan dan pengeluaran desa, mereka cenderung kurang
terbuka. Urusan keuangan membuat mereka selalu berhati-hati dan waspada.
Lantaran khawatir direcoki oleh sejumlah pihak, mereka enggan menyajikan
laporan keuangan pemerintahan desa. Sehingga, besarnya Anggaran Dana Desa (ADD)
dan Dana Desa (DD) sekaligus penyalurannya tidak pernah diketahui oleh publik.
Berbagai anggaran yang berasal dari pemerintah pusat juga seringkali
akuntabel di atas kertas, tetapi manfaatnya kurang dirasakan oleh masyarakat.
Balance of Power
Saat elite lokal merasa “berada di
atas angin”, publik tentu kehilangan akses dan kontrol. Keadaan ini menyebabkan
pemerintahan desa berjalan sesuai hasrat para pemangkunya. Dengan demikian, kasus-kasus
penyelewengan kerap bermula dari malpraktik pemerintahan desa. Dalam konteks
inilah, perlawanan pasif maupun aktif menemukan relevansinya. Ikhtiar melawan
superioritas dan dominasi elite lokal bisa dilakukan dengan melancarkan kritik
sosial dalam berbagai bentuk.
Pada masyarakat Bali tradisional
terdapat mekanisme kritik sosial yang cukup halus dan samar. Kritik biasanya
disajikan oleh orang-orang Bali dalam wujud pertunjukan kesenian, semisal bondres, wayang kulit, atau drama gong.
Selain terhindar dari kesan agresif, kritik mesti meniscayakan kesantunan,
bersifat membangun, serta disampaikan dalam plesetan
atau senda gurau yang menertawakan diri sendiri. Hanya saja, substansi kritik
kurang berarti lantaran didominasi senda gurau (Heru Cahyono [Ed],
2005: 268).
Ada pula yang melempar kritik
terhadap kinerja pemerintahan desa secara langsung, baik dengan mendekati
perangkat desa maupun berbicara dalam forum publik. Kritik ini merupakan bentuk
balance of power, meski dalam
kenyataannya antara kekuatan pengkritik dan yang dikritik kurang seimbang.
Terdapat kecenderungan bahwa elite lokal selalu mempunyai kekuatan lebih besar
daripada siapa pun yang bermukim di desa. Meskipun demikian, apa yang
dilakukannya bernilai positif sebab merupakan counter response terhadap kepemimpinan lokal. Sehingga, dalam
kehidupan komunitas berbasis ruang tersebut berlangsung proses dialektika yang
ditandai dengan adanya komunikasi dua arah yang bercorak populis dan
demokratis.
Orang seperti ini biasanya memiliki
tingkat keberanian yang tinggi dan menolak berbagai kompromi. Ia berani
menghadapi risiko-risiko yang akan muncul di kemudian hari. Ia tidak khawatir
jika kenekatannya membuat urusan yang berhubungan dengan “surat-menyurat” atau
keperluan administratif lainnya dipersulit. Bagaimanapun, para elite lokal
merupakan aktor politik yang kenyang dengan pengalaman. Dalam menjawab bermacam
bentuk masukan, protes, atau perlawanan, mereka dibekali dengan beragam intrik.
Bagi mereka, mendiamkan suara-suara kritis merupakan hal yang mudah. Selain
menguasai berbagai resource di desa
yang dapat dimanfaatkan setiap waktu, mereka juga mampu mengakses jaringan
supra struktur dan para pemodal.
Bojonegoro, 2018